21 Desember 2008
TAMAN NASIONAL ITU MILIK SIAPA ?
TAMAN NASIONAL ITU MILIK SIAPA?
Kegiatan tahunan yang sudah biasa kami lakukan pada bulan puasa, adalah Safari Konservasi Ramadhan (SKR). Keliling dari satu desa yang satu ke desa yang lain, atau dari sekolah ke sekolah yang lain, menggunakan kendaraan yang memang sudah menjadi program untuk melakukan pendidikan dan penyuluhan keliling. Walaupun sekolah-sekolah banyak yang libur, namun masih ada kegiatan di bulan suci itu, yaitu pesantren kilat, atau melakukan buka puasa dan sholat taraweh bersama dengan masyarakat.
Puasa tahun lalu, dilakukan SKR keliling di dua taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak. Waktu itu melakukan kampanye untuk menyelamatkan Owa Jawa (Hylobates moloch) yang memang kondisinya di alam sangat kritis, dan diperkirakan hanya tinggal kurang dari 2.000 ekor.. Banyak sekali pengalaman yang petik dalam perjalanan itu, untuk meningkatkan kegiatan penyuluhan keliling bulan ramadhan berikutnya.
Selain di daerah habitat Owa Jawa, juga melakukan SKR di Taman Nasional Batang Gadis sebuah kawasan konservasi baru, di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara.
Pemerintah Daerah Madina, juga mempunyai program Safari Ramadan dan berbuka bersama dengan masyarakat. Safari Ramadhan yang dilakukan oleh Pemda Madina ini adalah melakukan sosialisai tentang Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan tahun 2003, antara lain: Perda No 5 Tentang wajib baca Al Qur’an, Perda No 6, Tentang busana muslim dan Perda No 7, Tentang pemberantasan Maksiat. Tim yang dibentuk ada 8 kelompok yang disebar ke berbagai penjuru desa, yang diperkuat dengan 24 para ustadz. Nah, untuk sosialisai mengenai Taman Nasional Batang Gadis bergabunglah dengan tim sosialisai perda yang dibentuk oleh pemda tersebut.
Perjalan dari desa ke desa atau dari Masjid yang satu ke Masjid yang lain, banyak pengalaman yang ditimba dan muncul sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik. Pertanyaan yang keluar dari seorang petani di Desa Sebanggor Julu, misalnya. Sebuah desa yang indah memiliki mata air panas dan menjadi daerah kunjungan wisata dan terletak di kaki Gunung Sorik Merapi, dia menanyakan, “ Taman Nasional Batang Gadis itu milik siapa? Apakah milik masyarakat Mandailing Natal, atau milik masyarakat Sumatera, ataukah milik bangsa Indonesia atau tekanan dari Amerika?”. Dari para penceramah yang terdiri dari para Ustadz, Dinas Kehutanan, Camat dan beberapa LSM, terutama dari Dinas Kehutanan Kabupaten Madina memberikan jawaban, bahwa Taman Nasional Batang Gadis tak hanya milik Masyarakat Madina atau Indonesia, bahkan milik Dunia. Untuk itu mari kita jaga bersama.
Rupanya masih belum puas jawaban tersebut, maka salah satu tim dari penggiat lingkungan memberikan paparan yang lebih jelas, maka diberilah contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kawasan hutan yang ada di Madina, bila dilihat dari manfaatnya adalah milik masyarakat Madina, dan bukan milik orang lain. Kalau hutan rusak, yang langsung menunai bencana adalah masyarakat Madina, banjir di musim hujan dan kekeringan di msim kemarau, dan bukan orang Medan. Orang Jakarta mungkin hanya menonton TV mengelus dada dan mengatakan “kasihan orang Madina tertimpa bencana”, apalagi orang Amerika yang nun jauh di sana, manfaatnya secara langsung mereka tidak merasakan. Tidak seperti masyarakat Madina yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional Batang Gadis.
Minggu dini hari, tanggal 31 Oktober 2004, saat orang-orang sedang menyiapkan makan sahur, tiba-tiba beberapa sungai meluap dan menggenangi rumah mereka. Sungai-sungai yang meluap antara lain Aek Ranto Puran, Siala Payung, anak Sungai Siala Payung, Aek Pata Botung dan Aek Badang di Kecamatan Panyabungan, Panyabungan Utara, Bukit Malintang dan Siabu meluap. Belasan rumah hanyut, puluhan hektar padi yang sedang ditanam dan ada pula yang siap panen, terendam air. Jalan putus, jembatan utama yang menjadi jalur lintas Sumatra jebol. Maka lumpuhlah arus lalu lintas yang mengangkut sembako antar propinsi.
Panyabungan, yang menjadi Ibukota Kabupaten Madina, memang dikelilingi oleh bukit bukit yang mengelilingi kota itu. Seperti periuk raksasa, lembah Panyabungan memang sangat rawan diterjang banjir, bila terjadi kerusakan di bukit-bukit yang menjadi daerah tangkapan air kota ini. Air bah yang diperkirakan datang dan menerjang perkampungan adalah perbukitan dari sisi timur kota Panyabungan yang hingga saat ini masih marak adanya penebangan, yang bukan diusulkan menjadi taman nasional. Sedangkan kawasan yang dijadikan kawasan pelestarian terletak di sisi barat, membentang dan membatasi Panyabungan dari selatan menuju utara.
Kehidupan masyarakat di Madina tidak terlepas dari kebutuhan air untuk kehidupan sehari-hari, umumnya mereka adalah petani sawah yang sangat membutuhkan air. Selain itu kehidupan tradisional yang masih memiliki kebiasaan untuk menetapkan daerah sungai untuk menjadikan “lubuk larangan” memelihara ikan di sungai, juga sangat membutuhkan air untuk kehidupan ikan-ikan di dalam sungai, sebagai “ikan” simpanan untuk dipanen bersama untuk memenuhi kebutuhan desa secara bersama dalam waktu tertentu.
Sungguh tepat pemerintah daerah yang didukung oleh segenap masyarakat Madina untuk menetapkan kawasan 108.000 hektar menjadi sebuah kawasan taman nasional, menjadi benteng terakhir untuk menyelamatkan kehidupan flora fauna, dan yang lebih penting lagi untuk melindungi kehidupanan masyarakat kini dan yang akan datang dari bencana banjir seperti yang terjadi baru-baru ini. Mungkinkah semua bukit yang membatasi “Periuk Raksasa Panyabungan” ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi ?.
Bencana telah terlewatkan, dan mudah-mudah tidak akan terjadi lagi di kemudian hari yang sangat menyengsarakan rakyat kecil. Namun bencana ini dapat menjadikan sebuah renungan, betapa pentingnya sebuah hutan yang dilindungi. Sehingga terjawablah, taman nasional itu milik siapa ?.
16 Desember 2008
TIGA MINGGU TERBARING KOMA
TIGA MINGGU
TERBARING “KOMA”.
Saat saya datang pertama kali tahun 1983 di Tanjung Puting, Sungai Sekonyer masih memiliki warna air yang hitam, tapi bersih. Itulah ciri khas dari sungai di daerah rawa gambut. Masyarakat sekitar menggunakan air sungai ini untuk berbagai keperluan, mandi, cuci, minum, dsb. Bahkan kapal-kapal motor ataupun kapal layar sebelum menyeberang mengarungi laut Jawa, seringkali mengambil air Sekonyer untuk bekal selama perjalanan.
Selain itu wisatawan baik asing maupun domestik senang sekali berenang di sungai tersebut. Hotel Rimba, salah satu penginapan yang berada di tepi Sungai Sekonyer membuat kolam renang apung untuk berenang tamu-tamu yang menginap.
Sebagai lokasi rehabilitasi orangutan, Tanjung Puting memiliki tiga lokasi untuk melepaskan orangutan. Selain di Kamp Leakey yang pertama kali dibangun, juga di Natai Lengkuas, serta di Pos Tanjung Harapan. Berhubung di Natai Lengkuas kurang pengawasannya, maka beberapa orangutan dipindahkan lagi di Kamp Leakey, sedangkan di Tanjung Harapan masih dipertahankan.
Saat itu adalah musim penghujan, sungai meluap. Namun, sungai Sekonyer airnya masih tetap berwarna hitam. Musim-musim seperti ini banyak masyarakat penebang hutan menghanyutkan kayu-kayunya dari pedalaman hutan untuk ditarik ke Kumai, lokasi terdekat untuk memproses kayu, seperti pemotongan, penggergajian dan sampai pengapalan untuk dikirim keberbagai tempat, baik ke Jawa ataupun ekspor ke luar negeri.
Kayu ramin adalah kayu yang memerlukan “perawatan” khusus. Kalau tidak, kayu ini rapuh dan akan mudah dimakan oleh serangga saat kering, sehingga sebelum dipotong-potong menjadi bahan siap pakai, balok ramin harus direndam dengan “asam khlorida” agar tahan terhadap serangan serangga.
Balok kayu yang sudah diproses diturunkan ke sungai. Semua diikat dengan rotan, dipaku dan digandeng satu sama lain, sehingga membentuk seperti rakit. Klotok menarik dari hulu Sekonyer menuju Kumai yang memerlukan waktu lebih dari sehari. Sepanjang sungai yang dilalui klotok menarik ramin ini, meninggalkan cairan kimia yang sangat beracun.
Kulitku pernah menjadi korban “keganasan” racun ini, saat mandi di Sekonyer. Saya tak menduga, saat ada klotok menarik ramin lewat, tanpa pikir akibatnya, langsung mandi di “kolam renang apung” milik Hotel Rimba. Kulit merah, gatal dan akhirnya melepuh, persis seperti bekas terbakar api. Cepat-cepat ke dokter untuk diobati dan menjalani perawatan khusus.
Tak hanya itu, lima ekor orangutan ikut menjadi korban. Inas, karyawan yang mengawasi orangutan di Tanjung Harapan membawa 3 ekor orangutan ke Pasir Panjang, karena tiba-tiba terserang diarea hebat. Mencret, muntah dan muka berwarna kebiruan, serta mulut mengeluarkan buih. Hanya 3 hari perawatan, 2 ekor orangutan mati. Satu lagi 2 hari kemudian. Belum lama 3 ekor mati, datang satu lagi orangutan yang mempunyai gejala yang sama.
Yan Suryana mencurigai adanya susuatu yang ganjil dalam kasus ini. Pak Gedol Staf Taman Nasional, Tumin, Yan dan saya sendiri melakukan pengecekan lapangan. Setiap ada klotok penarik kayu ramin, kami mengambil sampel air. Saat mengambil sampel air, mula-mula Yan tidak menggunakan alat, langsung menciduk air dari sungai. Tanganpun terasa gatal-gatal. Akhirnya menggunakan sarung tangan karet (glove) dan sampel dimasukkan ke dalam botol. Tanpa melakukan pengecekan di laboratorium, semua orang sudah paham bahwa kayu ramin sebelum turun dari dalam hutan akan selalu direndam dengan asam khlorida.
Lima ekor orangutan menjadi “tumbal” racun ramin. Tiga ekor mati, satu ekor yang selamat hanya memerlukan perawatan ringan, sedangkan satu ekor orangutan terserang cukup serius. Adalah Stan, orangutan kira-kira berumur lima tahunan memerlukan perawatan khusus. Saat datang sudah koma, tubuh mengalami dehidrasi, mencret setiap saat, dan mulut berlendir.
Infus dilakukan, siang malam ditunggu oleh staf secara begiliran karena menunggu selang infus. Sesekali disuapi makanan cair atas rekomendasi dari dokter hewan. Sehari, dua hari dan seminggu, Stan masih diam tak berkutik. Nafas mulai melemah, sesekali mengerang, mungkin menahan rasa sakit. Kotoran diperiksa, tak ada bakteri didalamnya. Dan memang bukan karena serangan penyakit.
Dua minggu berlalu, Stan masih belum siuman. Matanya terbuka, tetapi pandangannya kosong. Infus saat itu sudah lebih dari 10 botol. Setiap hari bila diperlukan, jarum infusnya dipindahkan dari tangan kanan ke tangan kiri atau di kaki. Begitulah hari-hari Stan dalam hidupnya.
Hari kedua puluh Stan menampakkan kehidupan. Tangan sudah mulai mau memegang makan. Sudah bisa miring ke kanan atau ke kiri. Dan kotorannya sudah sedikit kental. Hitung punya hitung sudah 19 botol infus yang dialirkan ke dalam tubuh Stan.
Kami merasa senang. Kerja siang malam untuk menyelamatkan nyawa orangutan tak sia-sia. Sedikit demi sedikit Stan diberi makanan dan minuman yang bergizi tinggi. Diajak bermain ke hutan dengan kawan-kawan lainnya. Stan sudah pulih kesehatannya. Mau bermain, panjat pohon, sesekali membuat sarang dan mencari makanan di dalam hutan bersama-sama.
Setelah sehat benar Stan dibawa ke hutan untuk dilepaskan kembali. Kini penjagaan lebih ketat pada orangutan di Tanjung Harapan yang ke pinggir sungai untuk minum. Namun, pertumbuhan Stan agak terhambat. Kerdil. (Foto Jay/OFI)
MENGAPA ORANGUTAN HARUS DILINDUNGI?
MENGAPA ORANGUTAN HARUS DILINDUNGI ?
Dilihat dari segi ekonomi, orangutan tidak mempunyai nilai apa-apa. Namun, kini pemikiran itu berubah. Nilai ekonomi tak hanya dapat dilihat dari nilai jual di pasaran tetapi dapat dilihat juga dari sisi lain.
Di alam, mereka hanya seolah sebagai penghias kehidupan, pelengkap alam seperti halnya satwa lain yang menghuni hutan hujan tropis. Kadang-kadang orang menganggap “gila” kepada orang-orang yang melakukan kegiatan penelitian, pelestarian dan rehabilitasi orangutan. Berapa juta atau bahkan milyaran rupiah dana yang sudah dihabiskan untuk menyelamatkan satwa ini.
Pernah suatu ketika saya ditanya oleh seorang notaris di Pangkalan Bun. Apa keistimewaannya orangutan, mereka hanya binatang, sama dengan binatang lain. Sedangkan dana yang dikeluarkan untuk mengurus orangutan, jutaan atau mungkin sudah milyaran. Sedangkan manusia masih banyak yang kelaparan, kurang pendidikan, tidak ada tempat tingggal dan sebagainya. Apa istimewanya ?
Pertanyaan itu sungguh menggelitik. Padahal orang seperti dia mungkin tahu atau memang tidak tahu sama sekali. Dari mana saya akan mengawali? Dengan singkat saya katakan bahwa urusan manusia itu tentu ada bagiannya sendiri, yaitu Menteri Sosial, Menteri Pendidikan atau pemerintah. Sedangkan urusan orangutan yang perlu diselamatkan, tentu mempunyai latar belakang sendiri.
Maka saya menjelaskan dengan gamblang dari berbagai sisi. Kalau dikembangkan ekowisata orangutan tentu akan memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Dampaknya tentu ada di bidang perekonomian. Untuk kesejahteraan umat, hutan yang paru-parunya bumi kalau tidak diselamatkan, maka akan terjadi bencana alam, banjir, menipisnya oksigen, hama, dsb. Sedangkan hutan kalau tak ada penghuni tentu kelangsungan hidupnya akan terbatas karena tak ada yang membantu dalam regenerasi hutan.
Mungkin sedikit menggurui, tapi itulah kenyataan bahwa di kalangan masyarakat awam yang kurang paham akan konservasi atau pelestarian, tentu akan selalu banyak pertanyaan semacam itu. Fakta di lapangan yang telah dilakukan oleh Prof. Galdikas tentang penyebaran biji oleh orangutan menunjukkan bahwa kera merah ini menyebarkan lebih dari 35 jenis tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan umat manusia. Misalnya, berbagai jenis buah yang belum dibudidayakan, jelutung sumber karet alam sebagai bahan dasar permen karet dan berbagai jenis meranti.
Kemudian timbul pertanyaan dari berbagai kalangan, mengapa orangutan harus dilindungi? Tak hanya orang dewasa saja yang menanyakannya, anak-anak sekolah juga melontarkan pertanyaan yang sama saat saya melakukan penyuluhan,. Tentunya menjawab pertanyaan itu dengan berbagai cara, tergantung untuk siapa jawabannya.
Bagi anak-anak, tentunya berbeda. Mereka diberikan illustrasi tentang hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungannya. Makhluk hidup yang satu tergantung dengan mahluk hidup yang lain. Bila salah satu musnah maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya penjelasan semacam ini dilakukan dengan memberikan permainan “jaring-jaring kehidupan” kepada mereka
Contoh-contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan. Misalnya, musnahnya burung dodo di Kepulauan Mauritus. Dampaknya bagi kehidupan terlihat 100 tahun kemudian, yaitu dengan hilangnya tumbuhan Calvalia major, dimana pertumbuhannya memerlukan bantuan pencernaan burung tersebut.
Kemungkinan juga orangutan mempunyai peranan demikian. Tumbuhan yang dimakan langsung ataupun tidak dibantu oleh orangutan dalam penyebarannya. Penelitian tentang tumbuhan apa saja yang menggantungkan orangutan dalam perkembangbiakannya memang belum ada.
Saya sendiri pernah melakukan sebuah percobaan, yaitu menanam biji duku hutan yang jatuh langsung dan biji yang berada pada kotoran orangutan. Secara nyata, bahwa biji yang keluar bersama kotoran orangutan, pertumbuhan kecambahnya lebih cepat dari pada yang saya ambil langsung dari pohon.
Contoh kecil ini dapatlah menjadi sebuah illustrasi, bahwa suatu tumbuhan memerlukan sebuah media untuk tumbuh. Benalu akan cepat tumbuh bila melalui pencernaan burung Prenjak dan sulit untuk tumbuh bila ditanam langsung dari biji yang diambil dari pohon tersebut. Masih banyak contoh kejadian alam semacam itu, satu sama lain saling menggantungkan untuk pertumbuhan.
25 November 2008
TBC : Suatu Pagi Di Pasirwangi Garut
Pagi itu di desa Padasuka, Kec. Pasirwangi Garut, udara masih dingin, mencekam. Maklumlah daerah ini berada pada ketinggian di atas 1.000 meter dpl (di atas permukaan laut). Saya lupa membawa jaket tebal, tetapi dinginnya malam dan pagi ini bener-bener aku nikmati, saya resapi, walau sedikit mengigil. Karunia Illahi.
Dari kejauhan, di keremangan kabut, muncul sahabat mudaku. Dia membawa berita, bahwa seorang ibu meninggal, dini hari tadi, karena penyakit yang sudah lama dideritanya, yaitu TBC. Itulah kejadian sehari-hari ada saja yang aku temui. Memang di daerah ini angka cukup tinggi penderita penyakit ini. Dan saat ini saya memasuki dunia baru, isu baru yang selama ini belum pernah aku jalani, yaitu melakukan kampanye penyadaran untuk pemberantasan penyakit menular ini.
Menurut catatan dari Dinas Kesehatan saja, setiap bulan di kabupaten penghasil dodol ini, lebih kurang 2% penderita baru, yang memeriksakan ke Puskesmas atau rumah sakit, dari 800 penderita yang tercatat. Mangapa tercatat, karena rupanya banyak yang tidak tercatat.
Hampir 6 bulan ini aku dan kerabat dan para sahabat muda, mencari tahu. Untuk satu kecamatan yang menjadi obyek kegiatan, sudah ada 233 orang suspect. Kemungkinan besar, menurut perkiraan ada 2-3 kali lipat dari total penderita yang ada di kecamatan tersebut. Jadi kira-kira ada 180an (data yang ada di Puskesmas 63 orang) penderita dari total 63.000 jiwa. Edun ... gede banget.
Nah pokok masalahnya adalah, sebagian masyarakat percaya bahwa penyakit yang merenggut nyawa saban tahun itu adalah penyakit turunan, penyakit kutukan. Nah inilah tugas yang harus meyakinkan bahwa TBC bukan turunan dan kutukan, tapi bisa diobati. Maka semua ”pasukan” menyiapkan kampanye untuk mematahkan kepercayaan itu. Alhamdulillah sedikit demi sedikit bisa mayakinkan. ”TBC Sanes Panyawat Turunan, TBC Sanes Panyawat Kutukan, TBC Sanes Panyawat Ngisinkeun, TBC Tiasa di landongan, landongna GRATIS” (Artinya TBC bukan penyakit kutukan, turunan, memalukan dan bisa diobati). Itulah kira-kira, kampanye yang terus menerus didengungkan dengan berbagai cara. Strategipun disusun untuk menembus ”barikade” kepercayaan itu. Memulai memasuki komunitas kyai/pesantren/ustadz, pendidik/guru, gender/ibu-ibu, anak-anak muda, sekolah, kelompok tani, kelompok orang bebas (terjemahin aja yak). Materipun disiapkan dengan berbagai cara buku bacaan, media dakwah, ceramah keliling dsb.
Memang suatu cara yang memerlukan waktu yang panjang, karena kami mempunyai mimpi pemberantasan penyakit ini harus benar-benar tuntas, dan mandiri. Karena penyakit ini bila ada satu orang penderita, kemungkinan bisa menularkan 10-15 orang. Dan di Indonesia konon nomor tiga urutan dari negara-negara di dunia. Dan konon lagi di Garut nomor urutan satu di Jawa Barat, top banget. Mungkin bisa jadi nomor satu di Indonesia ... wow.
Untuk ke arah sama, maka kamipun memulai bebenah. Membantu membuat lab kecil di Puskesmas, menyiapkan alat-alat seperti mikroskop dan bahan-bahan lain, yang dibantu oleh Chevron Geothermal, pabrik listrik yang clean industry, tak ada pencemaran. Entahlah alat dan bahan apa saja aku tak paham, hanya para dokter saja yang ngerti. Orang juga sering sebut tim yang aku terjunkan, sebagai seorang dokter ahli kesehatan TBC. ”Ah ... bukan, kami hanya pengamen yang bisanya hanya menumbuhkan motivasi saja untuk melakukan sesuatu”. Eh masih nggak percaya juga....terserahlah ada sebutan baru ”dokter”..... kapan sekolahnya mas ?
Sekali lagi mimpi pemberantasan mandiri, maka dilatihlah beberapa kader setiap desa (posyandu) dengan bekal pengetahuan untuk mendeteksi tanda-tanda penderita. Tentu yang ngajar para dokter Puskesmas dan ahli kesehatan masyarakat. Kami hanya, mengundang, menyiapkan dan menonton agenda-agenda acara seperti ini. Lantas para kader puskesmas itu akan mendata dengan ”sesungguhnya” para tetangga dan warga yang mempunyai tanda-tanda, atau penderita. InsyaAllah akan diberi reward.
Kalau perlu menemukan sebanyak-banyaknya penderita. Dengan ditemukan banyak, maka akan banyak pula yang diobati, dan disembuhkan. Maklum masyarakat masih menganggap berobat TBC itu mahal. Padahal gratis, hanya saja mereka malu untuk berobat dan periksa, serta ongkos ojek mahal untuk ke Puskesmas. Maklum lagi, kantung-kantung TB di daerah yang minus.
Perlu sebuah perjalanan panjang untuk merubah perilaku. Seperti ventilasi yang kurang, rendahnya gizi, sanitasi yang kurang baik dan sekali lagi kepercayaan penyakit itu tadi, turunan dan kutukan. Sabar dan sabar, merubah kebiasaan adalah perlu proses. Kalau orang Jawa bilang antara watak dan watuk (batuk). Watak perlu cara dan waktu untuk berubah, kalau watuk ya berobat, tergantung watuknya apa penyebabnya, kalau TBC ya perlu kesabaran, sampai 6 bulanan. Oleh karena itu semua komunitas terlibat. Rupanya anak-anak juga sudah ada yang tertular .... alamak gawat ?. Mulai bulan depan ”ngamen” melagukan lagu kampanye penyadaran TBC memulai memasuki sekolah, dengan berbagai kegiatan. Sampai-sampai akan mengaktifkan lagi dokter kecil yang dulu pernah dilakukan. Beberapa tempat dibuat himbauan dengan berbagai tulisan salah satu di antaranya adalah
” Berobatlah kamu, karena Allah SWT tidak mengadakan suatu penyakit, melainkan telah mengadakan pula obatnya...." (HR. Ahmad)
Cinta Ibu Sepanjang Jalan, Cinta pacar Sampai Prapatan
Ada benarnya, kalau para peneliti yang menekuni masalah `anthropologi`, ilmu yang mempelajari seluk beluk manusia, bahwa kera besar yang kini masih hidup dekat hubungannya dengan manusia. Malah ada yang mengatakan cara-cara hidup mereka, seperti gorilla, simpanse dan orangutan merupakan suatu contoh sebagian kehidupan manusia di zaman batu.
Namun, tidak semua perilaku kera besar itu sama dengan kehidupan manusia primitif. Sekarang anda kami ajak mengintip bagaimana kalau orangutan pacaran hingga memasuki `sarang` perkawinan.
Ternyata kera merah ini `nyaris` sama atau malah sama dengan manusia. Merekapun pilih-pilih pacar atau pasangan sebelum melakukan kopulasi. Perlu diketahui, bahwa orangutan berbeda dengan bangsa kera lainnya. Misalnya uwa-uwa yang mempunyai sistem keluarga, satu jantan satu betina. Simpanse dan Gorilla yang hidupnya berkelompok dan dipimpin jantan dominan. Orangutan hidupnya soliter, menyendiri di hutan sepi. Hanya hidup berteman saat jantan dan betina berpasangan, atau betina dengan satu atau dua anak yang belum mandiri. Selebihnya mereka hidup bebas lepas sendiri di rimba raya.
Soal pilih-memilih pasangan hidup sementara ini tak hanya dilakukan orangutan jantan saja, tetapi betina pun juga mempunyai `pria` idaman tersendiri. Ambil contoh `Unyuk` nama orangutan saat saya ikuti untuk meneliti perilakunya, masih momong anak angkatnya Dart. Unyuk telah memasuki masa birahi, estrus.
Unyuk `ngebet` dengan jantan dewasa yang bernama Curly, tentu saja Curly sedikit jual mahal. Mula-mula ia tak mau melayani. Namun, entah bagaimana karena mereka di pohon tinggi dan tidak terlihat, Curly pun luluh hatinya dengan rayuan Unyuk. Dua hari berlalu mereka berpasangan, kemanapun selalu berdua. Unyuk kalau sudah berpasangan kadang suka lupa dengan anak angkatnya, hingga Dart sering menangis karena ditinggal induk yang jauh berduaan.
Pada hari ketiga, di tengah hari saat Unyuk dan Curly mau berkopulasi entah saking girangnya atau apa, jantan berteriak, long call (seruan atau jeritan panjang). Rupanya teriakan Curly ditanggapi oleh orangutan jantan lain yang belum terkalahkan. Jantan liar datang mendekat yang kebetulan diikuti oleh Heru Datos, teman saya, yang spesial meneliti perilaku jantan.
Curly belum sempat berkopulasi, jantan liar yang ukuran tubuhnya jauh lebih besar dan perkasa dibandingkan Curly mendekat. Tanpa ada perlawanan, Curly langsung turun dari pohon cepat-cepat dengan melorot menjatuhkan diri di tanah dan hilang di kerimbunan semak. Unyuk yang sudah siap, diam tak bergeming ketika jantan pendatang mendekatinya. Unyuk duduk diam sambil mendekap Dart yang merengek ketakutan.
Entah kurang `ganteng` atau telah terlanjur jatuh dipelukan Curly, Unyuk meninggalkan jantan pendatang dan jantan tak berbuat sesuatu apapun seperti memaksa, ia hanya diam saja dan memperhatikan kepergian Unyuk yang menggendong anaknya.
"Tos, orangutan yang saya ikuti tak suka dengan jantan yang kau amati", canda saya kepada Heru Datos, teman se kampus yang sama-sama mengamati perilaku orangutan. "Iya, nih. Coba Sam (nama orangutan jantan liar yang diteliti Heru) mau, kita bisa gabung", jawabnya sambil mencatat. "Orangutan jantan itu banyak cacat sih, coba lihat jarinya, kakinya enggak bisa dibengkokin dan mukanya bopeng" canda saya.
Memang orangutan jagoan banyak cacat karena sering berkelahi. Lantas saya pergi mengikuti kemana Unyuk bergerak. Rupanya Unyuk mengejar kemana Curly pergi. Setelah bertemu, mereka selalu berdua. Sore hari mereka buat sarang berdekatan. Menjelang petang hari, saya lihat Curly masuk ke sarang Unyuk dan bergumul di dalam sarang dengan suara erangan yang menakutkan. Anak angkatnya diam bergantung di dahan lain.
Setelah usai, Curly berteriak, long call yang memekakakkan telinga. Puas, menang dan entahlah..... Tak hanya sekali atau dua kali mereka lakukan selama berpasangan, satu - dua minggu mereka berpasangan, mereka melakukan hubungan badan 2-4 kali seharinya. Setelah itu, tanggung jawab masing-masing. Jantan pisah cari pasangan lain dan betina mengembara menunggu kelahiran anaknya selama 260-270 hari, sama dengan manusia. Unik memang sisi kehidupan di rimba raya kita ini. Sementara ibunya mengandung, melahirkan, merawat hingga mandiri, sang jantan menyerahkan semua ke betina. Memang cinta ibu sepanjang jalan hingga liang lahat, kalau pacar hanya sampai prapatan (perempatan).
PANTAI CERMIN : Pantai di tengah pegunungan.
Memang dalam perjalanan, disuguhi pemandangan yang aduhai. Bekas hantaman tsunamai masih nampak. Jalan yang hilang, kampung yang lenyap atau bukit yang dulu menyatu dengan daratan, kini pisah dan menjadi pulau tersendiri. Jalan yang bekelok-kelok merupakan khas jalan di pesisir Pulau Sumatra.
Sampailah di Lamno, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Pante Cermin. Hanya kendaraan sepeda motor yang bisa menuju ke sana. Itupun harus menyeberang dua kali menggunakan tongkang atau getek. Bukit-bukit yang menjulang nampak di kiri dan kanan. Sungai yang jernih mengalir dari sela-sela lembah yang masih cukup rimbun. Sampailah kami di desa.
”Nah kita sudah sampai, dan kita akan menginap semalam di sini” begitu kata kawan dari FFI Aceh peogram yang memandu kami.
”Mana pantainya”, tanyaku polos.
”Yah ini Desa Pante Cermin” jawabnya singkat.
Rupanya Pante Cermin bukanlah di pesisir, namun di tepian sungai yang mengalir. Umumnya di Sumatera pantai tak hanya di pesisir laut, namun tepian perairan, baik di laut ataupun sungai, juga di sebut pantai.
Namun ketidakntahuan saya terobati, dengan berbagai ceritera desa yang subur ini. Di balik desa merupakan perbukitan yang masih hijau, dan kini dalam program FFI Aceh, merupakan sebuah kawasan yang menjadi prioritas untuk dilestarikan dan dilindungi. Kawasan dalam program ini di sebut kawsan Ulu Masen, yang meliputi lima kabupaten, dan konon merupakan habitat terakhir satwa yang dilindungi di bagian utara Aceh. Satwa-satwa yang telah diidentifikasi antara lain Gajah, Harimau, beberapai jenis primata, tapir, kambing gunung dsb. Seolah-olah kawasan Ulu Masen ini menjadi sebuah pulau yang dikelilingi berbgai kegiatan manusia seperti perkebunan, ladang, peternakan dan tentunya pemukiman.
***
Malam itu kebetulan kami menginap di rumah Pak Keucik (Kepala Desa), maka kesempatan bertanya tentang Gempong (Kampung) ini, merupakan sebuah kesempatan. Konon menurut cerita orang-orang tua, dulunya sebelum ada pemukiman datanglah sekelompok orang-orang yang memang waktu itu sistim kependudukan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan kelihatan dari jauh hamparan pantai di sungai merupakan pasir dan bebatuan berwarna putih memancarkan kilauan pemandangan yang sangat indah. Hamparan itu dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan yang menjulang tinggi dengan pepohonan yang lebat bak penghalang badai. Itulah sebuah kisah pendek yang dituturkan Pak keucik. Memang daerah ini sangat subur, hamparan tanah yang hijau terlindung dengan bukit-bukit ang menjulang, sangat bagus untuk berkebun, bertani.
Suasana puasa terasa sekali di perkampungan ini, konon kalau saat puasa tiba, jarang orang pergi ke ladang, semuanya fokus pada ibadah. Rumah adat atau rumah panggung, masih banyak ditemukan. Suasanyanya memang damai. Mungkin berbeda dengan beberapa waktu silam. Ada kawan saya yang saat ini berkegiatan di sana bilang, bahwa semasa jaman konflik, suasana desa ini mencekam, dan jarang orang luar berani memasuki desa ini. Aku bersyukur,. Semoga kedamaian ini terus berlanjut, sehingga ketentraman masyarakat di Pantee Cermin khususnya dan di desa-desa seluruh Aceh umumya demikian. Sayang sekali lahan yang subur seperti ini terlantar karena terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.
****
Menjelang buka puasa, terlihat masyarakat mulai sibuk hilir mudik untuk menyiapkan buka puasa, apalagi rombongan kami sekitar 30an orang. Akan melakukan buka bersama dengan masyarakat. Maka suasana seperti orang punya hajat besar.
Di balai desa makanan sudah terhampar, minuman manis dan makanan kecil sudah tersedia. Namun buka puasa bersama di Gampong ini, sekalian makan besar. Makanan yang sederhana, rendang daging kambing, dicampur dengan pisang mentah yang direbus (persisi seperti kentang kalau sudah dicampur rendang daging), dan dicampur bonggol pisang muda membuat semangat. Bahkan dengan makan bersama ada rasa kebersamaan, dan tentunya nambah. ”:Wah gile, jadi nambah dua kali, tumben-tumben semangat makannya”, celetuk kawan saya yang membantu memfasilitasi pelatihan ini. Wah, pasti bumbunya pas, yah pas banget. Entah apa maksud kawan-kawan tadi.
Usai makan, dilanjutkan sholat magrib dan setelah istirahat langsung sholat isya’ dan taraweh. Rata-rata di pedesaan taraweh 23 rekaat. Wah lumayan juga ....
Jam sepuluhan, anak-anak mudah mulai mengaji, menggunakan pengeras suara, sehingga alunan ayat-ayat suci Al Qur’an mengumandang ke seantero Gempong. ” Kalau mereka ngaji sampai sahur pak”, ujar Pak Keucik.
***
Itulah sekelumit Gempong Pantee Cermin yang begitu indah dan sejuk. Konon pemerintah daerah akan menjadikan desa ini menjadi daerah tujuan wisata pedesaan, wisata petualangan. Memang sangat mendukung alamnya yang begitu indah. Beberapa lokasi sudah dibuat gazebo atau tempat peristirahatan, untuk sekedar melepaskan lelah bila berjalan-jalan memasuki desa dan hutan. Kadang hari libur atau akhir pekan, menurut cerita kawan yang bertugas di sana, beberapa orang asing dari Banda Aceh atau orang kota, berdatangan ke sana. Ada yang sekedar jalan-jalan, melihat pemandangan, melihat burung-burung atau malah ada yang mencari ikan sungai khas Pantee Cermin yang biasa ditangkap dengan memancing oleh penduduk untuk dijual.
20 November 2008
Mengemas Paket Pendidikan Pelestaraian Alam Yang Mandiri
sebab mereka lahir untuk hidup
dalam suatu jaman yang berbeda denganmu”
Suatu kata mutiara yang dikutip dari sebuah Hadist Rosull, memang sungguh indah untuk direnungkan, khususnya bagi mereka yang bergelut dalam bidang pendidikan. Betapa tidak perubahan jaman yang terus berlangsung yang mau tidak mau terjadi perubahan yang akan mempengaruhi perilaku hidup manusia.
Perkembangan jaman yang demikian pesat dan mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yang kian hari kian parah, merupakan suatu tantangan bagi pemerhati lingkungan. Jalur pendidikan, merupakan salah satu jalur untuk memberikan informasi, membuat orang tahu, agar mereka mengerti dan dapat menyadari serta diharapkan akan ikut bertindak dalam menangani permasalahan lingkungan merupakan salah satu misi di dalam pendidikan lingkungan.
Pendidikan konservasi, lingkungan hidup yang selama ini dilakukan masih bersifat temporer, dan belum secara berkesinambungan. Artinya, program PLH dapat dilakukan apabila pelaku mendapatkan sponsor dari penyandang dana untuk menyebarluaskan informasi tentang lingkungan hidup. Atau dilakukan untuk memperingati hari penting yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau ada event lainya.
Hal ini telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Kegiatan ini juga dilakukan oleh lembaga sesuai dengan bidang minat yang ditekuni.
Permasalahanya adalah dapatkan pendidikan lingkungan hidup itu dilakukan terus menerus, tidak kenal waktu, tidak kenal event atau tidak tergantung dari lembaga donor ?.
Tentu bisa, kalau kita mau.
A. PLH Mandiri : Sebuah Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.
Untuk sebuah pendidikan ataupun pelatihan mengenai lingkungan hidup, tentunya memerlukan dana ataupun sumber daya manusia untuk mendidik para peserta. Untuk mendapatkan dana ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Salah satu cara adalah sistem subsidi silang. Untuk itu program pendidikan konservasi yang mandiri, sebuah konsep yang ditawarkan, untuk menunjang program pendidikan yang berkelanjutan. Program ini sedang diuji coba untuk menuju kearah program pendidikan yang berkelanjutan.
Uji coba ini dilakukan oleh Konsorsium Pendidikan Konservasi Alam yang beranggotakan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Conservation International Indonesia program dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI). Program pendidikan pelestarian alam ini dirancang sebagai sebuah bentuk program pendidikan alternatif yang berkesinambungan yang diharapkan dapat dikelola secara mandiri. Program pendidikan pelestarian alam ini memiliki tujuan sebagai berikut :
Memperkenalkan, mempromosikan, dan mengembangkan konsep pendidikan pelestarian alam yang diselenggarakan di dalam kawasan Taman Nasional.
Menciptakan sebuah model management di zona penyangga dalam Taman Nasional yang berdasarkan prinsip kemandirian.
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya melestarikan sumber daya alam
Menciptakan sebuah model kerjasama antara Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemerintah, lembaga-lembaga nasional dan internasional.
B. Program-program pendidikan.
Program pendidikan yang dilakukan di dalam kawasan pendidikan konservasi Bodogol, ada beberapa macam, disesuaikan dengan tujuan untuk memperkenalkan kehidupan hutan hujan tropik. Program tersebut dipilah, agar peserta atau pengunjung lebih terfokus untuk mempelajari suatu masalah. Namun tidak menutup kemungkinan, program tersebut dapat disatukan dalam sebuah paket dengan jangka waktu belajar yang memakan waktu 2 – hari.
Program-program tersebut dikemas dalam bentuk paket, sehingga memiliki nilai untuk para pengunjung ataupun siswa peserta pendidikan.
C.Pemasaran.
Sistem pemasaran, adalah kunci utama suksesnya dalam program ini. Untuk itu kerjasama dengan berbagai pihak telah dilakukan. Beberapa lembaga yang telah bekerja sama adalah sbb :
1. Travel agent atau tour operator. Umumnya penjual jasa wisata akan selalu mencari paket program yang lain dari pada yang lain. Dengan kemasan eko-wisata, maka paket pendidikan konservasi di alam tak kalah menariknya dengan paket program yang biasa ditawarkan oleh mereka.
2. Sekolah pilihan. Sekolah-sekolah pilihan, tentunya memiliki siswa dari kalangan menengah ke atas. Hal ini adalah segmen pasar yang penting untuk menjalin kegiatan bersama, terutama kegiatan extra kurikulernya. Umumnya mereka akan tertarik dengan paket-paket program yang ditawarkan, apabila telah memiliki sumber daya manusia sebagai tenaga interpreter yang berpengalaman.
3. Menawarkan program-program kepada lembaga yang sering melakukan kegiatan outbound training. Umumnya lembaga ini aktif mengadakan pelatihan kepada karyawan. Kegiatan ini sangat penting artinya untuk mendukung pendidikan lingkungan yang mandiri.
Masih banyak segmen pasar yang dilakukan, misalnya kelompok atau organisasi. Kelompok ini sangat potensial dalam mendukung dalam usaha tersebut.
D. Paket program.
Banyak sekali paket program yang dapat dibuat, tentunya setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, tergantung bagaimana cara mengemas paket tersebut. Kemasan yang menarik akan diminati oleh berbagai pihak, mulai dari siswa sekolah hingga masyarakat luas, baik lokal ataupun manca negara.
Daya tarik paket program ini sepenuhnya memanfaatkan kekayaan alam hutan kita. Misalnya satwa khas di daerah, tumbuhan yang unik, tumbuhan obat, persaingan hidup dihutan dsb. Pengetahuan ini dikemas dalam bahasa yang sederhana, informatif dan tidak berkesan menggurui. Hal ini penting artinya bagi interpreter yang membawa pengunjung ke dalam hutan. Ceritera-ceritera inilah yang mempunyai nilai jual untuk dipasarkan kepada pengunjung.
E. Fasilitas Pendidikan.
Fasilitas pendidikan lingkungan, sebaiknya di alam atau hutan. Di dalam hutan di desain atau dibuat jalur pendidikan dilengkapi dengan obyek-obyek yang menarik sebagai bahan interpretasi. Misalnya menjadi daerah teritorialnya primata, terdapat pohon yang buahnya sering dikunjungi berbagai jenis burung, melewati atau di pinggiran sungai, terdapat tumbuhan obat, rotan, liana dsb.
Obyek ini menjadi bahan ceritera yang sangat menarik untuk belajar rahasia kehidupan pada hutan hujan tropis. Untuk itu perlu pemilihan jalur yang baik, sehingga tidak memerlukan jalur yang panjang, pendek tetapi mewakili.
Fasilitas akomodasi, selayaknya perlu disediakan, dapat berupa asrama atau bentuk penginapan lain. Untuk penginapan ini dapat menghasilkan masuykan dana guna biaya pendidikan untuk berbagai kalangan masyarakat luas.
Di PPKA Bodogol, fasilitas yang disediakan masih terbatas. Fasilitas yang ada antara lain asrama, ruang pengelola, kelas, pondok belajar dan ruang makan serta dapur.
Asrama terbatas hanya untuk 30 orang, dan ruang belajar dapat menampung 40 orang. Sedangkan jalur pendidikan memiliki dua jenis yaitu ; jalur pendek sepanjang 1,6 km dan jalur petualangan sepanjang 3,4 km.
Dalam jalur pendek dilengkapi dengan berbagai atraksi dan obyek pendidikan, seperti hamparan rotan, beringin pencekik, pelataran pengamatan dan tempat berimajinasi. Selain itu juga telah dibangun jembatan kanopi (jembatan pohon) yang menjadikan daya tarik pengunjung. Sedangkan pada jalur petualangan, tidak banyak dirubah, masih alami dan penuh dengan rintangan.
F. Sistem subsidi silang.
Sistem ini dilakukan guna untuk melangsungan pendidikan lingkungan yang berkesinambungan, baik untuk masyarakat ataupun siswa sekolah. Dana yang terkumpul dari kunjungan sekolah pilihan dan kunjungan instansi pada hari libur, sabtu dan minggu, digunakan untuk membiayai program pendidikan yang dilakukan pada hari Senin – Kamis.
Program ini cukup efektif, dan mendapat respon yang positif bagi sekolah pilihan ataupun keluarga yang datang. Bahkan mereka tak segan untuk menjadikan PPKA Bodogol menjadi kunjungan belajar tentang alam bagi siswanya.
Subsidi silang juga dilakukan terhadap masyarakat di sekitar untuk mensosialisasikan program pendidikan konservasi. Masyarakat diundang untuk melihat secara langsung di dalam kawasan ini. Ajang pertemuan ini sangat bermanfaat bagi taman nasional dan LSM untuk berdiskusi, tukar pikiran masalah pelestarian hutan. Sehingga banyak sekali muncul berupa saran, pendapat bahkan menjadikan pertemuan untuk belajar mengenal sesama petugas.
G. Biaya tiket masuk.
Seperti halnya memasuki kawasan taman nasional lainnya di Indonesia, mengikuti program pendidikan di sini bagi sekolah pilihan atau sekolah yang mampu, serta keluarga atau lebaga lain dipungut biaya. Selain biaya tiket masuk taman nasional serta asuransi, juga dikenai biaya program. Biaya program disini dimanfaatkan untuk membeli bahan dan peralatan pendidikan, perawatan fasilitas, dan dana untuk pendidikan subsidi silang.
Biaya ini tentunya dapat disesuaikan dengan kondisi daerah yang akan dikembangkan atau insatnsi yang akan melakukan kegiatan.
H. Kunjungan terbatas dan pemanduan.
Daerah tujuan wisata, tentu banyak sekali permasalahan, mulai dari sampah, vandalisme, pengambilan tanaman dari dalam hutan dsb. Sebenarnya permasalahan ini dapat diatasi dengan membatasi kunjungan, serta memandu semua pengunjung yang memasuki kawasan taman nasional.
Memang pekerjaan ini banyak memerlukan sumber daya manusia yang terlibat, namun apabila dilakukan dengan benar-benar masalah tersebut akan dapat diatasi. Khususnya kawasan yang akan dibuka, maka sistem itu selayaknya harus diawali sedini mungkin.
Sistem pemanduan memasuki kawasan konservasi, di PPKA Bodogol dibagi dalam kelompok. Satu kelompok maksimum 5 orang ditambah pemandu atau interpreter yang dapat menjelaskan tentang kehidupan di dalam hutan.
Pemandu dapat dari tenaga volunteer, kader konservasi, masyarakat lokal ataupun polisi hutan yang tentunya telah diberikan pelatihan tehnik-tehnik pemanduan, menghadapi pengunjung serta bahan-bahan yang perlu dijelaskan kepada pengunjung.
I. Prospek pendidikan konservasi yang mandiri.
Prospek ke depan program pendidikan mandiri ini cukup meyakinkan, tergantung dari pengelolaanya dan kemauan untuk membuat sebuah pendidikan yang berkesinambungan. Untuk itu perlu kerjasama antara instansi pemerintah yang memiliki hak untuk pengelolaan (taman nasional, perhutani, BKSDA dsb) dengan lembaga swadaya masyarakat yang telah mampu melakukan program tersebut. Selain itu juga perlu melibatkan masyarakat lokal untuk mengelola usaha tersebut, misalnya sebagai pemandu, pengelola pondok, penyedia makanan dsb.
Disamping itu pemasaran dan pembuatan jaringan kerja adalah sisi lain untuk sukses program tersebut. Karena dengan melakukan kerjasam ayng disebutkan di atas dapat menghasilkan dana untuk kegiatan pendidikan yang mandiri.
Telah Nampak Tanda Tanda Kerusakan Di Muka Bumi.
Kita semua tentunya tahu dan mengerti, bahwa manusia sebenarnya dapat hidup secara harmonis dengan alam, seandainya manusia memperlakukan alam dengan baik, dan tidak memanfaatkan sumber daya alam yang dikandung tidak berlebihan.
Namun kini manusia telah menerima akibat dari ulahnya sendiri, karena telah mengabaikan sebuah konsep keseimbangan, demi untuk meningkatkan kesejahteraannya, manusia melakukan pemanfaatan yang berlebihan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan terus berkembangnya peradaban manusia dan pemenuhan kebutuhan hidup. Kini, ketika kualitas hidup mulai terasa semakin menurun, bumi mulai terasa sesak, dan kapasitas alam mulai menyentuh batas jenuhnya, masyarakat mulai menaruh perhatian pada topik-topik sekitar alam.
Salah satu permasalahan adalah tentang pelestarian alam dan lingkungan hidup, dan berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunya kwalitas lingkungan di seluruh penjuru dunia. Manusia senantiasa membutuhkan sumber daya alam, tanpa melakukan pemanfaatan dan pengelolaan yang bijaksana. Ratusan ribu spesies terancam dan menuju kepada kepunahan, dalam jangka waktu yang sangat singkat dalam sejarah hidup menusia. Keadaan ini harus menjadi perhatian utama kita untuk malakukan usaha pelestarian alam dan isinya yang kini masih tersisa, karena keberadaan umat manusia dan sumber daya alam merupakan sebuah kesatuan ekosistem.
Usaha-usaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan kwalitas lingkungan hidup yang seimbang dalam segala bentuk belumlah mencapai hasil yang memuaskan. Kualitas lingkungan dan kehidupan manusia terus menurun akibat ulahnya sendiri. Salah satu penyebab ulah manusia yang tidak peduli itu, adalah ketidaktahuannya mengenai peran keanekaragaman hayati dan perlunya pelestarian lingkungan hidup untuk menopang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pendidikan pelestarian (konservasi) alam dan lingkungan hidup harus segera diperkenalkan sedini mungkin secara luas, dan berkesinambungan kepada masyarakat luas baik formal maupun informal.
Banjir dan Kekeringan.
Kata bencana alam atau lebih pasnya lagi adalah bencana lingkungan, telah nampak. Bencana ini dipicu dari kerusakan lingkungan yang ada di sekitar kita. Hulu sungai mulai tidak dapat menampung lagi curah hujan yang tinggi, karena tidak ada pohon lagi yang dapat menahan air yang tumpah dari langit. Sementara masyarakat perkotaan, setiap tahunnya akan tertimpa dampaknya seperti banjir dan kekurangan air bersih.
Sementara di hulu sungai, berita tanah longsor sering terjadi. Lahan yang berbukit dengan tingkat kemiringan lebih dari 45°, dijadikan lahan pertanian. Kota dan desa, saat ini merasa was-was bila hujan tiba. Bukan berkah, melainkan takut ada musibah. Sementara perkotaan dengan permasalahan sampah yang meningkat, menambah kondisi yang semakin pelik. Dahulu masyarakat di lereng Merapi atau di Bolaang Mongondow Sulut, sangat mendambakan hujan turun untuk pertanian, kini konon khabarnya bila hujan tiba, sangat was-was bila terjadi tanah longsor. Di salah satu kecamatan di Sulawesi Utara, tahun 2006 dan 2008 ini, terjadi banjir bandang dan menenggelamkan lebih dari separuh kecamtan itu. Tragis memang.
Hidup dalam kecemaan. Hidup dalam kekhawatiran. Takut kekurangan air, namun trauma bila terjadi banjir bandang dan longsor.
Hidup Dalam Kecemasan.
Di hulu sungai yang menjadi daerah tangkapan hujan, kini telah berubah, hampir dipenjuru bumi pertiwi ini. Hutan-hutan sudah memulai berubah menjadi ladang dan perkebunan, tanpa mempedulikan akibat yang akan ditimbulkan. Apalagi saat ini memulai berlomba untuk membabat hutan untuk perkebunan yang mengorbankan hutan kita. Dalam laporan Inform 2003, nampaknya kita ngeri melihat kerusakan hutan yang terus berlanjut. Diperkirakan hutan kita rusak 10 kali lapangan bola per menit. Jadi kalau anda membaca artikel ini selama 2 menit, sudah hilang hutan atau hutan berubah menjadi berbagai keperuntukan.
Beberapa tahun silam, belum ada khabar tentang banjir bandang di Kalimantan, Sumatera ataupun Sulawesi, ataupun Papua. Namun kini banjir dan tanah longsor telah menghiasi media tatkala hujan tiba, atau kekeringan saat kemarau datang.
Kearifan lokal di berbagai daerah memulai ditinggalkan atau luntur, karena masayarakat memulai mengubah alam untuk berbagai kepentingan. Dulu orang pribumi Kalimantan menebas dan membakar hutan untuk keperluan, tak ada dampak yang nyata terhadap alam ini. Namun kini jauh berbeda dengan masa yang silam. Dulu sungai masih mengalir dengan stabil sehingga masih dapat digunakan untuk transportasi, namun kini telah berubah. Banjir bandang saat hujan dan kering dikala kemarau.
Memang semua pasti akan berubah. Berubah lingkungan kita akibat dari pertambahan penduduk yang semakin hari semakin bertambah. Kalau dua puluh tahun lalu Rhoma Irama bernyanyi tentang “135 juta penduduk Indonesia”, mungkin kalau dinyanyikan saat ini tentu akan berubah menjadi “235 juta penduduk Indonesia”.
Masayakat di pesisir, tak jauh beda dengan di pegunungan sana. Kadang lebih tragis lagi.banjir bandang yang dikirim dari daerah hulu, akan sangat menyengsarakan masyarakat di perkotaan yang tinggal di pesisir. Belum lagi gelombang pasang saat ini, sudah memulai dirasakan dan menimpa kehidupan di pesisir Jakarta. Mungkinkah tanda-tanda kehancuran sudah ditampakkan oleh Sang Kholik, agar kita semua menyadari ?
Jikalau ...
Seandainya kita bisa kerjasama, dan bukan sama-sama kerja (tentu beda ya), pasti bisa. Kerja sama dari hulu hilir dan memerankan peranannya dalam sebuah ekosistem kehidupan. Namun kini belum banyak yang menyadari akan hal ini. Memulai dari perubahan diri pemanfaatan energi (listrik, BBM dll).
Seandainya kita bisa kerjasama untuk memperbaiki lahan di daerah hulu, agar pepohonan dapat menahan air hujan, tentu pasti berkurang bencana yang datang.
Seandainya negara-negara maju mau mengurangi emisi karbonnya, dan tidak hanya mengandalkan kekayaan untuk membeli atau “menebus dosa” dengan memberikan “dollar” untuk negara miskin agar menjaga hutan.
Seandainya para pemegang keputusan tadak hanya bisa mengejar kemajuan ekonomi, namun mengembangkan ekonomi yang sebanding dengan pelestarian, dan memikirkan sebab akibatnya sebelum menanda tangani kontrakkerja dengan pengusaha.
Seandainya kita mempunyai prinsip seperti nelayan di pesisir timur Jatim, yang beani menolak eksplorasi tambang di sebuah gunung di sana, sehingga Ketua DPRD berani membatalkan rekomendasi. Dan bukan memberikan katabelece, pengubahan status lahan seperti yang terjadi di Riau ...
Seandainya kita, esok hari bisa berubah untuk mengurangi penggunaan energi, dengan menggunakan kendaraan umum walau harus berdesakan dan belum manusiawi. Atau esok hari mulai mengurangi penggunaan plastik untuk berbagai keperluan, seperti yang dilakukan sebuah SD di Malang yang di dalam komplek sekolah tak ada kata plastik, dimana sekolah itu masuk nominasi sekolah ramah lingkungan.
Dan masih banyak lagi “seandainya” yang mendukung “penghematan” dalam kehidupan. Pasti kita bisa dan hidup serasi dengan alam, tanpa merasa was-was dan hidup dalam kedamian.
Berburu Ular : Merusak Ekosistem ?
Anak-anak di sebuah desa Boyongbang daerah Tulung Agung Jawa Timur ini, seharinya dapat menangkap 2-3 ekor ular. Hasil tangkapan mereka, kemudian dijual ke pengumpul dengan harga berkisar antara 5-30 ribu/ekor, tergantung dari besar kecilnya ular-ular itu. Nampak dalam tayangan, ular-ular itu ditimbang, berbagai jenis. Saya pikir ada ulang-ular yang langka. Kemudian para pengumpul menjualnya ke Solo atau Surabaya.
Menurut pedagang ular itu, binatang melata ini diambil kulitnya untuk di samak dijadikan berbagai pernak-pernik kehidupan, seperti tas, ikat pinggang atau barang lainnya. Sedangkang dagingnya untuk dimakan, konon bermanfaat untuk obat tertentu.
Kejadian ini mengingatkan saya, sewaktu masih bekerja di arena pembelajaran pendidikan konservasi alam di Bodogol yang ada di lereng Gunung Pangrango yang berada dalam kawasan taman nasional. Kejadiannya sungguh menakutkan, bagi yang takut dan geli melihat ratusan ular mati menggelepar, persis seperti di film-film horor.
Suatu hari, kami dikejutkan dengan benyaknya ular yang berkeliaran di jalanan, menuju arena pembelajran itu. Kami pikir hanya satu atau dua ekor saja. Berbagai jenis, ada yang berbisa kuat, namun ada yang tak berbisa, tapi besar dan menakutkan. Apalagi kawasan ini untuk tempat belajar anak-anak sekolah. Sungguh tak terbayang kalau ada kejadian anak yang belajar di alam digigit ulat.
Operasi bersama pun kami lakukan dengan para petugas taman nasional. Hasilnya, masyaAllah. Ratusan ular menggelepar, ada yang sudah mati jadi bangkai, ada yang setengah mati, namun ada yang masih jalan-jalan walau badan lemah bangets.
Ular yang mati kami kubur yang setengah mati kami biarkan, mungkin akan mati juga, sedangkan yang hidup satu atau dua kami biarkan hidup atau kami singkirkan jauh-jauh dari arena pembelajaran, agar tak membahayakan dan membuat rasa takut anak-anak sekolah.
Kami nggak tahu siapa orang yang membuang ular sembarangan ini. Apakah pengumpul yang tak sanggup memelihara dan nggak laku dijual, atau juru sita dari pihak yang terkait. Namun kenapa membuang sembarangan yah. Kami hanya sedih menangkap satwa ini hanya untuk dibunuh dan dibiarkan mati.
Hal-hal semacam ini seharusnya langsung bisa ditangani leh pihak-pihak yang terkait, sehingga alam ini tidak terganggu keseimbangannya. Kini hama tikus merajalela menyerang sawah dan pekebunan, hal ini karena manusia memulai memutus rantai makanan yang sudah ada. Atau mungkin program penyadaran bagai kita semua akan pentingnya fungsi mahluk hidup yang saling ketergantungan satu sama lain. Memang benar “sudah nampak tanda-tanda kerusakan di darat dan lautan karena ulah tangan manusia juga, yang berakibat kurang menguntungkan bagi kehidupan kita pula”
Edy Hendras
31 Oktober 2008
Yang Kuat, Yang Berkuasa
YANG KUAT YANG BERKUASA.
Pertandingan Sumo atau gulat ala Jepang cukup seru untuk ditonton. Dua manusia `gendut` menggunakan cawat adu kekuatan saling berhadapan dan berusaha saling menjatuhkan. Siapa yang jatuh dan tak berkutik lagi, dialah yang kalah.
Sumo alias gulat yang dilakukan oleh orangutan jantan dewasa tak kalah serunya. Dua raksasa rimba ini umumnya berkelahi merebutkan pasangan atau mempertahankan kekuasaan pada suatu daerah. Atau kadang-kadang ada jantan yang mencoba lawan tanding dengan jantan penguasa yang tak terkalahkan.
Biasanya jantan yang ingin mencoba kesaktiannya itu jantan-jantan muda yang akan menginjak dewasa, mulanya saat masih `ingusan’ pernah dikalahkan oleh jantan penguasa.
Ambil contoh di lokasi Rehabilitasi Tanjung Puting. Penguasa selalu berganti-ganti pada suatu saat. Apabila belum ada jantan yang mengkudeta dan memaksa untuk “lengser” maka sang penguasa akan tetap bercokol pada suatu tempat kekuasaannya.
Memang tanpa `promotor` dia akan mempromosikan dirinya sendiri dengan suara lengkingan panjang (long call). Suara jantan dewasa ini bisa menggema ke seantero belantara. Kita dapat mendengarkan hingga jarak 5 km lebih bila sang penguasa sedang bersenandung.
Maka bagi jantan-jantan yang merasa dirinya belum terkalahkan atau yang berkuasa pada tempat tersebut atau jantan muda yang ingin menjajal `kekuatan` akan mendatangi asal suara tersebut.
Lain halnya dengan jantan yang tak punya `nyali`, yang hanya berani dengan anak kecil, orangutan betina, jantan yang pernah kalah atau jantan yang tak punya kekuatan lagi karena usianya telah lanjut, akan menjauhkan diri dari suara `long call` tersebut. Malah ada jantan yang saking takutnya saat sedang makan di pohon langsung turun ke tanah, lari terbirit-birit dan terkencing-kencing menjauh.
Pernah kejadian sekali pada orangutan liar. Rupanya `sang jagoan` tanpa bersuara mendekati orangutan yang sedang makan. Sang jagoan langsung melabrak dan mengejarnya hingga dapat. Orangutan yang sedang makan, tidak mempunyai cukup waktu lagi untuk menghindar. Memang ukurannya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan sang jagoan.
Mungkin saking takutnya, hingga berak dan kencing, sambil teriak dan menangis serta menjerit. Jantan yang baru datang tak memberi ampun, terus mengejar dan menggigit. Satunya berusaha menghindar, tetapi keburu kakinya tertangkap. “Maaf tuan mohon ampun. Saya tak sengaja memasuki wilayah tuan. Saya akan segera meninggalkan daerah ini. Sekali lagi mohon ampun”. Kira-kira seperti itu bila diterjemahkan dalam bahasa manusia.Hanya orangutan saja yang mengetahui bahasanya.
Tak lama sang jagoan membiarkan lawannya pergi meninggalkannya. Secepat kilat merosot dari pohon dan turun ke tanah, lari sekencang mungkin dan lenyap di kelebatan rimba.
Lain halnya bagi para gadis atau orangutan betina yang sedang `estrus` bila mendengar suara jantan justru akan mendekati. Memang suara jantan tersebut selain mempromosikan diri, juga berfungsi memanggil orangutan betina yang memasuki masa birahi.
Bila suatu saat, antara jantan sudah bertemu muka sesama jantan yang mempunyai nyali, maka perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Dua-duanya saling berhadapan persis seperti pertandingan sumo dan saling menunjukkan taringnya yang tajam. Lantas bila jurusnya sudah siap, saling bergumul dan menggigit. Satu lengah, satu menubruk. Tak sungkan-sungkan menyerang dari belakang, siapa yang sigap dan cekatan, dialah yang bisa melukai lawannya.
Maka tak heran jantan-jantan jagoan sering terlihat banyak mempunyai cacat. Seperti jarinya patah atau tak bisa dibengkokkan, bantalan pipinya robek, matanya buta sebelah atau bibirnya sumbing atau bagian tubuh lain cacat dan bekas luka.
Ada juga jantan yang mempunyai sifat ksatria. Lebih baik mati daripada tunduk dan menyerahkan predikat penguasa kepada jantan lain. Dia bertempur hingga titik darah penghabisan. Sekali pernah diketemukan bangkai orangutan jantan yang mati dan penuh luka, diperkirakan habis berkelahi. Ada juga jantan yang belum pernah berkelahi atau malah penakut.
Pertarungan penguasa hutan ini memang sungguh menarik bila beruntung bisa menemui dan menyaksikan. Seperti pertarungan antara CURLY dan Zoro yang kebetulan berada di seputaran kamp.
Pertunjukan pada tahun baru 1984 itu banyak mengundang para penghuni kamp (manusianya bukan orangutan) untuk menyaksikan.
Mulanya CURLY sedang asyik berpasangan dengan orangutan betina. Datanglah Zoro jantan yang masih muda mungkin ingin mendekati betina yang ada kamp. Namun, di kamp sudah ada sang penguasa, dialah CURLY.
Maka perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Seru, saling memukul bergumul. Zoro mau naik ke pohon, CURLY menarik dari bawah dan bergumul lagi. Saling kejar-mengejar mencari areal yang lapang dan gulat lagi. Pohon kecil banyak yang roboh dan patah diterjang manusia hutan yang sedang bertanding.
Rupanya Zoro kalah pengalaman dalam hal bertarung. Zoro belum benar-benar KO, hanya kabur untuk sementara. CURLY terus mengejar hingga benar-benar sudah jauh. Sang penguasa akhirnya kembali lagi ke pasangannya. Itulah orangutan yang berusaha melestarikan kekuasaanya.
27 Oktober 2008
Dokter Where are You ?
DOKTER OH DOKTER WHERE ARE YOU ?
Waktu itu ada sekitar 25 ekor orangutan yang ada di karantina, belum lagi di Tanjung Harapan, Beguruh dan di Kamp Leakey. Semuanya perlu pengawasan baik yang besar ataupun yang masih bayi, yang sudah liar kadang kembali ke kamp atau yang masih di dalam perawatan.
Pekerjaan rutin dilakukan setiap hari oleh semua karyawan. Membersihkan kandang, mengobati yang masih sakit, memberikan vitamin bagi yang dalam perawatan dan membuatkan susu dalam botol bagi anak-anak yang masih kecil. Pagi dan sore hari memberikan makan berupa buah-buahan atau nasi baik yang ada di karantina ataupun di dalam hutan bagi orangutan yang berada di kamp. Kegiatan lain, mengikuti ke hutan bagi orangutan yang masih perlu diambil datanya, seperti setelah melahirkan, sedang berpasangan atau perilaku lain yang belum banyak diketahui. Baik bagi orangutan liar atupun rehabilitasi.
Penyakit kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Saat terjadi musim kering yang cukup panjang, beberapa orangutan terpaksa dibius untuk diobati. Penyakitnya sangat membahayakan bagi orangutan. Kulitnya terserang jamur pada sekujur tubuh, kadang sudah bau anyir. Yuni, nama orangutan di Camp Leakey yang saat itu sudah mempunyai anak, tak luput terserang penyakit ini. Karena sudah dewasa dan kuat, Yuni sulit untuk diobati, terpaksa dibius, dimandikan dan diobati. Memang tak memerlukan waktu lama, yang sudah sekali diobati kurang dari seminggu menunjukkan gejala yang membaik.
Saya selalu berputar dari satu tempat ke tempat lain. Sesekali orangutan harus saya bawa ke dokter hewan Windarto untuk pengobatan. Untunglah Pak Win sangat interest terhadap kerja semua staf proyek orangutan dalam melakukan penyelamatan orangutan. Bila Pak Win sedang tugas ke pedalaman, maklumlah hanya Pak Win satu-satunya dokter hewan yang ada di Kotawaringin Barat saat itu dan Pak Tiono, dokter umum manusia dari Rumah Sakit Pangkalan Bun sangat membantu dalam memberikan pengobatan bagi orangutan.
Repotnya kalau beliau-beliau tak ada dan orangutan yang sakit berada di tengah hutan atau bila waktunya pemberian vaksinasi atau pemberian obat cacing tiba, terpaksalah saya harus ke hutan, menuju tempat orangutan berada.
Biasanya panggilan tiba-tiba ini terjadi bila ada orangutan yang memperlihatkan gejala sakit. Harus disiapkan semuanya, kalau perlu konsultasi kepada dokter. Speed boat selalu siap setiap saat kalau ada panggilan. Tak peduli pagi, siang, sore atau tengah malam. Siap berangkat.
Pagi itu masih terasa dingin. Kabut tebal di musim kemarau yang bercampur dengan asap kebakaran hutan masih menyelimuti seluruh kota. Pak John mengantarkan sampai di Kumai, kemudian disambung dengan speed boat.
Suara yang nyaring dari mesin tempel memecahkan keheningan pagi, melaju dengan cepat membelah kabut dan Sungai Kumai. Sungai Sekonyer yang berkelok-kelok seolah-olah tak terasa bahwa kami berpacu dengan waktu untuk segera memberikan obat pada orangutan yang terserang muntaber. Burung dan semua satwa yang ada di hutan seolah enggan bangun di pagi yang masih berkabut campur asap ini.
Lebih kurang 45 menit sampai di Tanjung Harapan. Ambil ransel, setengah berlari aku menuju tempat menyimpan sepeda butut yang berada di balik semak belukar menuju Kamp Beguruh yang ada di tengah hutan. Aku harus menaiki sepeda ini melintas di tengah hutan lebih kurang 7 km. Sesekali aku turun untuk memikul sepeda saat melewati akar, pohon roboh atau rawa kecil yang berada di sepanjang jalan.
Setelah hutan dan rawa kecil terlewati, aku mesti menelusuri padang ilalang sejauh mata memandang. Aku jadi ingat, seperti seorang dokter hewan di sebuah film Australia yang terbang sana sini atau menggunakan kendaraan melakukan tugas dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengobati. Tapi aku kini di tengah rimba raya Kalimantan, menggunakan sepeda tua, kadang-kadang saat digenjot pedalnya berbunyi atau rantainya lepas karena di makan usia, tidak pernah diberi minyak pelumas, atau kadang-kadang harus menabrak pohon dan semak saat menikung di turunan dan remnya blong. Tapi semua pekerjaan ini aku lakukan dengan senang. Menikmati hidup, menikmati karunai Tuhan dan membantu menyelamatkan salah satu makhluk Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup. Karena habitatnya yang berupa hutan tropik kian menipis dan pemburuan untuk binatang peliharaan masih dilakukan.
Lamunanku buyar saat kudengar suara-suara anak-anak orangutan saat diberi minum susu di pagi hari. Segera aku “parkir” sepeda tua pada sebuah pohon dan mempersiapkan segalanya untuk melakukan “pemeriksaan” ala dokter. Aku mencoba melihat raut wajahnya, perutnya kembung, detak nafas masih stabil. Saran dari dokter, kalau ada tanda-tanda yang aku temukan pada orangutan, harus kuberikan obat tertentu. Selain itu, aku selalu membawa buku pegangan “bila dokter tak ada” sebagai buku pintar dalam memberikan pengobatan. Walaupun buku itu untuk manusia, orangutan sudah saya anggap sebagai manusia karena semua penyakit yang di derita berasal dari manusia juga.
Begitulah kerja “dokter karbitan” yang mondar-mandir ke sana kemari untuk memberikan pengobatan kepada orangutan. Sesekali harus memegang tangan orangutan memeriksa detak nadi, menggunakan stetoskop untuk mendengarkan detak jantung atau di depan mikroskop untuk melihat kotoran, apakah ada penyakit, bakteri atau cacing yang berada pada perut orangutan.
Untunglah aku mempunyai dasar-dasar tentang mikrobiologi saat menjadi “anak sekolahan” di Fakultas Biologi Unas. Hampir semua penyakit yang diderita pada orangutan, khususnya sitaan, tertular dari manusia. Hal ini dibuktikan bila ada orangutan meninggal. Aku selalu konsultasi dengan dokter hewan untuk mengotopsinya. Kadang kalau terpaksa aku lakukan otopsi sendiri, mengambil bagian tubuh, atau jeroannya, yang dicurigai adanya infeksi. Kadang orangutan mati karena di dalam perutnya penyuh dengan berbagai jenis cacing, malah pernah ada orangutan yang baru diterima, mati, dan cacingnya keluar dari lubang hidung, ngeri juga. Atau ada juga penyakit yang yang sudah kronis. Misalnyan hati yang sudah bengkak, merah terinfeksi, atau paru-paru yang sudah oenuh dengan cairan, serta banyak bintik-bintik merah dan teridentifikasi sebagai penyakit bronkhitis.
Masih banyak berbagai penyakit yang diderita orangutan, malah ada satu kasus yang belum diketahui saatitu, yaitu orangutan tiva-tiba mati mendadak. Pada hal badan sehat, semua organ tubuh bagus tak ada tanda-tanda terinfeksi, cacing bersih tak ada bahkan telurnyapun tak nampak, kotoran normal. Kemudian karena mecurigakan, daimbilah organ otaknya, dan diambil untuk sampel dan akan dikirim ke Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, tempak Pak Win menimba ilmu. Namun entah belum ada khabarnya saat itu, penyakita apa yang menyerang orangutan.
Kemudian aku beroikiran, apa jadinya kalau suatu penyakit menular pada manusia, dan menular ke orangutan. Terus menular kembali ke manusia, bisa jadi susah diobati. Karena konon khabarnya penyakit HIV yang ada pada manusia berasal dari minyet juga.
Seperti itulah sebuah pengalaman menjadi “dokter karbitan” yang dipaksa untuk menjadi tenaga kesehatan bagi oranmgutan. Namun dengan keadaan seperti itu, tak ada dokter hewan, harus mau belajar dan belajar menjadi “tukang pemberi obat”. Untunglah beberapa dokter menularkan ilmunya tentang berbagai jenis penyakit, cara mengobati, ciri-ciri kepada saya waktu otu. Aku bersyukur bisa menimba ilmu dan membantu memberikan obat kepada orangutan yang sakit, berkat pengetahuan yang aku peroleh dari orang yang memang dokter hewan. Seperti Pak Win, Doktor Jill Kusba dari AS ataupun “dokter penyakit manusia” seperti Pak Tiono.
(Foto : aku dan Yan Suryana di Camp Leakey, bersama salah satu pasien)
Ketagihan Alkohol
KISAH ORANGUTAN PEMABOK
Manusia dan bangsa kera, contohnya orangutan, ternyata mempunyai beberapa kemiripan dalam hal perilaku. Oleh karenanya, bangsa kera sering dijadikan obyek penelitian atau dijadikan hewan percobaan yang ada kaitannya dengan penyakit manusia. Satu contoh perilaku, kalau orangutan ketagihan alkohol.
Adalah Toto, nama orangutan jantan remaja, sebelum kami rawat merupakan binatang kesayangan salah seorang tenaga kerja asing dari Perancis yang bekerja pada sebuah perusahaan minyak di Kalimantan Timur. Menurut ceritera `perawatnya`, Toto sudah biasa minum minuman yang mengandung alkohol seperti apa yang diminum `tuannya` yang sering minum minuman keras. Kemanapun Toto pergi, ke dapur atau kamar, yang dicari hanyalah Beer, tak ada Beer, anggurpun jadi atau minuman keras buatan luar lainnya. Begitu melihat barisan botol aneh, langsung ditenggak habis, kadang sampai `teler`.
Setelah Yan Suryanan membawanya ke Pangkalan Bun akhir tahun 1989, Toto mempunyai perilaku yang lain. Sering murung, diam tak ada nafsu bermain, mudah tersinggung, kalau didekati temannya untuk bermain langsung akan menggigit, nafsu makan nyaris tak ada, dan badan semakin kurus. Kotoran diperiksa, tak ada cacing ataupun telur di dalam fecesnya. Beberapa buah-buahan dicoba diberikan, ditampiknya. Jajanan pasar hanya dicium, lantas dicampakkannya, roti atau kue yang mungkin menjadi makanan pokoknya ketika jadi anak angkat orang asing dicicipi saja tidak.
Akhirnya Drh Windarto memberikan obat perangsang makan untuk sapi pada Toto. Satu hari, belum kelihatan. Hari berikutnya, seperti kesetanan, Toto melahap segala makanan yang diberikan, kadang susu sebotol Aqua, 1,5 liter habis ditenggaknya.
Sedikit demi sedikit Toto mulai sembuh dari ketagihan alkohol. Mulai mau bermain sama kawan-kawan `senasib` di hutan, bercanda kuli, bergumul sumo ala orangutan, mulai bermain di pohon, membuat sarang walau belum sempurna, cari makanan di hutan waktu dilatih hidup mandiri di rimba.
Setahun sudah Toto dalam asuhan. Awal tahun 1991 tatkala buah kerantungan (durian hutan yang ada beberapa jenis) melimpah ruah di hutan, Toto meninggalkan Kamp Leakey berkelana di rimba. Dua kali karyawan berjumpa, dia sedang asyik makan durian yang berserakan di dasar hutan.
Mungkin `hobi` Toto menenggak alkohol tersalurkan kembali atau ketagihan, saat mencicipi durian yang gratis. Durian yang baunya harum menyengat dan bisa buat orang `teler`. Toto pun tak mau datang lagi ke kamp. Mungkin selalu menunggu, kapan buah durian tiba lagi.
Ah…kau TO ! Ada-ada saja, jangan sampai ketagihan durian, soalnya durian berbuah setiap 3 tahun sekali. Selamat jalan TO!.
26 Oktober 2008
Bendera Setengah Tiang
BENDERA SETENGAH TIANG
Oleh : Edy Hendras Wahyono.
Ngadimun masih memandang bendera yang dipasang di halaman rumahnya yang sempit di sebuah desa pinggiran hutan itu. Dia ingat benar kakaknya Ngadiman saat merobek bendera merah putih biru, benderanya kompeni, yang dirobek warna biru dengan arit alat untuk mencari rumput, sehingga hanya merah putih saja yang ada. Dengan merobek bendera itu, dua kawannya tertembus peluru, dan Ngadiman lari pontang panting memasuki hutan dengan hujan peluru yang mendesing. Tuhan masih melindungi nyawa Ngadiman, karena terperosot ke tebing, dan para kompeni mengurungkan untuk mengejar, ekstrimis-ekstrimis itu.
Ngadimun ingat juga, ketika dengan aritnya, memutuskan jembatang bambu yang melintas ke desanya, yang melintang Kali Gede dan menghubungkan dua tebing yang menuju ke Desa Gondang Legi, agar para pejuang yang bermarkas di desanya selamat. Kemudia lari pontang-panting untuk memberikan berita kepada komandan Mardi agar bersembunyi di hutan sebelah, karena kompeni telah mencium markas persembunyian.
Maka tak salah kalau Ngadimun mengibarkan bendera setengah tiang, saat kakaknya Ngadiman meninggal dunia, karena penyakit yang menyerang tubuhnya yang kerempeng, kurus kering, tak terurus, karena keadaan di desanya yang benar-benar minus. Ngadimun menganggap kakaknya seorang pahlawan sejati bagi keluarga, yang menyelamatkan keluarga, desa dan negaranya saat itu yang sedang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik tercinta ini.
Anak-anak muda yang berlalu lalang melewati rumah Ngadimun, mungkin terheran-heran. Tak ada pengumuman di televisi, di radio ataupun di surat kabar, bahwa hari ini ada seorang pahlawan yang meninggal dunia. Atau bukan pula memperingati hari besar nasional, atau hari berkabung nasional, namun di rumah gubug reyot terkibar bendera setengah tiang, dengan bendera merah putih yang sudah lusuh, dan ukurannyapun tidak simetris sesuai dengan aturan yang ada.
“ Pak De, ini beras titipan emak, untuk selametan 3 harinya Pak De Ngadiman nanti malam”, sapa Jasmin keponakannya yang membubarkan lamunan Ngadimun mengenang kakaknya yang tercinta yang meninggal hari Sabtu Wage, 2 hari yang lalu.
“ Oh iya Jas, nanti malem pada datang kan. Yasinan mendoakan Pak De mu semoga arwahnya mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan amal dan ibadah nya”, jawab Ngadimun.
“Wah ya jelas pak de. Malah Bapak nanti malam mau ngajak Pak Lik Ngadiyoyang kebetulan hari ini datang juga, dan teman-temanya seperti pak ustadz guru ngaji saya dulu waktu masih sekolah rakyat”, jawab Jasmin.
“Syukurlah” jawab Ngadimun singkat.
“Pak De, Pahlawan siapa yang meninggal hari ini, kok mengibarkan bendera setengah tiang”, Tanya Jasmin sambil mengamati bendera merah putih yang lusuh itu.
“Ya Pak De mu Ngadiman to le. Dia itu kan pahlawan sejati bagi keluarga kita, desa kita, mungkin malah negeri kita.” jawabnya singkat sambil berdiri dan menghampiri tiang bendera yang diikat di pagar bambu yang reyot itu.
“Coba perhatikan. Bendera ini menelan korban dua orang teman ngaritnya pakdemu Ngadiman. Masíh ada sisa sobekan biru, bendera kompeni. Warna biru disobek, dan tinggal dua warna merah dan putih saja”.
‘Tapi Pak De, seorang pahlawan kan harus ada pengakuan dari negara, pemerintah atau anggota DPR”, tanya Jasman dengan lugunya.
“Aku nggak peduli dengan pengakuan mereka. Kalau masyarakat desa ini, pemerintah negeri ini, atau anggota dewan yang duduk di Jakarta sana nggak mengakui, tak apa. Tetapi hati yang paling dalam dari pak De mu ini, mengakui, bahwa Pak De mu Ngadiman adalah seorang pahlawan. Seorang yang banyak jasanya. Tidak perlu dikubur di Taman Makam Pahlawan, tidak perlu surat keputusan, tidak perlu tanda jasa. Tapi Pakde mu berjuang tulus ikhlas. Sebagai tukang ngarit yang kerjaannya mengumpulkan rumput, mengembala kambingnya ndoro sinder dan mengetahui ada kompeni yang memusuhi pejuang, rasa patriotnya tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan pejuang”, Ngadimun berhenti sejenak dan duduk kembali di bangku reot sambil mengeluarkan tembakau dan klobot untuk membungkus, dan menyalakan api, dan menghisap dalam-dalam.
Jasman yang putus sekolah rakyat dan kini hanya bekerja sebagai pesuruh di sekolah dasar negeri satu-satunya di desa itu, hanya duduk diam. Jasman yang biasa menaikan dan menurunkan bendera tak ada perintah dari kepala sekolah untuk menaikkan bendera setengah tiang, oleh karena itu Jasman, ingin tahu mengapa Pak De Ngadimun, sejak meninggalnya Pak De Ngadiman, memasang bendera setengah tiang.
“Jas ….”, kata Ngadimun memecahkan keheningan sejenak. “Masíh banyak Ngadiman-Ngadiman di negeri ini. Dari ujung barat hinggai timur, yang mengalami berbagai peperangan untuk mempertahankan negeri ini. Mereka hidup tak terurus, apa adanya. Nasibnya macam-macam, dan hidupnya serba kesusahan. Tapi Pakde mu tegar, jiwa pejuangnya masih tersimpan di dalam dada, pantang menyerah untuk mengarungi hidup ini, Pakde mu tak pernah membuat surat atau permohonan agar diakui menjadi pejuang. Walaupun tak ada tanda jasa, pengakuan dari negara, tapi dia tetap hidup dan berjuang untuk menyambung nyawa demi sesuap nasi”, kata Ngadimun berapi-api. “Pak De mu Ngadiman juga demikian, walau sebagai tukang ngarit sepanjang hidupnya, hingga mengakhiri hayatnya, masih mencari rumput, menghidupi ternak peliharaan orang, dia pantang menyerah, hanya untuk sesuap nasi, bertahan hidup”.
Jasman tak terasa menitikkan air matanya, mengenang nasib para pejuang seperti Pak de nya, yang sehari-hari membawa keranjang rumput ke pinggir hutan yang semakin menyempit. Karena dibabat diambil kayunya, dibuat ladang dan perkebunan. Pernah sekali bertemu seminggu sebelum meninggal, Pak De Ngadiman yang masih memperlihatkan raut wajah yang keras, pantang menyerah, walau jalan tertatih tatih karena ditelan usia, mengatakan, bahwa jaman dulu, tak pernah ada banjir dan tanah longsor di desa ini, karena hutannya aman, Seperti Kali Gede yang dulu jernih, kemarau dan musim hujan tak pernah kering dan banjir. Namun kini, kali yang merupakan hulu Waduk Kedungombo itu kering kerontang, dan yang nampak hanya batu cadas yang mencuat, sedangkan pasir dan batunya lenyap digali dan ditambang.
“Sudahlah Jas, sana ke sekolah. Anak-anak penerus negeri ini yang akan menimba ilmu sudah terlihat berangkat. Nanti kamu kesiangan. Cintailah pekerjaanmu. Kamu juga seorang pejuang yang setiap pagi menyiapkan segalanya untuk anak-anak belajar. Dan guru-guru itu yang memberikan ilmu.”, perintah Ngadimun kepada keponakannya Jasman.
Ngadimun memandang, keponakan satu-satunya yang betah tinggal di desa ini, mencurahkan tenaga dan pikiran untuk desa yang jauh dari keramain kota. Jasman mencium tangan Pakde nya, dan mengucapkan salam, sebelum melangkah menuju ke sekolah.
Dan, Jasman diluar kesadaran saat menaikkan bendera merah putih. Setelah dikerek sampai ujung atas, kemudian menurunkan kembali setengah tiang. ”Aku menghormati Pak De ku yang meninggal. Kalau ada orang yang bertanya, mengapa setengah tiang. Aku akan menjawab, seperti apa yang telah dijelaskan Pak De Ngadimun, Bahwa pakde ku Ngadiman tiga hari yang lalu meninggal, dan tak ada yang peduli siapa sebenarnya Pak De Ngadiman”, katanya lirih dalam hati.
23 Oktober 2008
PERKOSAAN PADA ORANGUTAN
Cerita Nomor 8.
PERKOSAAN.
Istilah perkosaan, tidak hanya ada dalam kamus bahasa manusia. Arti kata ini lebih kurangnya adalah merebut atau meminta secara paksa. Salah satu cirinya akan menunjukkan penolakkan atau perlawanan sekuat mungkin. Kalau sudah kehabisan tenaga, biasanya si korban hanya bisa berteriak jika masih mampu, kalau tidak hanyalah pasrah.
Dengan ciri tersebut kita bisa menduga, bahwa perkawinan secara paksa yang dilakukan pada orangutan dapat dikatakan pemerkosaan. Memang kata perkosaan, hanya ada pada manusia, kita menduga kalau hal itu terjadi pada manusia, kita akan menggunakan istilah perkosaan atau pemaksaan.
Khusus pada orangutan, memang hal seperti di atas sering terjadi. Dari perlakuan tersebut kita bisa menyimpulkan kejadian itu terjadi pada hewan jantan dan betina. Sebab sering terjadi jantan dewasa yang lebih tua atau perkasa mengejar jantan-jantan muda atau lemah.
Jantan tersebut menyerang dan melukai individu lain. Akan tetapi pada perkosaan si jantan jarang sekali melukai betina, dia hanya menginginkan kepuasaan saja.
Pelaku `pemerkosaan` kebanyakan dilakukan oleh jantan-jantan remaja terhadap betina remaja atau betina muda yang telah mempunyai anak. Jantan dewasa jarang melakukannya, sebab jantan dewasa tidak mau mendekati betina yang masih menggendong anak atau dalam keadaan hamil. Biasanya jantan ini lebih dahulu mencium kemaluan betina sebelum melakukan perkawinan. Masih santun.
Akan tetapi, pernah sekali kejadian jantan dewasa memperkosa betina yang sedang hamil tua. Kejam juga. Jantan dewasa yang bernama `CURLY` ini merupakan jantan liar yang sering datang ke kamp, di mana banyak orangutan betina.
Beberapa betina yang ada di kamp, rupanya belum ada yang datang birahinya. Ada yang masih remaja, ada yang mempunyai anak kecil, dan ada pula yang sedang hamil tua. Kalau belum waktu kawin tiba, maka umumnya semua takut mendekat jantan. Tapi kalau sudah waktunya birahi justru kebalikan, betina mengejar jantan.
Semua betina menghindar bila didekati CURLY dengan cekatan pindah pohon. Betina ini lebih lincah dalam bergerak dibandingkan dengan jantan karena betina mempunyai tubuh dan ukuran berat yang besar, hampir separuh dari ukuran jantan. Dan CURLY kalah cekatan dengan ‘perempuan hutan` ini.
Namun, ada betina yang lambat pergerakannya karena sedang hamil tua, antara 8-9 bulan. CURLY pun mendekatinya. Mulanya betina yang bernama Siswoyo ini menghindar, tetapi gerakannya tidak lincah dan keburu tertangkap kakinya. CURLY lansung ngerjain Siswoyo.
Kedua kaki Curly memegang kaki Sis dan kedua tangan Curly memegang tangan Sis (panggilan akrab Siswoyo). Siswoyo teriak dan berontak berusaha melepaskan diri, namun tak kuasa, kalah kuat. Siswi, anak semata wayang Sis yang tak tega melihat orangtuanya diperlakukan seperti itu, langsung membokong dari belakang dan menggigit tangan CURLY. Namun Siswi si kecil yang bandel ini, sempat kena pukul, kesakitan dan menangis. Tapi langsung menyerang lagi berusaha melepas tangan jantan `biadab` tadi yang mencengkram tangan induknya.
Sementara induknya meronta dan berteriak, CURLY dengan santainya melampiaskan nafsu birahinya. Kejadiannya begitu cepat. Kurang dari 5 menit. Siswoyo dan Siswi kemudian lari meninggalkan CURLY yang duduk tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tanpa merasa berdosa.
Jantan remaja, baik liar maupun rehabilitasi, sering melakukan pemerkosaan. Sekali pernah saya lihat kejadian yang sangat unik. Nampaknya diawali karena kekesalan dari sang pemuda terhadap pasangannya yang hendak selingkuh.
Sang pemuda sudah 3 hari berpasangan, kemanapun selalu berdua. Makan, pindah pohon bahkan tidurpun selalu membuat sarang yang berdekatan atau dalam pohon yang sama. Pada hari keempat, dalam pacarannya, ketemu dengan jantan lain, yang lebih besar dan mungkin menurut pandangan orangutan betina, lebih cakep. Pasangan yang semula kalah perkasa, selain ukuran tubuhnya yang lebih kecil, rupanya jantan pasangannya penakut tak punya nyali untuk melindungi kekasihnya. Begitu melihat datangnya jantan yang perkasa, mengundurkan diri sebelum bertanding.
Rupanya jantan yang baru datang tak menyukai betina dihadapannya yang sebelumnya berduaan dengan jantan lainnya. Walaupun nampaknya sang dara `ngebet` sekali dan mengikuti terus kemana pergi. Di dalam perjalanan jantan bertemu dengan dara manis dari hutan, iapun pergi menjauh dan mendekati betina yang baru diketemukan.
Sang pemuda pertama, pasangan gadis tadi, rupanya selalu menguntit kemana kekasihnya pergi. Begitu jantan pendatang sudah jauh, sang pemuda dengan cepatnya pindah pohon mengejar sang gadis. Tanpa ampun lagi, gadisnya dikerjain habis-habisan. Betina remaja tak berdaya di bawah kekuasaan jantan yang sedang kesetanan. Berkali-kali gadis berontak, menggigit tangan jantan, tetapi jantan lebih kejam perlakuannya, balas menggigit. Akhirnya, sang kekasih pasrah setelah dipepetkan pada celah pohon besar.
Begitu besar nafsu jantan remaja untuk membalas sakit hatinya karena sang kekasih ingin meninggalkan dia pergi ke jantan lain. Setelah merebut “buah terlarang”, jantan inipun pergi meninggalkan betina remaja yang duduk termenung di dahan.
Ah..ada-ada saja peri kehidupan ini.
22 Oktober 2008
MALARIA PADA ORANGUTAN
Ceritera Nomor 11.
MALARIA PADA ORANGUTAN.
Penyakit Malaria yang disebabkan oleh virus plasmodium yang hidup pada sel darah merah dan disebarkan oleh nyamuk, dapat ditemukan pada bangsa mamalia seperti manusia dan bangsa monyet atau kera. Kecuali Plasmodium berghei dan Plasmodium vinckei yang ditemukan pada tikus Afrika yang disebarkan oleh binatang mengerat.
Pada bangsa kera, penyakit malaria yang disebabkan oleh plasmodium, hampir mirip dengan plasmodi um yang hidup pada sel darah merah manusia. Misalnya Plasmodium rodhaini yang menyerang simpanse, mirip dengan Plasmodium malariae yang menyerang manusia. Atau Plasmodium vivax pada manusia, mirip dengan Plasmodium cynomologi pada bangsa kera. Sedangkan pada orangutan yang selama ini dilakukan penelitian, baik pada orangutan liar, peliharaan atau di kebun binatang, telah diketemukan 2 jenis plasmodium, yaitu Plasmodium pitheci dan Plasmodium silvaticum. Dan keduanya belum ada penelitian apakah kedua malaria yang menyerang orangutan mirip dengan plasmodium yang menyerang pada manusia, misalnya Plasmodium vivax, Plasmodium malariae atau Plasmodium falciparum.
Ini mungkin merupakan informasi baru, dan perlu penelitian lebih lanjut, bahwa orangutan rehabilitasi di Taman Nasional Tanjung Puting yang merupakan hasil sitaan dari masyarakat, terserang malaria. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium di RS Pangkalan Bun, ternyata darah orangutan tersebut ditemukan Plasmodium vivax yang hidup pada manusia. Dengan gejala penyakit pasien panas setiap sore dan panasnya mencapai 39 derajat celsius, badan lemas, nafsu makan kurang dan keinginannya hanya tidur. Merupakan tantangan baru bagi ahli parasit maupun primata.
20 Oktober 2008
CEMBURU YANG BERLEBIHAN
Ceritera Nomor 7.
CEMBURU YANG BERLEBIHAN.
Istri mencemburukan suami atau sebaliknya, itu biasa. Atau seorang pacar cemburu terhadap pasangannya, sering kita dengar, khususnya pada manusia. Atau perkelahian binatang yang sejenis, umumnya pada jantan, untuk memperebutkan betina, atau jantan mengusir jantan lain untuk melindungi pasangannya, sudah umum dan hampir terjadi pada setiap jenis binatang.
Tapi kalau binatang mencemburui manusia itu aneh, yah tak mungkin kalau manusia beradab sampai jatuh cinta beneran sama binatang. Tapi ini benar-benar binatang cemburu kepada manusia. Sungguh, memang satwa satu ini, yang konon 90% dekat kekerabatannya dengan manusia ini benar-benar sudah jatuh cinta kepada manusia, itulah orangutan.
Adalah Supinah, nama orangutan betina penghuni Kamp Rehabilitasi, memang telah lama akrab dengan semua karyawan. Supinah hanya suka dengan karyawan lelaki, baik bermain dan bercanda, dan tak suka sama sekali dengan karyawan perempuan. Kalau ketemu perempuan pinginnya selalu menyerang tak peduli karyawan itu yang setiap hari ketemu ataupun pengunjung yang datang. Kecuali perempuan kulit putih. Entahlah.
Ceritanya begini. Salah seorang karyawan telah lama akrab dengan semua orangutan yang ada di kamp, termasuk Supinah. Supinah sering diamati perilakunya, hampir setiap hari. Memang orangutan satu ini mempunyai perilaku yang macam-macam dan cerdik di antara kawan-kawannya dalam beberapa hal. Supinah bisa mengerjakan sesuatu, bila melihat yang dikerjakan karyawan. Misalnya mencabut rumput, menggergaji kayu, atau membersihkan rumput dengan cangkul atau mencuci baju di jembatan.
Suatu ketika, karyawan yang “diakrabi” Supinah tadi nikah dan istrinya diajak ke kamp. Rupanya istri sang karyawan belum bisa akrab dengan `nenek moyang` ini.
Supinah yang tidak tahu tentang adat dan kebudayaan bangsa manusia, bahwa suatu saat manusia itu akan berumah tangga, cemburu. Dia mencemburui wanita yang baru beberapa hari datang di kamp sudah nempel terus dengan karyawan yang sudah lama ia kenal.
“Saya embat juga ini manusia perempuan, baru beberapa hari datang sudah berani `nempel` teman saya”, begitu mungkin seandainya Supinah bisa ngomel.
Memang benar, Supinah setiap hari mengincar istri karyawan tersebut. Pagi-pagi sudah menunggu di kolong rumah. Suaminya selalu melindungi sang istri bila Supinah hendak menyerang. Kadang-kadang harus menghardik atau menakut-nakuti dan mengusir Supinah.
Rupanya Supinah sudah sampai puncak kecemburuannya. Tidak sabaran lagi. “Sial bener, saya yang sudah lama di sini dicuekin, mentang-mentang sudah dapat wanita manusia cantik”, perasaan Supinah dalam hati, mungkin.
Benar. Supinah dari kolong rumah secepat kilat menyerang karyawan tadi. Supinah `membokong` dari belakang. Tak ada 2 menit, sudah dapat melumpuhkannya. Karyawan tadi, hanya bisa menjerit dan minta tolong kepada karyawan lain. Dia tak melawan, dan tak memukul walaupun membawa tongkat. Dan mungkin tak menduga kalau akan diserang orangutan, seperti Supinah.
“Karyawan tersebut tak melawan, soalnya kalau memukul Supinah saat menggigit, takut kena anaknya yang masih kecil dalam gendongan” kata karyawan yang “dicemburui” Supinah. Kasihan tak bisa jalan, harus dipapah kemana pergi. Kedua kakinya kena gigit dan kedua tangannya kena cakar. Kasihan nasibmu.
Supinah lari masuk hutan, setelah mendengar bala bantuan karyawan berdatangan. Supinah sudah puas, dapat melampiaskan kemarahannya yang terpendam. Mungkin hatinya hancur berkeping-keping.
Kini Supinah telah pergi ke hutan tak kunjung datang ke kamp lagi. Mungkin di sana telah menemukan `kecintaan` yang sejati di alam kehidupan di tengah rimba raya. Maafkan Supinah, selamat jalan semoga hidupmu tenang. Ingin tahu siapa yang dicemburui Supinah, ya saya, penulis. Kasihan. (Foto oleh Ralph Arbus - OFI)
13 Oktober 2008
Hormat Siswoyo
Kalau orangutan mabok
Saya masih ingat benar, pada tahun 1984 sekitar pertengahan bulan Maret, saat melakukan penelitian orangutan, waktu itu Sis (panggilan akrab Siswoyo) hamil tua, lebih kurang sudah mencapai 8 bulan. Siswoyo bersama anaknya Siswi, menjebol kamar saya. Semua berantakan diobrak-abrik. Kasur sobek, buku catatan dan buku bacaan ambruladul, makanan kaleng disikat habis tak tersisa. Beberapa botol persediaan minuman obat untuk campuran jamu seperti 2 botol beras kencur, 2 botol anggur dan 1 botol madu, lenyap pula. Saya kaget bukan kepalang, sesampainya di pondok dari hutan saat itu.
“Siapa yang menjebol kamar ini” pikir saya, (siapa maksudnya orangutan mana). Teman-teman karyawan lain di kamp tak tahu siapa, karena memang pondok saya berdua jauh dari pondok kerja mereka. Saya dan Heru Datos diam saja melihat kamar berantakan, capai baru datang dari hutan.
Iseng-iseng saya jalan keluar pondok kerja, ingin tahu siapa yang kira-kira habis berpesta makanan dari dalam pondok kerja saya. Tak jauh dari pondok saya temukan beberapa botol tergeletak, bekas botol anggur dan beras kencur, kertas dan sebagian kue berceceran. Tak jauh saya berdiri, saya lihat Siswoyo dan Siswi diam di bawah pohon dan dihadapannya masih ada sedikit sisa makanan. Kami memastikan pasti mereka berdua yang menjebol pondok kerja saya.
Dengan rasa jengkel, saya berusaha mendekatinya, mungkin merasa punya salah, mereka langsung jalan dan masuk ke hutan. Namun, rasa jengkel saya hilang ketika melihat mereka berjalan sempoyongan. Siswi jalannya gontai, sesekali jatuh tersungkur, dan beberapa kali selalu salah memegang pohon atau ranting, tak ubahnya kalau melihat manusia mabok minuman keras. Siswi ingin naik pohon, tetapi salah memegang dahan dan jatuh, jatuh dan jatuh lagi. Saya tersenyum melihat perilaku mereka, terutama Siswi. “Tos, ingin lihat orangutan mabok”, teriak saya pada Heru yang duduk kecapaian. Betapa tidak, anggur 2 botol, beras kencur 2 botol dan madu 1 botol untuk ukuran orangutan Siswi yang baru berumur 5 tahun. Siswoyo terlihat agak tenang, tak tahu mungkin pening juga, jalan terus hanya sesekali menoleh ke belakang melihat anaknya yang sempoyongan dan selalu jatuh tersungkur. Ada-ada saja Sis!!.
Jagoan Camp.
Banyak teman-teman karyawan di Kamp Leakey, menyebut Siswoyo “jagoannya” di kamp. Semua orangutan rehabilitasi, baik jantan atau betina segan dan takut dengannya. Siswoyo mempunyai perawakan yang besar bila dibandingkan dengan orangutan lainnya, hanya anak-anak orangutan yang kecil saja yang berani berdampingan makan bersama orangutan tertua di komplek rehabilitasi orangutan ini. Sedangkan orangutan lainnya, saat diberi makan, hanya mengambil dan pergi menjauh dari Siswoyo, bila Siswoyo datangnya belakangan, maka ketika Sis datang, orangutan lain yang datang lebih dulu, pergi sambil membawa makanan.
Siswoyo memang bukan orangutan yang agresif menggigit atau menyerang orangutan lain. Tapi Sis paling tidak suka dengan orangutan yang saling mengganggu sesamanya. Dia paling benci melihat sesamanya menyerang orangutan lain, khususnya yang masih kecil. Pasti orangutan yang suka “jahil” ini dimusuhi Sis, kemanapun pasti akan dikejar. Lain halnya bila orangutan yang tak pernah menjahili sesama orangutan. Tak segan-segan membuat jera dengan menggigit individu yang bandel. Siswoyo memang sayang anak.
Siswoyo juga bukan gila hormat. Tetapi perlu menghormati “hak azasi orangutan” pada saat saat tertentu. Kalau dia dengan anaknya sedang tidur di Jembatan dan kita sebagai manusia ingin lewat, perlu mengucapkan “permisi Sis” numpang lewat. Maka diapun membiarkan kita berlalu. Kalau sedang duduk, tak jadi masalah.
Dua kali selama saya di kamp, Siswoyo melukai orang (manusia) dengan menggigit. Itupun sudah diperingatkan karyawan lain. “Jangan naik ke menara, ada Siswoyo sekeluarga tidur di sana” saran teman karyawan kepada Sukirno yang jadi korban kemarahan Siswoyo. Namun dia nekat. Pikirnya dia sudah kenal dengan Siswoyo. Sis tak pandang siapa dia. Kalau dia dan keluarganya yang sedang tidur diusik, Sis akan marah dan bila perlu akan mengigit. “Untung pakai celana jeans, kalau tidak, hancur kakiku “, kata Kirno sambil memperlihatkan luka memarnya kepada kawan lain.
Kejadian kedua, gigitan Siswoyo cukup parah terhadap orang asing, yang menjadi tenaga sukarela hampir 6 bulan. Memang orang ini sudah diberitahu ada Siswoyo tidur di jembatan, bilang “permisi numpang lewat” kalau mau mandi di sungai. Namun, pemuda Amerika belasan tahun ini sedikit ugal-ugalan, tak mau dengar saran teman teman karyawan. Saat di jembatan dia lari dan menimbulkan suara gaduh, mengganggu Sis tidur, lantas melompati Siswoyo. Sis kaget, dengan gerak cepat, Siswoyo menangkap kakinya, dan digigit betisnya meninggalkan luka yang cukup parah.
Tinggal kenangan.
Tiba-tiba saya dapat kabar dari karyawan yang memberi tahu lewat radio, “ segera datang Sis sakit parah”, begitu pesan singkat melalui radio. Memang Sis melahirkan anak terlalu cepat, 3 tahun sekali, normalnya orangutan 4 – 5 tahun, bahkan bisa lebih. Karena Sis subur dan ada jantan dewasa, maka sering melahirkan. Sis sudah pingsan, kemaluannya sudah bau. Saya membersihkannya dengan antiseptik dan memberinya obat antibiotik pada luka-luka di sekitar vaginanya.
Sis keguguran. Ari-arinya masih tertinggal di dalam. Saya langsung berkonsultasi dengan dokter kebidanan di Pangkalan Bun bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Ada petunjuk untuk mengambil ari-ari dengan memasukan tangan ke kemaluannya. Maklum waktu itu masih belum ada dokter khusus di proyek ini. Saat kembali ke kamp jiwa Sis sudah tidak tertolong lagi.
Tangisan seorang anak.
Sepeninggal Sis, anaknya yang bontot Sugarjito kelimpungan mencari di mana induknya. Jito melihat induknya dikubur. Dia memandangi dari jauh. Setiap hari Jito ada di sekeliling kuburan induknya. Tak doyan makan, kerjanya duduk termenung sambil memandangi “nisan” ibunya.
Karyawan berusaha memberi makanan atau minuman susu manis kesukaannya. Namun, hanya dipandangi oleh Jito. “Jitoooooo…” panggil karyawan, Jito hanya menjawab “ngggiiikk ….”, dengan suara yang melas asih.
Hari demi hari Jito hanya seperti itu, diam termangu tak mau makan dan minum, hampir satu minggu. Untunglah kakak kandungnya Siswi datang. Melihat adiknya diam termenung di dahan, Siswi mungkin tak tahu atau tak mau tahu (sifat satwa yang sudah lepas dari induknya) dengan kematian induknya. Jito turun dan memandang kakaknya. Siswi memegang muka adiknya dan pergi mengikuti karyawan yang memanggil untuk memberi makanan tambahan pada sore hari. Jito mengikuti dari belakang.