17 Januari 2013

ADOPSI POHON

DMO (Destination Management Organisation) atau program tatakelola daerah tujuan wisata, kini melakukan kegiatan untuk promosi Tanjung Puting khususnya dan Kotawaringin Barat, pada umumnya. Bentuk promosi ini mendatangkan para jurnalis, baik cetak ataupun elektronik. Dari sekian jurnalis yang diundang, terdapat para penulis lepas yang memiliki blok dalam dunia maya, mereka adalah para blogger. Dari berbagai kegiatan yang dilakukan dan kunjungan ke berbagai daerah tujuan wisata yanga ada di Tanjung Putting atau di Kotawaringin Barat, mereka menulis artikel dan menayangkan ke dunia maya. Harapannya dengan program ini daerah yang dijadikan program DMO, semakin dikenal. Dari berbagai daerah yang dikunjungi, salah satunya adalah di Camp Pesalat. Camp ini dikelola oleh FNPF (Friend of National Park Foundation) yang bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Tanjung Putting, yang focus kepada perbaikan lahan. Kegiatannya menyiapkan berbagai jenis bibit tanaman, selain ditanam di kawasan yang merupakan bekas ladang, FNPF juga membuka program “adopsi pohon”. Kegiatan ini, nampaknya sederhana, mengambil tanaman dan menanam, dimana lahan sudah disediakan oleh BTNTP dan FNPF. Namun program tersebut, memiliki nilai edukasi yang mendalam. Dimana siswa sekolah, atau pengunjung, atau wisatawan, berperan aktif dalam melakukan kegiatan proses tersebut. Mulai dari memilih tanaman, mengukur tinggi bibit, membuat lubang tanaman, dan menanam. Pak Ledan, sebagai petugas, mencatan semua “pengadopsi” pohon, lengkap dengan alamat, nomor kontak, nama pohon yang ditanam, tanggal, bulan tahun ataupun nomor petak. Program semacam ini, sudah banyak diterapkan diberbagai daerah, atau kawasan konservasi seperti taman nasional, arena pendidikan, suaka margasatwa atau cagar alam. Prosesnya hampir sama seperti yang dilakukan oleh FNPF. Sebuah pendidikan yang dimulai dari awal, dengan harapan masyarakat mengetahui sebuah proses yang memerlukan waktu. Agar mereka mencintai pohon, tidak menebang, tidak membabat, agar alam lebih hijau.

16 Januari 2013

PERUBAHAN IKLIM, PERUBAHAN SEGALANYA

Awal bulan Juni 2012, saya berkesempatan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, dalam acara pelatihan mengenai pembuatan paket wisata alam. Tanjung Puting, alamnya memang sangat indah. Kemungkinan untuk bertemu dengan satwa liar, sangat mudah. Seperti Orangutan, Bekantan, Lutung, Macaca, dan berbagai jenis burung dsb. Untuk menjangkau ke sana pun, relatif sangat mudah, dan tidak perlu bersusah payah.
 Ke Tanjung Puting, dari berbagai kota besar, sudah terhubung dengan penerbangan, seperti dari Jakarta, Pontianak, Semarang, Surabaya, Banjarmasin atau bahkan dari Balikpapan.
 
Nah, saat mau membuat paket tahunan tentang melihat orangutan dan petualangan melihat satwa di alam, ada hal yang hilang, artinya hilang dalam arti lingkungan yang sudah berubah. Perubahan itu, sudah berlangsung 2 tahun terakhir ini, yaitu menghilangnya kehidupan kelelawar dan ulat yang tak lagi ditemukan di jalur pariwisata.
Kelelawar tidak seperti dulu, mudah ditemukan. Masih ingat sekali kelelawar yang ada di Kebun Raya Bogor. Entah kemana mereka hijrah dan tak lagi ditemukan di Kebun Raya Bogor. Selain kelelawar itu juga ulat "marau" di kawasan konservasi tersebut (belum tahu bahasa latinnya atau jenisnya), juga telah menghilang. Orangutan, berbagai jenis serangga atau bahkan masyarakat sekitar, sangat menyukai kepompong tersebut. Saya pun pernah mencoba, makan kepompong tersebut yang telah dimasak, nikmat.
 Menghilangnya jenis jenis tersebut, menjadi sebuah pertanyaan besar. Apakah akibat kebakaran hutan? Di Kalimantan Tengah, kebakaran hutan memang sudah menjadi “langganan” setiap tahun. Tetapi mengapa baru 2 tahun terakhir ini mereka menghilang? Ataukah sering terjadi kebakaran hutan meningkatkan suhu di sekitar kawasan?
Bisa jadi akibat perubahan iklim secara global, sehingga mempengaruhi kehidupan satwa yang sangat sensitive terhadap perubahan iklim atau meningkatnya suhu di sekitarnya.
 
 Sepuluh tahun silam, terjadi bencana ekologi (kalau dapat saya sebut seperti itu), dimana terjadi migrasi belalang dari arah selatan ke utara barat di pulau Kalimantan ini. Karena terlalu banyaknya belalang tersebut, sekali “mampir” ke tumbuhan yang mempunyai daun berbentuk pita (seperti jagung, padi dsb) dalam hitungan menit, musnah. Perpindahan tersebut kadang membuat langit hitam tertutup dengan belalang yang melakukan perjalanan. Namun setelah saya amati, belalang itu selalu menghindari hutan yang masih tersisa. Sehingga perjalanan mereka selalu berputar dan menghindari hutan, bila rombongan tersebut akan menuju ke ladang jagung ataupun padi. Mengapa?
 
 Hilangnya spesies tertentu, tentu sangat mengganggu siklus sebuah kehidupan di alam. Ulat-ulat yang berbiak di pohon tertentu (yang sering dikenal adalah pohon ketiau), kadang membuat pohon tersebut “gundul” karena tak lagi mempunyai daun, namun hal ini hanya sementara, karena hukum alam selalu terjadi. Adanya ulat tersebut, sangat membantu dalam penyedia makanan atau protein bagi satwa yang memangsanya. Kadang saat musim tersebut, beberapa satwa terlihat gemuk, subur, sehingga sangat membantu dalam proses perkembangbiakan satwa. Dengan hilangnya jenis tersebut, langsung ataupun tidak, menganggu perkembangbiakan satwa langka, dan sedikit demi sedikit populasi berkurang, dan berkurang. Kemungkinan akan segera punah.
 
 Beberapa tahun terakhir ini, kita mendengar atau melihat. Jenis ulat yang menyerang mangrove atau malah ke kebun masyarakat, dan mulai masuk perkampungan atau perkotaan, yang sebelumnya tidak terjadi. Apakah hal ini karena serangga tersebut sudah kehilangan pakan?. Bisa jadi.
 Pemanasan global akan terus terjadi, lambat tetapi pasti, karena akibat hilangnya hutan dan rusaknya lingkungan. Alam akan berubah. Manusia dapat menyesuaikan diri, namun satwa liar, akan menanggung resiko, mereks dapat menyesuaikan diri, namun melalui sebuah proses yang panjang. Bagi yang betahan akan terus dapat hidup, namun yang rentan terhadap perubahan iklim, akan musnah. Hukum alam akan berlaku.

PESAN DARI ALAM

Petani Durian di suatu daerah di Sumatera Utara mengeluhkan, akhir-akhir ini produk duriannya turun. Panen durian tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi masyarakat itu, tidak tahu apa penyebabnya. Mungkinkah karena pohon durian itu sudah tua, dan harus diganti dengan durian yang muda. Atau ada factor lain? Pertanyaan demi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Di sisi lain, tak jauh dari kebun-kenun durian masyarakat, banyak kandang kandang yang berisikan kelelawar, yang ditangkap dan diperjualbelikan. Kelelawar yang ditangkap tersebut, konon memiliki khasiat untuk suatu penyakit tertentu, dan keperkasaan kaum pria. Itu konon kbabarnya. Dua kasus yang berbeda, namun hal tersebut menurut beberapa ahli, memiliki keterkaitan. Satu menangkap untuk diperjualbelikan, namun di sisi lain hasil perkebunan berkurang. Nah akibat dari penangkapan kelelawar tersebut, mengakibatkan turunnya hasil durian, karena kelelawar mempunyai peranan dalam penyerbukan. Perantara penyerbukan, berkurangnya satwa yang membantu proses penyerbukan, cepat atau lambat, berdampak pada panen buah yang penyerbukannya dibantu oleh satwa lain. Alam diciptakan untuk saling ketergantungan mahluk hidup yang satu dengan yang lain. Salah satu hilang, maka hilang pula mahluk hidup yang lain. Karena keseimbangan dalam kehidupan itu terganggu. Banyak hal, di alam terjadi kejadian yang tidak terjadi sebelumnya, konflik satwa. Satwa karnivora masuk kampung memangsa satwa peliharaan, atau kalau sudah “terpaksa” memangsa manusia. Sekawanan Gajah, memasuki perkebunan, perladangan memakan semua tanaman palawija, jagung, kebun yang ada. Malah terkadang gajah-gajah itu menghancurkan, meluluh lantakkan dusun. Belum lagi berbagai jenis primate. Orangutan banyak menyerang perkebunan sawit, perkebunan hutan tanaman industry, kebun buah-buahan milik masyarakat, ada kadang sudah memasuki perkampungan untuk mencari makan. Beberapa jenis monyet lainnya, juga banyak menyerbu perkebunan. Kini satwa-satwa itu menjadi masalah baru bagi manusia yaitu, konflik antara satwa dan manusia. Satwa sudah dianggap menjadi hama tanaman yang sangat merugikan manusia. Sementara satwa-satwa itu, merasa telah kehilangan habitat, kehilangan rumahnya yang berupa hutan tropis dan berubah menjadi berbagai kepentingan. Apa yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan satwa-satwa itu dari kepunahan?

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.