27 Oktober 2008

Dokter Where are You ?

Cerita No 32
DOKTER OH DOKTER WHERE ARE YOU ?
Waktu itu ada sekitar 25 ekor orangutan yang ada di karantina, belum lagi di Tanjung Harapan, Beguruh dan di Kamp Leakey. Semuanya perlu pengawasan baik yang besar ataupun yang masih bayi, yang sudah liar kadang kembali ke kamp atau yang masih di dalam perawatan.

Pekerjaan rutin dilakukan setiap hari oleh semua karyawan. Membersihkan kandang, mengobati yang masih sakit, memberikan vitamin bagi yang dalam perawatan dan membuatkan susu dalam botol bagi anak-anak yang masih kecil. Pagi dan sore hari memberikan makan berupa buah-buahan atau nasi baik yang ada di karantina ataupun di dalam hutan bagi orangutan yang berada di kamp. Kegiatan lain, mengikuti ke hutan bagi orangutan yang masih perlu diambil datanya, seperti setelah melahirkan, sedang berpasangan atau perilaku lain yang belum banyak diketahui. Baik bagi orangutan liar atupun rehabilitasi.

Penyakit kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Saat terjadi musim kering yang cukup panjang, beberapa orangutan terpaksa dibius untuk diobati. Penyakitnya sangat membahayakan bagi orangutan. Kulitnya terserang jamur pada sekujur tubuh, kadang sudah bau anyir. Yuni, nama orangutan di Camp Leakey yang saat itu sudah mempunyai anak, tak luput terserang penyakit ini. Karena sudah dewasa dan kuat, Yuni sulit untuk diobati, terpaksa dibius, dimandikan dan diobati. Memang tak memerlukan waktu lama, yang sudah sekali diobati kurang dari seminggu menunjukkan gejala yang membaik.

Saya selalu berputar dari satu tempat ke tempat lain. Sesekali orangutan harus saya bawa ke dokter hewan Windarto untuk pengobatan. Untunglah Pak Win sangat interest terhadap kerja semua staf proyek orangutan dalam melakukan penyelamatan orangutan. Bila Pak Win sedang tugas ke pedalaman, maklumlah hanya Pak Win satu-satunya dokter hewan yang ada di Kotawaringin Barat saat itu dan Pak Tiono, dokter umum manusia dari Rumah Sakit Pangkalan Bun sangat membantu dalam memberikan pengobatan bagi orangutan.

Repotnya kalau beliau-beliau tak ada dan orangutan yang sakit berada di tengah hutan atau bila waktunya pemberian vaksinasi atau pemberian obat cacing tiba, terpaksalah saya harus ke hutan, menuju tempat orangutan berada.

Biasanya panggilan tiba-tiba ini terjadi bila ada orangutan yang memperlihatkan gejala sakit. Harus disiapkan semuanya, kalau perlu konsultasi kepada dokter. Speed boat selalu siap setiap saat kalau ada panggilan. Tak peduli pagi, siang, sore atau tengah malam. Siap berangkat.

Pagi itu masih terasa dingin. Kabut tebal di musim kemarau yang bercampur dengan asap kebakaran hutan masih menyelimuti seluruh kota. Pak John mengantarkan sampai di Kumai, kemudian disambung dengan speed boat.

Suara yang nyaring dari mesin tempel memecahkan keheningan pagi, melaju dengan cepat membelah kabut dan Sungai Kumai. Sungai Sekonyer yang berkelok-kelok seolah-olah tak terasa bahwa kami berpacu dengan waktu untuk segera memberikan obat pada orangutan yang terserang muntaber. Burung dan semua satwa yang ada di hutan seolah enggan bangun di pagi yang masih berkabut campur asap ini.

Lebih kurang 45 menit sampai di Tanjung Harapan. Ambil ransel, setengah berlari aku menuju tempat menyimpan sepeda butut yang berada di balik semak belukar menuju Kamp Beguruh yang ada di tengah hutan. Aku harus menaiki sepeda ini melintas di tengah hutan lebih kurang 7 km. Sesekali aku turun untuk memikul sepeda saat melewati akar, pohon roboh atau rawa kecil yang berada di sepanjang jalan.

Setelah hutan dan rawa kecil terlewati, aku mesti menelusuri padang ilalang sejauh mata memandang. Aku jadi ingat, seperti seorang dokter hewan di sebuah film Australia yang terbang sana sini atau menggunakan kendaraan melakukan tugas dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengobati. Tapi aku kini di tengah rimba raya Kalimantan, menggunakan sepeda tua, kadang-kadang saat digenjot pedalnya berbunyi atau rantainya lepas karena di makan usia, tidak pernah diberi minyak pelumas, atau kadang-kadang harus menabrak pohon dan semak saat menikung di turunan dan remnya blong. Tapi semua pekerjaan ini aku lakukan dengan senang. Menikmati hidup, menikmati karunai Tuhan dan membantu menyelamatkan salah satu makhluk Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup. Karena habitatnya yang berupa hutan tropik kian menipis dan pemburuan untuk binatang peliharaan masih dilakukan.

Lamunanku buyar saat kudengar suara-suara anak-anak orangutan saat diberi minum susu di pagi hari. Segera aku “parkir” sepeda tua pada sebuah pohon dan mempersiapkan segalanya untuk melakukan “pemeriksaan” ala dokter. Aku mencoba melihat raut wajahnya, perutnya kembung, detak nafas masih stabil. Saran dari dokter, kalau ada tanda-tanda yang aku temukan pada orangutan, harus kuberikan obat tertentu. Selain itu, aku selalu membawa buku pegangan “bila dokter tak ada” sebagai buku pintar dalam memberikan pengobatan. Walaupun buku itu untuk manusia, orangutan sudah saya anggap sebagai manusia karena semua penyakit yang di derita berasal dari manusia juga.

Begitulah kerja “dokter karbitan” yang mondar-mandir ke sana kemari untuk memberikan pengobatan kepada orangutan. Sesekali harus memegang tangan orangutan memeriksa detak nadi, menggunakan stetoskop untuk mendengarkan detak jantung atau di depan mikroskop untuk melihat kotoran, apakah ada penyakit, bakteri atau cacing yang berada pada perut orangutan.

Untunglah aku mempunyai dasar-dasar tentang mikrobiologi saat menjadi “anak sekolahan” di Fakultas Biologi Unas. Hampir semua penyakit yang diderita pada orangutan, khususnya sitaan, tertular dari manusia. Hal ini dibuktikan bila ada orangutan meninggal. Aku selalu konsultasi dengan dokter hewan untuk mengotopsinya. Kadang kalau terpaksa aku lakukan otopsi sendiri, mengambil bagian tubuh, atau jeroannya, yang dicurigai adanya infeksi. Kadang orangutan mati karena di dalam perutnya penyuh dengan berbagai jenis cacing, malah pernah ada orangutan yang baru diterima, mati, dan cacingnya keluar dari lubang hidung, ngeri juga. Atau ada juga penyakit yang yang sudah kronis. Misalnyan hati yang sudah bengkak, merah terinfeksi, atau paru-paru yang sudah oenuh dengan cairan, serta banyak bintik-bintik merah dan teridentifikasi sebagai penyakit bronkhitis.

Masih banyak berbagai penyakit yang diderita orangutan, malah ada satu kasus yang belum diketahui saatitu, yaitu orangutan tiva-tiba mati mendadak. Pada hal badan sehat, semua organ tubuh bagus tak ada tanda-tanda terinfeksi, cacing bersih tak ada bahkan telurnyapun tak nampak, kotoran normal. Kemudian karena mecurigakan, daimbilah organ otaknya, dan diambil untuk sampel dan akan dikirim ke Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, tempak Pak Win menimba ilmu. Namun entah belum ada khabarnya saat itu, penyakita apa yang menyerang orangutan.

Kemudian aku beroikiran, apa jadinya kalau suatu penyakit menular pada manusia, dan menular ke orangutan. Terus menular kembali ke manusia, bisa jadi susah diobati. Karena konon khabarnya penyakit HIV yang ada pada manusia berasal dari minyet juga.

Seperti itulah sebuah pengalaman menjadi “dokter karbitan” yang dipaksa untuk menjadi tenaga kesehatan bagi oranmgutan. Namun dengan keadaan seperti itu, tak ada dokter hewan, harus mau belajar dan belajar menjadi “tukang pemberi obat”. Untunglah beberapa dokter menularkan ilmunya tentang berbagai jenis penyakit, cara mengobati, ciri-ciri kepada saya waktu otu. Aku bersyukur bisa menimba ilmu dan membantu memberikan obat kepada orangutan yang sakit, berkat pengetahuan yang aku peroleh dari orang yang memang dokter hewan. Seperti Pak Win, Doktor Jill Kusba dari AS ataupun “dokter penyakit manusia” seperti Pak Tiono.
(Foto : aku dan Yan Suryana di Camp Leakey, bersama salah satu pasien)

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.