21 Desember 2008

TAMAN NASIONAL ITU MILIK SIAPA ?


TAMAN NASIONAL ITU MILIK SIAPA?
Kegiatan tahunan yang sudah biasa kami lakukan pada bulan puasa, adalah Safari Konservasi Ramadhan (SKR). Keliling dari satu desa yang satu ke desa yang lain, atau dari sekolah ke sekolah yang lain, menggunakan kendaraan yang memang sudah menjadi program untuk melakukan pendidikan dan penyuluhan keliling. Walaupun sekolah-sekolah banyak yang libur, namun masih ada kegiatan di bulan suci itu, yaitu pesantren kilat, atau melakukan buka puasa dan sholat taraweh bersama dengan masyarakat.
Puasa tahun lalu, dilakukan SKR keliling di dua taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak. Waktu itu melakukan kampanye untuk menyelamatkan Owa Jawa (Hylobates moloch) yang memang kondisinya di alam sangat kritis, dan diperkirakan hanya tinggal kurang dari 2.000 ekor.. Banyak sekali pengalaman yang petik dalam perjalanan itu, untuk meningkatkan kegiatan penyuluhan keliling bulan ramadhan berikutnya.
Selain di daerah habitat Owa Jawa, juga melakukan SKR di Taman Nasional Batang Gadis sebuah kawasan konservasi baru, di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara.
Pemerintah Daerah Madina, juga mempunyai program Safari Ramadan dan berbuka bersama dengan masyarakat. Safari Ramadhan yang dilakukan oleh Pemda Madina ini adalah melakukan sosialisai tentang Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan tahun 2003, antara lain: Perda No 5 Tentang wajib baca Al Qur’an, Perda No 6, Tentang busana muslim dan Perda No 7, Tentang pemberantasan Maksiat. Tim yang dibentuk ada 8 kelompok yang disebar ke berbagai penjuru desa, yang diperkuat dengan 24 para ustadz. Nah, untuk sosialisai mengenai Taman Nasional Batang Gadis bergabunglah dengan tim sosialisai perda yang dibentuk oleh pemda tersebut.
Perjalan dari desa ke desa atau dari Masjid yang satu ke Masjid yang lain, banyak pengalaman yang ditimba dan muncul sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik. Pertanyaan yang keluar dari seorang petani di Desa Sebanggor Julu, misalnya. Sebuah desa yang indah memiliki mata air panas dan menjadi daerah kunjungan wisata dan terletak di kaki Gunung Sorik Merapi, dia menanyakan, “ Taman Nasional Batang Gadis itu milik siapa? Apakah milik masyarakat Mandailing Natal, atau milik masyarakat Sumatera, ataukah milik bangsa Indonesia atau tekanan dari Amerika?”. Dari para penceramah yang terdiri dari para Ustadz, Dinas Kehutanan, Camat dan beberapa LSM, terutama dari Dinas Kehutanan Kabupaten Madina memberikan jawaban, bahwa Taman Nasional Batang Gadis tak hanya milik Masyarakat Madina atau Indonesia, bahkan milik Dunia. Untuk itu mari kita jaga bersama.
Rupanya masih belum puas jawaban tersebut, maka salah satu tim dari penggiat lingkungan memberikan paparan yang lebih jelas, maka diberilah contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kawasan hutan yang ada di Madina, bila dilihat dari manfaatnya adalah milik masyarakat Madina, dan bukan milik orang lain. Kalau hutan rusak, yang langsung menunai bencana adalah masyarakat Madina, banjir di musim hujan dan kekeringan di msim kemarau, dan bukan orang Medan. Orang Jakarta mungkin hanya menonton TV mengelus dada dan mengatakan “kasihan orang Madina tertimpa bencana”, apalagi orang Amerika yang nun jauh di sana, manfaatnya secara langsung mereka tidak merasakan. Tidak seperti masyarakat Madina yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional Batang Gadis.

Minggu dini hari, tanggal 31 Oktober 2004, saat orang-orang sedang menyiapkan makan sahur, tiba-tiba beberapa sungai meluap dan menggenangi rumah mereka. Sungai-sungai yang meluap antara lain Aek Ranto Puran, Siala Payung, anak Sungai Siala Payung, Aek Pata Botung dan Aek Badang di Kecamatan Panyabungan, Panyabungan Utara, Bukit Malintang dan Siabu meluap. Belasan rumah hanyut, puluhan hektar padi yang sedang ditanam dan ada pula yang siap panen, terendam air. Jalan putus, jembatan utama yang menjadi jalur lintas Sumatra jebol. Maka lumpuhlah arus lalu lintas yang mengangkut sembako antar propinsi.
Panyabungan, yang menjadi Ibukota Kabupaten Madina, memang dikelilingi oleh bukit bukit yang mengelilingi kota itu. Seperti periuk raksasa, lembah Panyabungan memang sangat rawan diterjang banjir, bila terjadi kerusakan di bukit-bukit yang menjadi daerah tangkapan air kota ini. Air bah yang diperkirakan datang dan menerjang perkampungan adalah perbukitan dari sisi timur kota Panyabungan yang hingga saat ini masih marak adanya penebangan, yang bukan diusulkan menjadi taman nasional. Sedangkan kawasan yang dijadikan kawasan pelestarian terletak di sisi barat, membentang dan membatasi Panyabungan dari selatan menuju utara.
Kehidupan masyarakat di Madina tidak terlepas dari kebutuhan air untuk kehidupan sehari-hari, umumnya mereka adalah petani sawah yang sangat membutuhkan air. Selain itu kehidupan tradisional yang masih memiliki kebiasaan untuk menetapkan daerah sungai untuk menjadikan “lubuk larangan” memelihara ikan di sungai, juga sangat membutuhkan air untuk kehidupan ikan-ikan di dalam sungai, sebagai “ikan” simpanan untuk dipanen bersama untuk memenuhi kebutuhan desa secara bersama dalam waktu tertentu.
Sungguh tepat pemerintah daerah yang didukung oleh segenap masyarakat Madina untuk menetapkan kawasan 108.000 hektar menjadi sebuah kawasan taman nasional, menjadi benteng terakhir untuk menyelamatkan kehidupan flora fauna, dan yang lebih penting lagi untuk melindungi kehidupanan masyarakat kini dan yang akan datang dari bencana banjir seperti yang terjadi baru-baru ini. Mungkinkah semua bukit yang membatasi “Periuk Raksasa Panyabungan” ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi ?.
Bencana telah terlewatkan, dan mudah-mudah tidak akan terjadi lagi di kemudian hari yang sangat menyengsarakan rakyat kecil. Namun bencana ini dapat menjadikan sebuah renungan, betapa pentingnya sebuah hutan yang dilindungi. Sehingga terjawablah, taman nasional itu milik siapa ?.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.