27 September 2008

Menyinggahi Hulu Amazon

Menyinggahi Hulu Amazon

Sungai Amazon yang terkenal dengan kehidupan alamnya, mempunyai beberapa anak sungai dari beberapa negara, salah satunya adalah Sungai (Rio) Tambopata, yang hulunya di Peru dan Bolivia.

Oleh
EDY HENDRAS W

Kehidupan alam dan hutan di hulu Amazon, sebenarnya tak jauh beda dengan hutan dataran rendah yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Lembab, becek, berawa atau terdapat beberapa danau-danau kecil yang kaya akan kehidupan khas lahan basah. Namun karena pengemasan wisata alam ini cukup profesional, tak heran jika banyak wisatawan yang datang untuk menikmati kehidupan alam. Saya berkesempatan untuk mengikuti semua program berpetualang selama seminggu penuh, baik program siang maupun malam hari, di sela-sela acara pelatihan bagi Communicators dan Educators yang diikuti staf lapangan Conservation International dari berbagai negara. Penginapan unikBegitu tiba di Lima, ibu kota Peru dan menginap semalam, maka perjalanan menuju pedalaman pun dimulai. Dari Bandara International Lima, naik pesawat menuju Puerto Maldonado. Di atas negeri Peru ini terhampar pemandangan yang menakjubkan. Pegunungan yang menjulang tinggi, dan ada beberapa puncak bukit yang bersalju, satu sama lain bersambung. Celah-celah bukit yang terjal sesekali terlihat perkampungan di antara lembah yang terjal. Sejam kemudian, tiba-tiba pesawat menukik, dan memutar dengan perubahan ketinggian yang sangat terasa dan mendadak. Kemudian memutar menikung di antara lembah-lembah, dan mendarat di sebuah kota kecil Cuzso. Kota ini kaya akan peninggalan kebudayaan Indian kuno, dan terkenal di daerah Manchu Pichu. Lima belas menit kemudian perjalanan dilanjutkan ke Puerto Maldonado, lebih kurang terbang 30 menit dan mendarat di sebuah bandara kecil di tengah ladang dan hutan.
Pemandangan yang saya lihat adalah orang-orang antre untuk diimunisasi, terutama penyakit kuning dan malaria. Wisatawan domestik yang bukan penduduk Puerto Maldonado termasuk di antara mereka. Wisatawan asing biasanya sudah diberi tahu untuk disuntik imuninasi sebelum datang ke daerah ini.Di halaman parkir sudah menunggu beberapa truk yang dimodifikasi menjadi kendaraan angkut wisatawan, seperi diberi gambar kehidupan hutan, atau atap mobil tersebut dihias dengan atap rumbia, biasanya dibuat dari daun palem, yang cukup menarik. Pemandu memperkenalkan diri dan menjelaskan perjalanan menuju hutan dengan menggunakan dua bahasa Spanyol dan Inggris. Sungguh mengesankan penanganan wisatwan ini.

Lebih kurang 45 menit perjalanan menuju pelabuhan. Jalan berdebu yang belum diaspal dan hanya dengan pengerasan pasir dan batu ini mengingatkan jalan-jalan di pedalaman Kalimantan, berkelok-kelok, naik dan turun dengan jembatan sederhana. Yang melewati jalan ini tak hanya truk wisata, tetapi juga taksi-taksi carteran bagi wisatawan. Mulailah perjalanan dengan perahu panjang di Rio (Sungai) Tambopata. Sungai ini airnya keruh, di kanan kiri terlihat tanah-tanah yang longsor atau terkikis oleh banjir. Burung berterbangan, terutama sejenis betet atau macaw dan parkit. Kura-kura yang berjemur di batang yang mati beberapa kali tampak di pinggir sungai.Satu jam kemudian sampailah kami di penginapan Tambopata Lodge yang didesain sederhana, namun menarik. Rumah besar tanpa sekat dari belahan bambu. Setiap kamar tanpa pintu hanya penutup kain tebal (gorden), dan uniknya lagi setiap kamar tanpa penyekat dinding dan terbuka, hanya kamar mandi yang tertutup. Penerangan dengan menggunakan lampu minyak dan lilin, itu pun terbatas sampai jam sembilan malam, kemudian petugas keliling mematikannya. Hanya ada generator kecil untuk beberapa komputer dan bagi pengunjung yang ingin mengisi baterai. Berkunjung ke Pohon KapukPohon Kapuk (Ceiba petandra) bagi orang Indonesia mungkin tak begitu aneh. Namun lain bagi orang dari belahan bumi yang tidak memiliki tumbuhan ini, misalnya orang-orang Eropa atau Amerika bagian utara. Pemandu kami Rudolfo yang sudah dua tahun lebih berprofesi penjadi pemandu wisata alam. Setiap jengkal tak ada yang terlewatkan diceritakannya. Mulai dari serangga, tumbuhan obat, burung, monyet, semut pembawa potongan daun, sampai palam berjalan (Walking-palm). Tumbuhan satu ini unik, memiliki akar tinggi-tinggi, semakin tinggi semakin banyak akar napas (seperti kaki) karena hidup pada tanah yang berair atau kurang nitrogen.

Kami tiba di pohon kapuk raksasa, mungkin 20-an orang kalau bergandengan baru tergapai. Rudalfo tak mempunyai ceritera berapa tahun umur pohon kapuk ini, dia hanya mengatakan, mungkin sudah 200 - 300 tahun umurnya. Mungkin saja, karena akar banernya pun sudah sedemikian besar dan tinggi, dan konon kapuk-kapuk yang ada di Indonesia, nenek moyangnya dari pohon kapuk liar yang ada di hutan-hutan Amerika Latin ini.

Sebelum tidur, dan seusai makan malam, pemandu memberikan penjelasan tentang kegiatan esok harinya, bagi yang tertarik menuliskan kolom yang tersedia dan menyebutkan nomor kamarnya. Penginapan ini memiliki beberapa blok enam kamar, dan lodge ini mampu menampung 80-an wisatawan semalam.

Pukul 3.30 pagi petugas keliling menyalakan lampu penerangan setiap tamu yang menulis dan mendaftar pada papan yang tersedia. Tak semua kamar dinyalakan, hanya kamar tertentu yang mengikuti program ini. Lima belas menit kemudian pemandu yang bertanggung jawab keliling, membangun peserta. Setelah minum teh celup manis, karena di dapur tersedia beberapa minuman instan, seperti teh, atau sejenis minuman tradisional lainnya yang dikemas seperti teh celup, kami langsung berangkat. Tak banyak yang ikut, hanya saya dan peserta Marisa, Educator dari Brasil, serta pemandu, Caeras. Malam yang gelap, lembab dan sesekali Caerar menjelaskan beberapa serangga malam dan primata (monyet) yang hidupnya malam hari. Perjalanan hanya 20 menit, dan kami sampai di menara. Bayangan saya menara yang ada di tempat-tempat seperti ini dibangun dari kayu atau besi berbentuk kerucut, lebar di bawah dan mengecil di atas. Di kawasan pelestarian hutan ini berbeda. Dari bawah ke atas sama, lebar sekitar 2 meter dan panjang 2,5 meter menjulang ke atas setinggi 37 meter, dan diperkuat dengan ikatan tali baja sebanyak 16, persis seperti menara pemancar radio.

Untunglah kami hanya bertiga, tak terbayangkan kalau diikuti 9 peserta yang merupakan batas maksimum, sehingga goyangan tak begitu terasa. Kami terasa di atas pepohonan, pemandangan alam lepas terlihat. Angin pagi yang sejuk bertiup, terasa dingin. Suara serangga dan burung-burung mulai terdengar dan sedikit demi sedikit di ufuk timur mulai terang. Tiba-tiba kabut datang dan hutan tertutup kabut. Hanya sebentar dan terang kembali. Pukul 06.00 pagi matahari terbit dan pemandangan di atas hutan mulai tampak jelas. Burung Macaw khas hutan di Amerika Latin ini mulai beterbangan, parkit dan beberapa jenis monyet mulai melakukan aktivitas dengan menyuarakan suara yang gaduh, menambah suasana hutan terasa indah dan damai.Surga penggemar burungSeperti hari sebelumnya, saya harus siap bangun jam 04.00 pagi, kemudian makan pagi. Karena perjalanan ini akan dilakukan hingga siang hari. Aldo kali ini berperan sebagai pemandu khusus untuk menjelajah danau ditemani Chino yang juga berprofesi sebagai bar tender di restoran penginapan Tambopata Lodge.Pemandu-pemandu yang berjumlah 12 orang ini mempunyai peranan masing-masing, walaupun mereka juga mampu memandu di mana saja sesuai dengan paket yang ditawarkan.Suasana pagi yang tenang, sesekali suara burung mulai terdengar dan yang membuat berisik hutan di hulu Amazon ini adalah suara monyet hitam atau lebih dikenal dengan ”Howler Monkeys”. Suaranya gaduh seperti suara pesawat jet yang sahut-menyahut. Apalagi dalam hutan menggema menambah suasa hutan semakin seram. Kabut di sungai masih menyelimuti, udara dingin menyengat, karena perahu yang dengan mesin tempel 125 pk ini cukup kencang.

Lebih kurang 30 menit, perahu menepi, satu per satu pengunjung turun dari perahu. Dalam rombongan kami ada tiga orang pengamat burung dari Jerman, umumnya sudah lanjut usia, dan dipandu oleh pemandu perempuan yang rupawan, Ursula, dan fasih berbahasa Jerman dan paham tentang hutan dan isinya.Aldo sebagai pengayuh perahu dan bergantian dengan Chino serta Ursula. Perahu yang dapat memuat antara 10-15 orang ini, didesain sedemikian apik. Dua perahu digandeng dan diberi dak yang luas, sehingga wisatawan dapat leluasa berdiri untuk mengamati burung.Semua membawa binoculer (teropong). Aldo dengan cekatan memasang monokuler dan memberi tahu kepada kami semua untuk melihat burung primitif yang masih hidup. Perlahan Chino mengayuh perahu, sesekali pengunjung sibuk mengarahkan pandangannya ke obyek yang ditemukan. Macaw, elang, berbagai burung air, burung colibri yang mungil, raja udang, dan masih banyak lagi.Mata hari mulai naik, danau mulai terang dan pemandangan semakin menawan. Tiba-tiba Chino memberikan peringatan untuk tenang, jangan bergerak, dan semua wisatawan dimohon duduk. Sambil menunjuk kepada kami, lebih kurang 50-an meter ada sekelompok otter, sejenis berang-berang raksasa sedang berenang dan menangkap ikan. Semua meneropong. Saya menggunakan monokuler melihat sekelompok otter sebanyak enam ekor berenang, muncul dan tenggelam. Di ujung atau di tepi terlihat seekor otter santai di batang pohon yang mati sambil menikmati ikan hasil buruannya. Satwa ini sudah terancam punah, sehingga berbagai instansi berusaha untuk melindungi, seperti beberapa kebun binatang menyeponsori untuk melakukan penelitian dan perlindungan.Sebagai seorang pemandu alam dan interpreter, pemandu-pemandu ini sangat menguasai isi hutan dengan berbagai isinya. Mulai dari hutan primer, sekunder sampai ke semut yang sangat berbahaya karena berbisa..Mengintip satwaPaket program terakhir yang saya ikuti adalah jalan malam dan mengintip satwa. Berjalan di malam hari pada hutan tropik sangat mengasyikkan dan mempunyai pengalaman tersendiri. Walaupun saya sering di hutan, rasanya belum lengkap kalau tidak mengikuti program ini.Malam gelap gulita, kami ditemani Aldo. Tak banyak yang ikut, karena takut untuk menjelajah hutan pada malam hari. Karena sebelumnya Aldo menceriterakan akan bertemu berbagai satwa, mulai dari kodok, serangga, ular, mamalia lain, dan yang menakutkan dan kalau beruntung berjumpa dengan macan tutulnya Amerika Latin.

Kami mulai berjalan perlahan, sesekali menyenter primata malam, serangga yang bercahaya, atau jamur yang menyala di malam hari karena proses pembusukan dengan proses bioluminisensi, yang menyala berwarna hijau seperti cahaya kunang-kunang.Subuh, kami berangkat lagi dan diam di tempat mengintip satwa yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga sangat mudah untuk mengintip aktivitas satwa. Pondok ini dibuat di tepian sungai, di seberang sana terdapat tebih dengan tanah atau lempung berwarna putih kemerahan. Satwa yang datang bukan untuk minum, tetapi memakan tanah yang mengandung mineral. Berbagai jenis burung, mamalia seperti babi, rusa, monyet. Namun ada teori lain yang mengatakan, bahwa satwa-satwa ini memakan tanah untuk mengambil bakteri yang ada guna membantu dalam pencernaan. Hhm… sebuah pengalaman yang mengasyikkan.
Penulis adalah wisatawan dan bekerja untuk Conservation International Indonesia

Meraih Puncak Piramida Suku Indian




Meraih Puncak Piramida Suku Indian
Naskah dan Foto OlehEdy Hendras W.

Kata piramida identik dengan Negeri Mesir yang memiliki beberapa bangunan megah yang dijadikan untuk menyimpan mayat para Raja Mesir zaman dahulu. Tapi piramida yang ada di Guatemala, Amerika Tengah, berbeda. Bangunan ini tempat tinggal dan pemujaan sebagian Suku Indian.Berwisata ke Amerika Tengah cukup mengasyikkan. Pilihannya yang busa dicoba adalah Guatemala. Selain wisata keliling ibu kota negara ini Guatemala City, kita dapat mengunjungi beberapa obyek wisata menarik: piramida. Bangunan ini menjadi tempat tinggal dan pemujaan sebagian suku Indian.
Warga Guatemala City berbicara dengan bahasa Spanyol. Ketika tiba di bandara, saya sempat dibuat repot soal ini. Petugas bandara tak punya banyak kosakata Inggris. Ini yang membuat saya bingung untuk menjawab pertanyaan mereka. Menanyakan asal negara misalnya. Saya jawab dari Indonesia. Tapi mereka tanya Indonesia itu di mana. Aku mulai memancing, Asia, dia tahu. Singapura, dia ngerti. Bali dia paham. Nah, Bali itu bagian dari Indonesia. Biar makin gampang, saya jelaskan dengan menunjukkan posisi Bali dalam peta Indonesia.
Urusan imigrasi beres, saya menuju loket Tourism Information. Di sini, saya lebih banyak bertanya tentang lokasi hotel yang sudah direservasi. Tak ketinggalan, biaya transportasi menuju hotel. Si petugas menyebut angka, ”US$ 5”. Namun apa nyana karena saya tak busa menawar dan sopir taksi tak busa berbahasa Inggris, ongkos menjadi 10 dolar AS. Padahal, tak sampai 10 menit sampai di hotel yang aku tuju.Naik CN 235
Hotel yang saya inapi ini tarifnya cukup aduhai bagi orang Indonesia, sekitar 90 dolar AS. Karena harus menunggu dua malam, maka hari pertama saya gunakan untuk keliling kota, bersama kawan yang datang belakangan. Supaya tak kesasar, kami mencari jasa pemandu. Untunglah pemandu ini memang sudah fasih dengan pekerjaannya. Selain sebagai sopir, dia juga fasih berbahasa Inggris dan menguasai obyek wisata kota. Mulai dari sejarah Guatemala, penduduk, geografis dan kancah politik yang sedang terjadi di negeri ini.
Kebetulan saat itu adalah hari Minggu. Di sebuah alun-alun yang cukup luas, dan sisi kanan kiri menjulang bangunan kuno yang antik, serta gereja tua yang indah. Pemandu menjelaskan, pada hari minggu ada semacam ”pasar kaget”, di mana banyak orang dari pedalaman pergi ke kota untuk menjajakan barang dagangannya, yang berupa hasil bumi atau kerajinan, di samping mereka pergi ke gereja.
Kios-kios kaki lima ramai berdiri. Warung-warung makan dipadati pengunjung. Penjaja kerajinan seperti kain-kain khas Indian berjajar. Tukang obat ramai menawarkan obatnya dengan suara speaker yang nyaring dan diselingi sulapan ringan. Anak-anak penyemir sepatu, menawarkan jasanya ke setiap pengunjung. Dan tak ketinggalan juru potret amatiran menawarkan jasanya untuk mengambil gambar pengunjung dengan menggunakan kamera instan yang langsung jadi.
Pagi berikutnya kami dijemput taksi menuju bandara. Di bandara saya melihat pesawat CN 235 yang akan membawa rombongan ke Flores, sebuah kota tujuan berikutnya. Setibanya di Flores, rombongan dijemput dengan bus, dan menuju Tikal, suatu kota kecil yang menjadi lokasi pelatihan dan kunjungan wisata alam. Piramida Suku Indian
Perjalanan naik bus dari Flores menuju Tikal lebih kurang dua jam. Pemandangan dari desa desa yang dilalui cukup menawan. Jalan yang mulus hilir mudik bus-bus pariwisata membawa wisatawan manca negara. Pepohonan yang menjulang di tepian jalan mengingatkan daerah tropik yang subur. Kanan kiri jalan raya membentang padang rumput yang berpagar kawat duri, yang merupakan ladang peternakan. Beberapa kelompok sapi meruput, tanpa penjagaan. Namun di petak lain terlihat ada beberapa sapi yang digiring untuk dikirim, entah kemana oleh pemiliknya.
Tiba-tiba sopir bus mengurangi kecepatan, karena di depan ada portal. Dan bertuliskan, ”Benvendo” atau ”Welcome To Tikal National Park”. Petugas ”jagawana” keluar dari pos jaga dan masuk ke dalam bus. Petugas ini bertanya soal administrasi dan kelengkapan rombongan untuk memasuki kawasan. Cukup njelimet, karena kawasan yang dijaga adalah taman nasional dan sudah menjadi Cagar Biosfeer atau World Heritage Sites, tak sembarangan orang masuk, dan harus izin. Mereka tak perduli siapa yang melewati jalan harus berhenti di portal itu, turun dan melapor ke petugas.
Akhirnya tibalah rombongan di ”Jungle Logde” yang dijadikan tempat penginapan dan sekaligus pelatihan dan pertemuhan tahunan bagi ”Comunicators and Educators” Conservation International dari berbagai negara. Penginapan ini dibangun sederhana, berbentuk bungalow, terpisah satu bangunan yang satu dengan yang lain. Dibangun persis dekat pintu masuk Taman Nasional Tikal. Sehingga penginapan ini tak pernah sepi pengunjung. Bangunan sederhana, namun fasilitas menyerupai hotel berbintang. Hanya listrik menggunakan diesel dan dinyalakan hingga pukul 11.00 malam, selebihnya penginap diberikan lilin.Dengan profesional, pemandu menjelaskan keberangkatan menuju taman nasional. Ada beberapa peraturan yang boleh dan tidak boleh, selama berada dalam taman. Tiba-tiba pemandu berhenti membelakangi sebuah pohon. Mulai ceritera tentang pohon Ceiba, yang menjadi ”pohon nasional”-nya Negeri Guatemala. Ceritera panjang lebar tentang sejarah pohon itu, kegunaan dan sangat bermanfaat bagi Suku Indian.
Setelah saya amati pohon Ceiba itu, ternyata sama dengan pohon kapuk di Indonesia, memang satu jenis dan memiliki nama ilmiah yang sama yaitu Ceiba petandra. Aku bicara dengan kawanku yang dari Suriname, di negeri saya juga banyak pohon seperti ini, dan tumbuh di mana-mana. Karena dia seorang biologis, dia tahu dan memperkirakan nenek moyang pohon kapuk ada di Amerika Latin dan disebarkan ke mana-mana, termasuk ke Asia.
Akhirnya sampailah kami di kompleks ”Candi” atau ”piramida” suku Indian. Kompleks bangunan ini memang tidak mengelompok, tapi membuat semacam lapisan. Lapisan pertama untuk penjagaan, tempat tinggal hulubalang kepala suku, tempat tinggal kepala suku, tempat untuk bermusyawarah dan tempat untuk pemujaan dewa. Diperkirakan ada lebih 3.000 bangunan, termasuk beberapa ”candi” yang tinggi menjulang di atas kanopi hutan yang megah. Kompleks bangunan ini diperkirakan dibangun 1.500 tahun yang lalu dan ditempati lebih dari 100.000 Suku Indian Maya.
Ada sebuah tempat lapang yang sangat luas, yang menjadi pusat dari kompleks candi ini. Di ujung barat menjulang candi yang cukup tinggi. Di bagian bawah ada batu-batu tempat musyawarah kepala suku beserta istri dan penasihatnya. Sisi yang berhadapan terdapat bangunan yang menjulang tinggi tempat peribadatan, serta sisi kanan dari bangunan utama beberapa bangunan untuk rakyat yang menanti pertemuan atau upacara. Dimakan UsiaSeperti halnya bangunan peninggalan sejarah, candi dan piramida juga dimakan usia. Penggalian-penggalian yang dilakukan oleh ahli purbakala, dilakukan sejak awal abad ke-19, saat mereka memulai eksplorasi ke Amerika Tengah. Penggalian bukit-bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan yang di bawahnya merupakan bangunan candi dan piramida dilakukan. Sedikit demi sedikit, bangunan demi bangunan di renovasi. Hingga saat ini hasil dapat dilihat dan dinikmati wisatawan baik dalam atau luar negeri.
Beberapa bangunan utama, hingga saat ini masih direnovasi, karena candi yang berbentuk piramida ini mengalami pengikisan oleh air hujan. Berbeda dengan Candi Borobudur atau Prambanan atau candi lain di Jawa yang terbuat dari batu hitam dan keras. Candi-candi orang Indian ini terbuat dari batu kapur atau cadas yang tidak sekokoh candi di Indonesia. Namun ada banyak bangunan yang sudah hancur dan ditumbuhi pohon yang menjulang tinggi yang belum tertangani.
Untuk mencapai pucak bangunan yang tertinggi yang sudah dapat didaki, memerlukan tenaga ekstra, karena harus menaiki anak tangga. Ada juga tangga buatan dari kayu untuk busa sampai ke puncak tertinggi dari bangunan lain. Setelah sampai di puncak, barulah busa melihat semua hutan dan kompleks bangunan lain di dalam hutan ini.
Pengelolaan yang terpadu peninggalan arkeologi ini yang berada dalam kawasan hutan, membuat Taman Nasional Tikal menjadikan kawasan dan telah dideklarasikan sebagai Peninggalan Kebudayaan dan Kehidupan Alam untuk umat manusia modern saat ini. Untuk itu kawasan ini oleh Unesco ditetapkan sebagai World Heritage Site. Areal kawasan ini meliputi Taman Nasional Tikal seluas 57.600 Ha, Hutan alam San Miguel 49.500 ha dan Cagar Biosfeer Maya seluas satu juta hektare. Semua cagar ini menempati lebih kurang 10 % dari total luas Negeri Guatemala.
Selain wisata budaya yang disuguhkan di Taman Nasional Tikal, kawasan ini juga menyuguhkan wisata minat khusus. Berbagai satwa mudah dijumpai seperti, howler monkey dan spider monkey. Berbagai jenis burung yang berwarna warni mudah ditemukan sepanjang jalan menuju candi dan piramida. Seperti burung betet atau macaw, parkit, taucan dan berbagai jenis burung lainnya yang diperkirtakan ada sekitar 333 jenis. Selain itu beberapa jenis kadal atau sebangsa iguana juga banyak dijumpai, dan menjadikan daya tarik bagi wisatawan minat khusus, selain menikmati megahnya peninggalan Suku Indian Maya juga melihat kekayaan alam yang terjaga. ***Penulis adalah wisatawan Indonesia bekerja di Conservation International Indonesia.

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.