20 November 2008

Berburu Ular : Merusak Ekosistem ?

Pagi tadi, 19 Nopember 2008, ada sebuah berita yang menggelitik buat saya, di sebuah media elektronik, yaitu anak-anak sekolah berburu ular. Mereka tidak memiliki rasa takut dengan ular-ular yang diburu. Digigit, sudah biasa, kata anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah SD itu, katanya sudah kebal.

Anak-anak di sebuah desa Boyongbang daerah Tulung Agung Jawa Timur ini, seharinya dapat menangkap 2-3 ekor ular. Hasil tangkapan mereka, kemudian dijual ke pengumpul dengan harga berkisar antara 5-30 ribu/ekor, tergantung dari besar kecilnya ular-ular itu. Nampak dalam tayangan, ular-ular itu ditimbang, berbagai jenis. Saya pikir ada ulang-ular yang langka. Kemudian para pengumpul menjualnya ke Solo atau Surabaya.

Menurut pedagang ular itu, binatang melata ini diambil kulitnya untuk di samak dijadikan berbagai pernak-pernik kehidupan, seperti tas, ikat pinggang atau barang lainnya. Sedangkang dagingnya untuk dimakan, konon bermanfaat untuk obat tertentu.

Kejadian ini mengingatkan saya, sewaktu masih bekerja di arena pembelajaran pendidikan konservasi alam di Bodogol yang ada di lereng Gunung Pangrango yang berada dalam kawasan taman nasional. Kejadiannya sungguh menakutkan, bagi yang takut dan geli melihat ratusan ular mati menggelepar, persis seperti di film-film horor.

Suatu hari, kami dikejutkan dengan benyaknya ular yang berkeliaran di jalanan, menuju arena pembelajran itu. Kami pikir hanya satu atau dua ekor saja. Berbagai jenis, ada yang berbisa kuat, namun ada yang tak berbisa, tapi besar dan menakutkan. Apalagi kawasan ini untuk tempat belajar anak-anak sekolah. Sungguh tak terbayang kalau ada kejadian anak yang belajar di alam digigit ulat.

Operasi bersama pun kami lakukan dengan para petugas taman nasional. Hasilnya, masyaAllah. Ratusan ular menggelepar, ada yang sudah mati jadi bangkai, ada yang setengah mati, namun ada yang masih jalan-jalan walau badan lemah bangets.

Ular yang mati kami kubur yang setengah mati kami biarkan, mungkin akan mati juga, sedangkan yang hidup satu atau dua kami biarkan hidup atau kami singkirkan jauh-jauh dari arena pembelajaran, agar tak membahayakan dan membuat rasa takut anak-anak sekolah.

Kami nggak tahu siapa orang yang membuang ular sembarangan ini. Apakah pengumpul yang tak sanggup memelihara dan nggak laku dijual, atau juru sita dari pihak yang terkait. Namun kenapa membuang sembarangan yah. Kami hanya sedih menangkap satwa ini hanya untuk dibunuh dan dibiarkan mati.

Hal-hal semacam ini seharusnya langsung bisa ditangani leh pihak-pihak yang terkait, sehingga alam ini tidak terganggu keseimbangannya. Kini hama tikus merajalela menyerang sawah dan pekebunan, hal ini karena manusia memulai memutus rantai makanan yang sudah ada. Atau mungkin program penyadaran bagai kita semua akan pentingnya fungsi mahluk hidup yang saling ketergantungan satu sama lain. Memang benar “sudah nampak tanda-tanda kerusakan di darat dan lautan karena ulah tangan manusia juga, yang berakibat kurang menguntungkan bagi kehidupan kita pula”

Edy Hendras

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.