25 November 2008

TBC : Suatu Pagi Di Pasirwangi Garut


Pagi itu di desa Padasuka, Kec. Pasirwangi Garut, udara masih dingin, mencekam. Maklumlah daerah ini berada pada ketinggian di atas 1.000 meter dpl (di atas permukaan laut). Saya lupa membawa jaket tebal, tetapi dinginnya malam dan pagi ini bener-bener aku nikmati, saya resapi, walau sedikit mengigil. Karunia Illahi.
Dari kejauhan, di keremangan kabut, muncul sahabat mudaku. Dia membawa berita, bahwa seorang ibu meninggal, dini hari tadi, karena penyakit yang sudah lama dideritanya, yaitu TBC. Itulah kejadian sehari-hari ada saja yang aku temui. Memang di daerah ini angka cukup tinggi penderita penyakit ini. Dan saat ini saya memasuki dunia baru, isu baru yang selama ini belum pernah aku jalani, yaitu melakukan kampanye penyadaran untuk pemberantasan penyakit menular ini.
Menurut catatan dari Dinas Kesehatan saja, setiap bulan di kabupaten penghasil dodol ini, lebih kurang 2% penderita baru, yang memeriksakan ke Puskesmas atau rumah sakit, dari 800 penderita yang tercatat. Mangapa tercatat, karena rupanya banyak yang tidak tercatat.
Hampir 6 bulan ini aku dan kerabat dan para sahabat muda, mencari tahu. Untuk satu kecamatan yang menjadi obyek kegiatan, sudah ada 233 orang suspect. Kemungkinan besar, menurut perkiraan ada 2-3 kali lipat dari total penderita yang ada di kecamatan tersebut. Jadi kira-kira ada 180an (data yang ada di Puskesmas 63 orang) penderita dari total 63.000 jiwa. Edun ... gede banget.
Nah pokok masalahnya adalah, sebagian masyarakat percaya bahwa penyakit yang merenggut nyawa saban tahun itu adalah penyakit turunan, penyakit kutukan. Nah inilah tugas yang harus meyakinkan bahwa TBC bukan turunan dan kutukan, tapi bisa diobati. Maka semua ”pasukan” menyiapkan kampanye untuk mematahkan kepercayaan itu. Alhamdulillah sedikit demi sedikit bisa mayakinkan. ”TBC Sanes Panyawat Turunan, TBC Sanes Panyawat Kutukan, TBC Sanes Panyawat Ngisinkeun, TBC Tiasa di landongan, landongna GRATIS” (Artinya TBC bukan penyakit kutukan, turunan, memalukan dan bisa diobati). Itulah kira-kira, kampanye yang terus menerus didengungkan dengan berbagai cara. Strategipun disusun untuk menembus ”barikade” kepercayaan itu. Memulai memasuki komunitas kyai/pesantren/ustadz, pendidik/guru, gender/ibu-ibu, anak-anak muda, sekolah, kelompok tani, kelompok orang bebas (terjemahin aja yak). Materipun disiapkan dengan berbagai cara buku bacaan, media dakwah, ceramah keliling dsb.
Memang suatu cara yang memerlukan waktu yang panjang, karena kami mempunyai mimpi pemberantasan penyakit ini harus benar-benar tuntas, dan mandiri. Karena penyakit ini bila ada satu orang penderita, kemungkinan bisa menularkan 10-15 orang. Dan di Indonesia konon nomor tiga urutan dari negara-negara di dunia. Dan konon lagi di Garut nomor urutan satu di Jawa Barat, top banget. Mungkin bisa jadi nomor satu di Indonesia ... wow.
Untuk ke arah sama, maka kamipun memulai bebenah. Membantu membuat lab kecil di Puskesmas, menyiapkan alat-alat seperti mikroskop dan bahan-bahan lain, yang dibantu oleh Chevron Geothermal, pabrik listrik yang clean industry, tak ada pencemaran. Entahlah alat dan bahan apa saja aku tak paham, hanya para dokter saja yang ngerti. Orang juga sering sebut tim yang aku terjunkan, sebagai seorang dokter ahli kesehatan TBC. ”Ah ... bukan, kami hanya pengamen yang bisanya hanya menumbuhkan motivasi saja untuk melakukan sesuatu”. Eh masih nggak percaya juga....terserahlah ada sebutan baru ”dokter”..... kapan sekolahnya mas ?
Sekali lagi mimpi pemberantasan mandiri, maka dilatihlah beberapa kader setiap desa (posyandu) dengan bekal pengetahuan untuk mendeteksi tanda-tanda penderita. Tentu yang ngajar para dokter Puskesmas dan ahli kesehatan masyarakat. Kami hanya, mengundang, menyiapkan dan menonton agenda-agenda acara seperti ini. Lantas para kader puskesmas itu akan mendata dengan ”sesungguhnya” para tetangga dan warga yang mempunyai tanda-tanda, atau penderita. InsyaAllah akan diberi reward.
Kalau perlu menemukan sebanyak-banyaknya penderita. Dengan ditemukan banyak, maka akan banyak pula yang diobati, dan disembuhkan. Maklum masyarakat masih menganggap berobat TBC itu mahal. Padahal gratis, hanya saja mereka malu untuk berobat dan periksa, serta ongkos ojek mahal untuk ke Puskesmas. Maklum lagi, kantung-kantung TB di daerah yang minus.
Perlu sebuah perjalanan panjang untuk merubah perilaku. Seperti ventilasi yang kurang, rendahnya gizi, sanitasi yang kurang baik dan sekali lagi kepercayaan penyakit itu tadi, turunan dan kutukan. Sabar dan sabar, merubah kebiasaan adalah perlu proses. Kalau orang Jawa bilang antara watak dan watuk (batuk). Watak perlu cara dan waktu untuk berubah, kalau watuk ya berobat, tergantung watuknya apa penyebabnya, kalau TBC ya perlu kesabaran, sampai 6 bulanan. Oleh karena itu semua komunitas terlibat. Rupanya anak-anak juga sudah ada yang tertular .... alamak gawat ?. Mulai bulan depan ”ngamen” melagukan lagu kampanye penyadaran TBC memulai memasuki sekolah, dengan berbagai kegiatan. Sampai-sampai akan mengaktifkan lagi dokter kecil yang dulu pernah dilakukan. Beberapa tempat dibuat himbauan dengan berbagai tulisan salah satu di antaranya adalah
” Berobatlah kamu, karena Allah SWT tidak mengadakan suatu penyakit, melainkan telah mengadakan pula obatnya...." (HR. Ahmad)

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.