16 Desember 2008

TIGA MINGGU TERBARING KOMA


TIGA MINGGU
TERBARING “KOMA”.


Saat saya datang pertama kali tahun 1983 di Tanjung Puting, Sungai Sekonyer masih memiliki warna air yang hitam, tapi bersih. Itulah ciri khas dari sungai di daerah rawa gambut. Masyarakat sekitar menggunakan air sungai ini untuk berbagai keperluan, mandi, cuci, minum, dsb. Bahkan kapal-kapal motor ataupun kapal layar sebelum menyeberang mengarungi laut Jawa, seringkali mengambil air Sekonyer untuk bekal selama perjalanan.

Selain itu wisatawan baik asing maupun domestik senang sekali berenang di sungai tersebut. Hotel Rimba, salah satu penginapan yang berada di tepi Sungai Sekonyer membuat kolam renang apung untuk berenang tamu-tamu yang menginap.

Sebagai lokasi rehabilitasi orangutan, Tanjung Puting memiliki tiga lokasi untuk melepaskan orangutan. Selain di Kamp Leakey yang pertama kali dibangun, juga di Natai Lengkuas, serta di Pos Tanjung Harapan. Berhubung di Natai Lengkuas kurang pengawasannya, maka beberapa orangutan dipindahkan lagi di Kamp Leakey, sedangkan di Tanjung Harapan masih dipertahankan.

Saat itu adalah musim penghujan, sungai meluap. Namun, sungai Sekonyer airnya masih tetap berwarna hitam. Musim-musim seperti ini banyak masyarakat penebang hutan menghanyutkan kayu-kayunya dari pedalaman hutan untuk ditarik ke Kumai, lokasi terdekat untuk memproses kayu, seperti pemotongan, penggergajian dan sampai pengapalan untuk dikirim keberbagai tempat, baik ke Jawa ataupun ekspor ke luar negeri.

Kayu ramin adalah kayu yang memerlukan “perawatan” khusus. Kalau tidak, kayu ini rapuh dan akan mudah dimakan oleh serangga saat kering, sehingga sebelum dipotong-potong menjadi bahan siap pakai, balok ramin harus direndam dengan “asam khlorida” agar tahan terhadap serangan serangga.

Balok kayu yang sudah diproses diturunkan ke sungai. Semua diikat dengan rotan, dipaku dan digandeng satu sama lain, sehingga membentuk seperti rakit. Klotok menarik dari hulu Sekonyer menuju Kumai yang memerlukan waktu lebih dari sehari. Sepanjang sungai yang dilalui klotok menarik ramin ini, meninggalkan cairan kimia yang sangat beracun.

Kulitku pernah menjadi korban “keganasan” racun ini, saat mandi di Sekonyer. Saya tak menduga, saat ada klotok menarik ramin lewat, tanpa pikir akibatnya, langsung mandi di “kolam renang apung” milik Hotel Rimba. Kulit merah, gatal dan akhirnya melepuh, persis seperti bekas terbakar api. Cepat-cepat ke dokter untuk diobati dan menjalani perawatan khusus.

Tak hanya itu, lima ekor orangutan ikut menjadi korban. Inas, karyawan yang mengawasi orangutan di Tanjung Harapan membawa 3 ekor orangutan ke Pasir Panjang, karena tiba-tiba terserang diarea hebat. Mencret, muntah dan muka berwarna kebiruan, serta mulut mengeluarkan buih. Hanya 3 hari perawatan, 2 ekor orangutan mati. Satu lagi 2 hari kemudian. Belum lama 3 ekor mati, datang satu lagi orangutan yang mempunyai gejala yang sama.

Yan Suryana mencurigai adanya susuatu yang ganjil dalam kasus ini. Pak Gedol Staf Taman Nasional, Tumin, Yan dan saya sendiri melakukan pengecekan lapangan. Setiap ada klotok penarik kayu ramin, kami mengambil sampel air. Saat mengambil sampel air, mula-mula Yan tidak menggunakan alat, langsung menciduk air dari sungai. Tanganpun terasa gatal-gatal. Akhirnya menggunakan sarung tangan karet (glove) dan sampel dimasukkan ke dalam botol. Tanpa melakukan pengecekan di laboratorium, semua orang sudah paham bahwa kayu ramin sebelum turun dari dalam hutan akan selalu direndam dengan asam khlorida.

Lima ekor orangutan menjadi “tumbal” racun ramin. Tiga ekor mati, satu ekor yang selamat hanya memerlukan perawatan ringan, sedangkan satu ekor orangutan terserang cukup serius. Adalah Stan, orangutan kira-kira berumur lima tahunan memerlukan perawatan khusus. Saat datang sudah koma, tubuh mengalami dehidrasi, mencret setiap saat, dan mulut berlendir.

Infus dilakukan, siang malam ditunggu oleh staf secara begiliran karena menunggu selang infus. Sesekali disuapi makanan cair atas rekomendasi dari dokter hewan. Sehari, dua hari dan seminggu, Stan masih diam tak berkutik. Nafas mulai melemah, sesekali mengerang, mungkin menahan rasa sakit. Kotoran diperiksa, tak ada bakteri didalamnya. Dan memang bukan karena serangan penyakit.

Dua minggu berlalu, Stan masih belum siuman. Matanya terbuka, tetapi pandangannya kosong. Infus saat itu sudah lebih dari 10 botol. Setiap hari bila diperlukan, jarum infusnya dipindahkan dari tangan kanan ke tangan kiri atau di kaki. Begitulah hari-hari Stan dalam hidupnya.

Hari kedua puluh Stan menampakkan kehidupan. Tangan sudah mulai mau memegang makan. Sudah bisa miring ke kanan atau ke kiri. Dan kotorannya sudah sedikit kental. Hitung punya hitung sudah 19 botol infus yang dialirkan ke dalam tubuh Stan.

Kami merasa senang. Kerja siang malam untuk menyelamatkan nyawa orangutan tak sia-sia. Sedikit demi sedikit Stan diberi makanan dan minuman yang bergizi tinggi. Diajak bermain ke hutan dengan kawan-kawan lainnya. Stan sudah pulih kesehatannya. Mau bermain, panjat pohon, sesekali membuat sarang dan mencari makanan di dalam hutan bersama-sama.

Setelah sehat benar Stan dibawa ke hutan untuk dilepaskan kembali. Kini penjagaan lebih ketat pada orangutan di Tanjung Harapan yang ke pinggir sungai untuk minum. Namun, pertumbuhan Stan agak terhambat. Kerdil. (Foto Jay/OFI)

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.