10 Februari 2012

JALAN JALAN KE KAWAH IJEN



Masih pagi buta sekitar jam 04.00 aku dibangunkan, belum juga azan subuh berkumandang. Hawa sejuk di penginapan Ijen Resort ini. AKu dan tim, memang sedang mencari kawasan lokasi untuk wisata yang ringan tapi menantang di seputaran Jawa Timur.
Masih gelap gulita, jeep yang membawaku memulai merayap bukit-bukit kecil untul menuju ke kawah Ijen. Kabut mulai turun, sehingga Jepp yang aku tumpangi merayap perlahan. Selain jalan yang sempit, juga beberapa ruas jalan masih ada berlubang.
Memang malam itu hujan rintik-rintik, sehingga membuat jalan menuju pemberhentian terakhir itu cukup licin. Sejam kemudian, tibalah kami di lapangan parker yang cukup luas. Enak rasanya sebelum mendaki ke Kawah Ijen, harus menghangat tubuh dulu, dengan menyerutup kopi panas serta beberapa gorengan yang sudah tersedia.
Setelah semua beres, mulai dari pengurusan atau pembelian tiket masuk di Pos terakhir, mulailah kami berjalan. Di papan penunjuk tertera, bahwa dari Pos jaga menuju ke Kawah ijen adalah 3 kilometer. Bayanganku “ Ah cuman tiga kilo, tak jauhlah. Paling 1 jam sampai”, pikirku.
Setapak demi setapak aku melangkah. Semakin jauh, kok semakin menanjak. Napas sudah Senin Kamis. Mulailah aku mengatur nafas agar tidak terlalu “ngos ngos an”. Maka setiap langkah aku hirup udara 2 kali melalui hidung, dan aku hembuskan dua kali melalui mulut. Maka nafasku mulai normal kembali.
Ah, rupanya umur nggak bisa dibohongin. Sudah kepala lima, rupanya bepengaruh juga, apa lagi kebiasaan jelek yang masih selalu saya jalankan, yaitu merokok.
Patok demi patok aku hitung. Setiap patok seratus meter. Aku baru melalui 16 patok, artinya masih 14 patok lagi. Namun aku terhibur berkenalan dengan pak Mislan, pengambil batu belerang dari kawah Ijen sana.
Rupanya sambil ngobrol dan berjalan walau nanjak, tak terasa juga. Malah pak Mislan memberikan kiat: “ Kalau jalan menanjak, jangan tatap jalan di depan sana, tapi tataplah ijung kaki”, sarannya singkat.
Pak Mislan yang lahir tahun 1949, artinya sudah berumur 61 tahun, setiap pagi masih merjuang untuk mempertahankan hidup, dengan mengambil batu belerang. Bapak yang sejak tahun 1969 ini, kini hanya mampu memikil 50an kilogram belerang yang dipikulnya. Dengan harga perkilo Rp 600,-, artinya pak Mislan sehari mendapatkan uang sekitar Rp 30.000,-.
“Dulu saya masih kuat sehari 2 kali dengan beban 70-80 kilogram per pikul, sekarang sekali saja. Habis bagaimana, tidak ada lagi pekerjaan selain mengambil belerang”, katanya lirih.
“Hari ini adalah minggu, jadi tidak banyak orang yang libur. Kalau hari biasa sampai 300 pemikul batu belerang”, sambung Pak Mislan. Semakin hari semakin banyak penambang belerang ini, Hingga April 2010, konon sudah ada 500 an orang yang menambang. Namun untuk menghindari ramainya lalu lintas pemikul dan ramainya pengunjung, maka oleh perusahaan dibatasi.
Tak terasa sampailah sudah di patok 20, artinya baru 2 kilometer aku menempuh perjalanan, dan memakan waktu 1,5 jam. Sambil menunggu kawan yang jauh tertinggal, maka aku berkesempatan untuk istirohat. Pada patok 20 ini ada warung, dan tempat berkemah bagi para pelancong yang ingin tidur di kawasan wisata ini.
Lamat-lamat kawanku memulai nampak, selangkah demi selangkah tapi pasti, Dan akhirnya sampai juga. Diberi kesempatan untuk istirahat dulu. Kemudian melanjutkan perjalanan. Etape ini, tidak terlalu banyak menanjak. Lebih kurang 3 patok, jalan memulai mendatar, memutar menuju kawah ijen. Sampailah pada patok 32. Ah rupanya ada bonus 2 patok atau 200 meter untuk bisa melihat kawah. Itupun masih ada bonus sekitar 500 meter untuk sampai ke kawahnya, di bawah dimana orang penambang mengambil belerang. AKu nggak ke bawah, cukup di atas melihat indahnya kawah Ijen. Nggak ke bayang, kalau sudah ke bawah menanjak lagi. Wow, tanjakannya mesti merayap.
Angin memang tidah stabil. Kadang tenang, sehingga kawah bias terlihat hijau tua, indah. Namun kadang angin datang ke arah kami, sehingga uap air yang berbau belerang menutupi pandangan. Air matapun berlinang, karena pedih, nafas juga sesak kalau terlalu lama tertutup asap ini. Ada kiat, menggunakan sapu tangan untuk menutup hidung, dan terlebih dahulu dibasahi dengan air. Kalau kacamata dapat menggunakan kacamata yang rapat, agar tidak ada asap yang masuk ke mata.
Panas memulai menyengat, perutpun sudah teriak minta diisi. Maka lebih kurang 1 jam kami menikmati fenomena alam yang indah ini. Kawasan ini banyak sekali dikunjung para wisatawan, dan malah banyak orang asing. Sepanjang perjalanan, wisatawan ini banyak bertanya kepada pemandu yang mendampinginya. Walau nafas terengah-engah, namun semua pertanyaan dijawab oleh pemandu.
Wisata ini juga cocok untuk segala umur. Anak-anak SD juga tampak dengan riang gembira berjalan menanjak, malah mereka sepertinya masih punya nafas panjang. Itu sekelumit perjalanan menuju Kawah Ijen. Kali ini aku akan menelusuri pesisir selatan menuju Taman Nasional Meru Betiri.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.