25 November 2008

TBC : Suatu Pagi Di Pasirwangi Garut


Pagi itu di desa Padasuka, Kec. Pasirwangi Garut, udara masih dingin, mencekam. Maklumlah daerah ini berada pada ketinggian di atas 1.000 meter dpl (di atas permukaan laut). Saya lupa membawa jaket tebal, tetapi dinginnya malam dan pagi ini bener-bener aku nikmati, saya resapi, walau sedikit mengigil. Karunia Illahi.
Dari kejauhan, di keremangan kabut, muncul sahabat mudaku. Dia membawa berita, bahwa seorang ibu meninggal, dini hari tadi, karena penyakit yang sudah lama dideritanya, yaitu TBC. Itulah kejadian sehari-hari ada saja yang aku temui. Memang di daerah ini angka cukup tinggi penderita penyakit ini. Dan saat ini saya memasuki dunia baru, isu baru yang selama ini belum pernah aku jalani, yaitu melakukan kampanye penyadaran untuk pemberantasan penyakit menular ini.
Menurut catatan dari Dinas Kesehatan saja, setiap bulan di kabupaten penghasil dodol ini, lebih kurang 2% penderita baru, yang memeriksakan ke Puskesmas atau rumah sakit, dari 800 penderita yang tercatat. Mangapa tercatat, karena rupanya banyak yang tidak tercatat.
Hampir 6 bulan ini aku dan kerabat dan para sahabat muda, mencari tahu. Untuk satu kecamatan yang menjadi obyek kegiatan, sudah ada 233 orang suspect. Kemungkinan besar, menurut perkiraan ada 2-3 kali lipat dari total penderita yang ada di kecamatan tersebut. Jadi kira-kira ada 180an (data yang ada di Puskesmas 63 orang) penderita dari total 63.000 jiwa. Edun ... gede banget.
Nah pokok masalahnya adalah, sebagian masyarakat percaya bahwa penyakit yang merenggut nyawa saban tahun itu adalah penyakit turunan, penyakit kutukan. Nah inilah tugas yang harus meyakinkan bahwa TBC bukan turunan dan kutukan, tapi bisa diobati. Maka semua ”pasukan” menyiapkan kampanye untuk mematahkan kepercayaan itu. Alhamdulillah sedikit demi sedikit bisa mayakinkan. ”TBC Sanes Panyawat Turunan, TBC Sanes Panyawat Kutukan, TBC Sanes Panyawat Ngisinkeun, TBC Tiasa di landongan, landongna GRATIS” (Artinya TBC bukan penyakit kutukan, turunan, memalukan dan bisa diobati). Itulah kira-kira, kampanye yang terus menerus didengungkan dengan berbagai cara. Strategipun disusun untuk menembus ”barikade” kepercayaan itu. Memulai memasuki komunitas kyai/pesantren/ustadz, pendidik/guru, gender/ibu-ibu, anak-anak muda, sekolah, kelompok tani, kelompok orang bebas (terjemahin aja yak). Materipun disiapkan dengan berbagai cara buku bacaan, media dakwah, ceramah keliling dsb.
Memang suatu cara yang memerlukan waktu yang panjang, karena kami mempunyai mimpi pemberantasan penyakit ini harus benar-benar tuntas, dan mandiri. Karena penyakit ini bila ada satu orang penderita, kemungkinan bisa menularkan 10-15 orang. Dan di Indonesia konon nomor tiga urutan dari negara-negara di dunia. Dan konon lagi di Garut nomor urutan satu di Jawa Barat, top banget. Mungkin bisa jadi nomor satu di Indonesia ... wow.
Untuk ke arah sama, maka kamipun memulai bebenah. Membantu membuat lab kecil di Puskesmas, menyiapkan alat-alat seperti mikroskop dan bahan-bahan lain, yang dibantu oleh Chevron Geothermal, pabrik listrik yang clean industry, tak ada pencemaran. Entahlah alat dan bahan apa saja aku tak paham, hanya para dokter saja yang ngerti. Orang juga sering sebut tim yang aku terjunkan, sebagai seorang dokter ahli kesehatan TBC. ”Ah ... bukan, kami hanya pengamen yang bisanya hanya menumbuhkan motivasi saja untuk melakukan sesuatu”. Eh masih nggak percaya juga....terserahlah ada sebutan baru ”dokter”..... kapan sekolahnya mas ?
Sekali lagi mimpi pemberantasan mandiri, maka dilatihlah beberapa kader setiap desa (posyandu) dengan bekal pengetahuan untuk mendeteksi tanda-tanda penderita. Tentu yang ngajar para dokter Puskesmas dan ahli kesehatan masyarakat. Kami hanya, mengundang, menyiapkan dan menonton agenda-agenda acara seperti ini. Lantas para kader puskesmas itu akan mendata dengan ”sesungguhnya” para tetangga dan warga yang mempunyai tanda-tanda, atau penderita. InsyaAllah akan diberi reward.
Kalau perlu menemukan sebanyak-banyaknya penderita. Dengan ditemukan banyak, maka akan banyak pula yang diobati, dan disembuhkan. Maklum masyarakat masih menganggap berobat TBC itu mahal. Padahal gratis, hanya saja mereka malu untuk berobat dan periksa, serta ongkos ojek mahal untuk ke Puskesmas. Maklum lagi, kantung-kantung TB di daerah yang minus.
Perlu sebuah perjalanan panjang untuk merubah perilaku. Seperti ventilasi yang kurang, rendahnya gizi, sanitasi yang kurang baik dan sekali lagi kepercayaan penyakit itu tadi, turunan dan kutukan. Sabar dan sabar, merubah kebiasaan adalah perlu proses. Kalau orang Jawa bilang antara watak dan watuk (batuk). Watak perlu cara dan waktu untuk berubah, kalau watuk ya berobat, tergantung watuknya apa penyebabnya, kalau TBC ya perlu kesabaran, sampai 6 bulanan. Oleh karena itu semua komunitas terlibat. Rupanya anak-anak juga sudah ada yang tertular .... alamak gawat ?. Mulai bulan depan ”ngamen” melagukan lagu kampanye penyadaran TBC memulai memasuki sekolah, dengan berbagai kegiatan. Sampai-sampai akan mengaktifkan lagi dokter kecil yang dulu pernah dilakukan. Beberapa tempat dibuat himbauan dengan berbagai tulisan salah satu di antaranya adalah
” Berobatlah kamu, karena Allah SWT tidak mengadakan suatu penyakit, melainkan telah mengadakan pula obatnya...." (HR. Ahmad)

Cinta Ibu Sepanjang Jalan, Cinta pacar Sampai Prapatan


Ada benarnya, kalau para peneliti yang menekuni masalah `anthropologi`, ilmu yang mempelajari seluk beluk manusia, bahwa kera besar yang kini masih hidup dekat hubungannya dengan manusia. Malah ada yang mengatakan cara-cara hidup mereka, seperti gorilla, simpanse dan orangutan merupakan suatu contoh sebagian kehidupan manusia di zaman batu.
Namun, tidak semua perilaku kera besar itu sama dengan kehidupan manusia primitif. Sekarang anda kami ajak mengintip bagaimana kalau orangutan pacaran hingga memasuki `sarang` perkawinan.
Ternyata kera merah ini `nyaris` sama atau malah sama dengan manusia. Merekapun pilih-pilih pacar atau pasangan sebelum melakukan kopulasi. Perlu diketahui, bahwa orangutan berbeda dengan bangsa kera lainnya. Misalnya uwa-uwa yang mempunyai sistem keluarga, satu jantan satu betina. Simpanse dan Gorilla yang hidupnya berkelompok dan dipimpin jantan dominan. Orangutan hidupnya soliter, menyendiri di hutan sepi. Hanya hidup berteman saat jantan dan betina berpasangan, atau betina dengan satu atau dua anak yang belum mandiri. Selebihnya mereka hidup bebas lepas sendiri di rimba raya.
Soal pilih-memilih pasangan hidup sementara ini tak hanya dilakukan orangutan jantan saja, tetapi betina pun juga mempunyai `pria` idaman tersendiri. Ambil contoh `Unyuk` nama orangutan saat saya ikuti untuk meneliti perilakunya, masih momong anak angkatnya Dart. Unyuk telah memasuki masa birahi, estrus.
Unyuk `ngebet` dengan jantan dewasa yang bernama Curly, tentu saja Curly sedikit jual mahal. Mula-mula ia tak mau melayani. Namun, entah bagaimana karena mereka di pohon tinggi dan tidak terlihat, Curly pun luluh hatinya dengan rayuan Unyuk. Dua hari berlalu mereka berpasangan, kemanapun selalu berdua. Unyuk kalau sudah berpasangan kadang suka lupa dengan anak angkatnya, hingga Dart sering menangis karena ditinggal induk yang jauh berduaan.
Pada hari ketiga, di tengah hari saat Unyuk dan Curly mau berkopulasi entah saking girangnya atau apa, jantan berteriak, long call (seruan atau jeritan panjang). Rupanya teriakan Curly ditanggapi oleh orangutan jantan lain yang belum terkalahkan. Jantan liar datang mendekat yang kebetulan diikuti oleh Heru Datos, teman saya, yang spesial meneliti perilaku jantan.
Curly belum sempat berkopulasi, jantan liar yang ukuran tubuhnya jauh lebih besar dan perkasa dibandingkan Curly mendekat. Tanpa ada perlawanan, Curly langsung turun dari pohon cepat-cepat dengan melorot menjatuhkan diri di tanah dan hilang di kerimbunan semak. Unyuk yang sudah siap, diam tak bergeming ketika jantan pendatang mendekatinya. Unyuk duduk diam sambil mendekap Dart yang merengek ketakutan.
Entah kurang `ganteng` atau telah terlanjur jatuh dipelukan Curly, Unyuk meninggalkan jantan pendatang dan jantan tak berbuat sesuatu apapun seperti memaksa, ia hanya diam saja dan memperhatikan kepergian Unyuk yang menggendong anaknya.
"Tos, orangutan yang saya ikuti tak suka dengan jantan yang kau amati", canda saya kepada Heru Datos, teman se kampus yang sama-sama mengamati perilaku orangutan. "Iya, nih. Coba Sam (nama orangutan jantan liar yang diteliti Heru) mau, kita bisa gabung", jawabnya sambil mencatat. "Orangutan jantan itu banyak cacat sih, coba lihat jarinya, kakinya enggak bisa dibengkokin dan mukanya bopeng" canda saya.
Memang orangutan jagoan banyak cacat karena sering berkelahi. Lantas saya pergi mengikuti kemana Unyuk bergerak. Rupanya Unyuk mengejar kemana Curly pergi. Setelah bertemu, mereka selalu berdua. Sore hari mereka buat sarang berdekatan. Menjelang petang hari, saya lihat Curly masuk ke sarang Unyuk dan bergumul di dalam sarang dengan suara erangan yang menakutkan. Anak angkatnya diam bergantung di dahan lain.
Setelah usai, Curly berteriak, long call yang memekakakkan telinga. Puas, menang dan entahlah..... Tak hanya sekali atau dua kali mereka lakukan selama berpasangan, satu - dua minggu mereka berpasangan, mereka melakukan hubungan badan 2-4 kali seharinya. Setelah itu, tanggung jawab masing-masing. Jantan pisah cari pasangan lain dan betina mengembara menunggu kelahiran anaknya selama 260-270 hari, sama dengan manusia. Unik memang sisi kehidupan di rimba raya kita ini. Sementara ibunya mengandung, melahirkan, merawat hingga mandiri, sang jantan menyerahkan semua ke betina. Memang cinta ibu sepanjang jalan hingga liang lahat, kalau pacar hanya sampai prapatan (perempatan).

PANTAI CERMIN : Pantai di tengah pegunungan.

Bulan puasa lalu, aku berkesempatan jalan-jalan di Aceh, untuk sharing sebuah kegiatan yang terkait denga tulis menulis, khususnya mengenai alam. Setelah dua hari di Banda Aceh, maka rombongan menuju ke Lamno, yang berada di Kebupaten Aceh Jaya, pantai barat. Terbayang dalam benakku, Pantai (Pante) Cermin, pasti berada di pesisir, dengan laut yang biru, indahlah pokoknya.

Memang dalam perjalanan, disuguhi pemandangan yang aduhai. Bekas hantaman tsunamai masih nampak. Jalan yang hilang, kampung yang lenyap atau bukit yang dulu menyatu dengan daratan, kini pisah dan menjadi pulau tersendiri. Jalan yang bekelok-kelok merupakan khas jalan di pesisir Pulau Sumatra.

Sampailah di Lamno, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Pante Cermin. Hanya kendaraan sepeda motor yang bisa menuju ke sana. Itupun harus menyeberang dua kali menggunakan tongkang atau getek. Bukit-bukit yang menjulang nampak di kiri dan kanan. Sungai yang jernih mengalir dari sela-sela lembah yang masih cukup rimbun. Sampailah kami di desa.

”Nah kita sudah sampai, dan kita akan menginap semalam di sini” begitu kata kawan dari FFI Aceh peogram yang memandu kami.
”Mana pantainya”, tanyaku polos.
”Yah ini Desa Pante Cermin” jawabnya singkat.
Rupanya Pante Cermin bukanlah di pesisir, namun di tepian sungai yang mengalir. Umumnya di Sumatera pantai tak hanya di pesisir laut, namun tepian perairan, baik di laut ataupun sungai, juga di sebut pantai.

Namun ketidakntahuan saya terobati, dengan berbagai ceritera desa yang subur ini. Di balik desa merupakan perbukitan yang masih hijau, dan kini dalam program FFI Aceh, merupakan sebuah kawasan yang menjadi prioritas untuk dilestarikan dan dilindungi. Kawasan dalam program ini di sebut kawsan Ulu Masen, yang meliputi lima kabupaten, dan konon merupakan habitat terakhir satwa yang dilindungi di bagian utara Aceh. Satwa-satwa yang telah diidentifikasi antara lain Gajah, Harimau, beberapai jenis primata, tapir, kambing gunung dsb. Seolah-olah kawasan Ulu Masen ini menjadi sebuah pulau yang dikelilingi berbgai kegiatan manusia seperti perkebunan, ladang, peternakan dan tentunya pemukiman.

***
Malam itu kebetulan kami menginap di rumah Pak Keucik (Kepala Desa), maka kesempatan bertanya tentang Gempong (Kampung) ini, merupakan sebuah kesempatan. Konon menurut cerita orang-orang tua, dulunya sebelum ada pemukiman datanglah sekelompok orang-orang yang memang waktu itu sistim kependudukan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan kelihatan dari jauh hamparan pantai di sungai merupakan pasir dan bebatuan berwarna putih memancarkan kilauan pemandangan yang sangat indah. Hamparan itu dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan yang menjulang tinggi dengan pepohonan yang lebat bak penghalang badai. Itulah sebuah kisah pendek yang dituturkan Pak keucik. Memang daerah ini sangat subur, hamparan tanah yang hijau terlindung dengan bukit-bukit ang menjulang, sangat bagus untuk berkebun, bertani.

Suasana puasa terasa sekali di perkampungan ini, konon kalau saat puasa tiba, jarang orang pergi ke ladang, semuanya fokus pada ibadah. Rumah adat atau rumah panggung, masih banyak ditemukan. Suasanyanya memang damai. Mungkin berbeda dengan beberapa waktu silam. Ada kawan saya yang saat ini berkegiatan di sana bilang, bahwa semasa jaman konflik, suasana desa ini mencekam, dan jarang orang luar berani memasuki desa ini. Aku bersyukur,. Semoga kedamaian ini terus berlanjut, sehingga ketentraman masyarakat di Pantee Cermin khususnya dan di desa-desa seluruh Aceh umumya demikian. Sayang sekali lahan yang subur seperti ini terlantar karena terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.

****

Menjelang buka puasa, terlihat masyarakat mulai sibuk hilir mudik untuk menyiapkan buka puasa, apalagi rombongan kami sekitar 30an orang. Akan melakukan buka bersama dengan masyarakat. Maka suasana seperti orang punya hajat besar.

Di balai desa makanan sudah terhampar, minuman manis dan makanan kecil sudah tersedia. Namun buka puasa bersama di Gampong ini, sekalian makan besar. Makanan yang sederhana, rendang daging kambing, dicampur dengan pisang mentah yang direbus (persisi seperti kentang kalau sudah dicampur rendang daging), dan dicampur bonggol pisang muda membuat semangat. Bahkan dengan makan bersama ada rasa kebersamaan, dan tentunya nambah. ”:Wah gile, jadi nambah dua kali, tumben-tumben semangat makannya”, celetuk kawan saya yang membantu memfasilitasi pelatihan ini. Wah, pasti bumbunya pas, yah pas banget. Entah apa maksud kawan-kawan tadi.

Usai makan, dilanjutkan sholat magrib dan setelah istirahat langsung sholat isya’ dan taraweh. Rata-rata di pedesaan taraweh 23 rekaat. Wah lumayan juga ....

Jam sepuluhan, anak-anak mudah mulai mengaji, menggunakan pengeras suara, sehingga alunan ayat-ayat suci Al Qur’an mengumandang ke seantero Gempong. ” Kalau mereka ngaji sampai sahur pak”, ujar Pak Keucik.

***
Itulah sekelumit Gempong Pantee Cermin yang begitu indah dan sejuk. Konon pemerintah daerah akan menjadikan desa ini menjadi daerah tujuan wisata pedesaan, wisata petualangan. Memang sangat mendukung alamnya yang begitu indah. Beberapa lokasi sudah dibuat gazebo atau tempat peristirahatan, untuk sekedar melepaskan lelah bila berjalan-jalan memasuki desa dan hutan. Kadang hari libur atau akhir pekan, menurut cerita kawan yang bertugas di sana, beberapa orang asing dari Banda Aceh atau orang kota, berdatangan ke sana. Ada yang sekedar jalan-jalan, melihat pemandangan, melihat burung-burung atau malah ada yang mencari ikan sungai khas Pantee Cermin yang biasa ditangkap dengan memancing oleh penduduk untuk dijual.

20 November 2008

Mengemas Paket Pendidikan Pelestaraian Alam Yang Mandiri

Didiklah anak-anakmu
sebab mereka lahir untuk hidup
dalam suatu jaman yang berbeda denganmu”

Suatu kata mutiara yang dikutip dari sebuah Hadist Rosull, memang sungguh indah untuk direnungkan, khususnya bagi mereka yang bergelut dalam bidang pendidikan. Betapa tidak perubahan jaman yang terus berlangsung yang mau tidak mau terjadi perubahan yang akan mempengaruhi perilaku hidup manusia.

Perkembangan jaman yang demikian pesat dan mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yang kian hari kian parah, merupakan suatu tantangan bagi pemerhati lingkungan. Jalur pendidikan, merupakan salah satu jalur untuk memberikan informasi, membuat orang tahu, agar mereka mengerti dan dapat menyadari serta diharapkan akan ikut bertindak dalam menangani permasalahan lingkungan merupakan salah satu misi di dalam pendidikan lingkungan.

Pendidikan konservasi, lingkungan hidup yang selama ini dilakukan masih bersifat temporer, dan belum secara berkesinambungan. Artinya, program PLH dapat dilakukan apabila pelaku mendapatkan sponsor dari penyandang dana untuk menyebarluaskan informasi tentang lingkungan hidup. Atau dilakukan untuk memperingati hari penting yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau ada event lainya.

Hal ini telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Kegiatan ini juga dilakukan oleh lembaga sesuai dengan bidang minat yang ditekuni.

Permasalahanya adalah dapatkan pendidikan lingkungan hidup itu dilakukan terus menerus, tidak kenal waktu, tidak kenal event atau tidak tergantung dari lembaga donor ?.
Tentu bisa, kalau kita mau.

A. PLH Mandiri : Sebuah Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Untuk sebuah pendidikan ataupun pelatihan mengenai lingkungan hidup, tentunya memerlukan dana ataupun sumber daya manusia untuk mendidik para peserta. Untuk mendapatkan dana ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Salah satu cara adalah sistem subsidi silang. Untuk itu program pendidikan konservasi yang mandiri, sebuah konsep yang ditawarkan, untuk menunjang program pendidikan yang berkelanjutan. Program ini sedang diuji coba untuk menuju kearah program pendidikan yang berkelanjutan.

Uji coba ini dilakukan oleh Konsorsium Pendidikan Konservasi Alam yang beranggotakan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Conservation International Indonesia program dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI). Program pendidikan pelestarian alam ini dirancang sebagai sebuah bentuk program pendidikan alternatif yang berkesinambungan yang diharapkan dapat dikelola secara mandiri. Program pendidikan pelestarian alam ini memiliki tujuan sebagai berikut :
Memperkenalkan, mempromosikan, dan mengembangkan konsep pendidikan pelestarian alam yang diselenggarakan di dalam kawasan Taman Nasional.
Menciptakan sebuah model management di zona penyangga dalam Taman Nasional yang berdasarkan prinsip kemandirian.
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya melestarikan sumber daya alam
Menciptakan sebuah model kerjasama antara Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemerintah, lembaga-lembaga nasional dan internasional.

B. Program-program pendidikan.

Program pendidikan yang dilakukan di dalam kawasan pendidikan konservasi Bodogol, ada beberapa macam, disesuaikan dengan tujuan untuk memperkenalkan kehidupan hutan hujan tropik. Program tersebut dipilah, agar peserta atau pengunjung lebih terfokus untuk mempelajari suatu masalah. Namun tidak menutup kemungkinan, program tersebut dapat disatukan dalam sebuah paket dengan jangka waktu belajar yang memakan waktu 2 – hari.

Program-program tersebut dikemas dalam bentuk paket, sehingga memiliki nilai untuk para pengunjung ataupun siswa peserta pendidikan.

C.Pemasaran.

Sistem pemasaran, adalah kunci utama suksesnya dalam program ini. Untuk itu kerjasama dengan berbagai pihak telah dilakukan. Beberapa lembaga yang telah bekerja sama adalah sbb :
1. Travel agent atau tour operator. Umumnya penjual jasa wisata akan selalu mencari paket program yang lain dari pada yang lain. Dengan kemasan eko-wisata, maka paket pendidikan konservasi di alam tak kalah menariknya dengan paket program yang biasa ditawarkan oleh mereka.
2. Sekolah pilihan. Sekolah-sekolah pilihan, tentunya memiliki siswa dari kalangan menengah ke atas. Hal ini adalah segmen pasar yang penting untuk menjalin kegiatan bersama, terutama kegiatan extra kurikulernya. Umumnya mereka akan tertarik dengan paket-paket program yang ditawarkan, apabila telah memiliki sumber daya manusia sebagai tenaga interpreter yang berpengalaman.
3. Menawarkan program-program kepada lembaga yang sering melakukan kegiatan outbound training. Umumnya lembaga ini aktif mengadakan pelatihan kepada karyawan. Kegiatan ini sangat penting artinya untuk mendukung pendidikan lingkungan yang mandiri.

Masih banyak segmen pasar yang dilakukan, misalnya kelompok atau organisasi. Kelompok ini sangat potensial dalam mendukung dalam usaha tersebut.

D. Paket program.

Banyak sekali paket program yang dapat dibuat, tentunya setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, tergantung bagaimana cara mengemas paket tersebut. Kemasan yang menarik akan diminati oleh berbagai pihak, mulai dari siswa sekolah hingga masyarakat luas, baik lokal ataupun manca negara.

Daya tarik paket program ini sepenuhnya memanfaatkan kekayaan alam hutan kita. Misalnya satwa khas di daerah, tumbuhan yang unik, tumbuhan obat, persaingan hidup dihutan dsb. Pengetahuan ini dikemas dalam bahasa yang sederhana, informatif dan tidak berkesan menggurui. Hal ini penting artinya bagi interpreter yang membawa pengunjung ke dalam hutan. Ceritera-ceritera inilah yang mempunyai nilai jual untuk dipasarkan kepada pengunjung.

E. Fasilitas Pendidikan.

Fasilitas pendidikan lingkungan, sebaiknya di alam atau hutan. Di dalam hutan di desain atau dibuat jalur pendidikan dilengkapi dengan obyek-obyek yang menarik sebagai bahan interpretasi. Misalnya menjadi daerah teritorialnya primata, terdapat pohon yang buahnya sering dikunjungi berbagai jenis burung, melewati atau di pinggiran sungai, terdapat tumbuhan obat, rotan, liana dsb.

Obyek ini menjadi bahan ceritera yang sangat menarik untuk belajar rahasia kehidupan pada hutan hujan tropis. Untuk itu perlu pemilihan jalur yang baik, sehingga tidak memerlukan jalur yang panjang, pendek tetapi mewakili.

Fasilitas akomodasi, selayaknya perlu disediakan, dapat berupa asrama atau bentuk penginapan lain. Untuk penginapan ini dapat menghasilkan masuykan dana guna biaya pendidikan untuk berbagai kalangan masyarakat luas.

Di PPKA Bodogol, fasilitas yang disediakan masih terbatas. Fasilitas yang ada antara lain asrama, ruang pengelola, kelas, pondok belajar dan ruang makan serta dapur.

Asrama terbatas hanya untuk 30 orang, dan ruang belajar dapat menampung 40 orang. Sedangkan jalur pendidikan memiliki dua jenis yaitu ; jalur pendek sepanjang 1,6 km dan jalur petualangan sepanjang 3,4 km.

Dalam jalur pendek dilengkapi dengan berbagai atraksi dan obyek pendidikan, seperti hamparan rotan, beringin pencekik, pelataran pengamatan dan tempat berimajinasi. Selain itu juga telah dibangun jembatan kanopi (jembatan pohon) yang menjadikan daya tarik pengunjung. Sedangkan pada jalur petualangan, tidak banyak dirubah, masih alami dan penuh dengan rintangan.

F. Sistem subsidi silang.

Sistem ini dilakukan guna untuk melangsungan pendidikan lingkungan yang berkesinambungan, baik untuk masyarakat ataupun siswa sekolah. Dana yang terkumpul dari kunjungan sekolah pilihan dan kunjungan instansi pada hari libur, sabtu dan minggu, digunakan untuk membiayai program pendidikan yang dilakukan pada hari Senin – Kamis.
Program ini cukup efektif, dan mendapat respon yang positif bagi sekolah pilihan ataupun keluarga yang datang. Bahkan mereka tak segan untuk menjadikan PPKA Bodogol menjadi kunjungan belajar tentang alam bagi siswanya.

Subsidi silang juga dilakukan terhadap masyarakat di sekitar untuk mensosialisasikan program pendidikan konservasi. Masyarakat diundang untuk melihat secara langsung di dalam kawasan ini. Ajang pertemuan ini sangat bermanfaat bagi taman nasional dan LSM untuk berdiskusi, tukar pikiran masalah pelestarian hutan. Sehingga banyak sekali muncul berupa saran, pendapat bahkan menjadikan pertemuan untuk belajar mengenal sesama petugas.

G. Biaya tiket masuk.

Seperti halnya memasuki kawasan taman nasional lainnya di Indonesia, mengikuti program pendidikan di sini bagi sekolah pilihan atau sekolah yang mampu, serta keluarga atau lebaga lain dipungut biaya. Selain biaya tiket masuk taman nasional serta asuransi, juga dikenai biaya program. Biaya program disini dimanfaatkan untuk membeli bahan dan peralatan pendidikan, perawatan fasilitas, dan dana untuk pendidikan subsidi silang.

Biaya ini tentunya dapat disesuaikan dengan kondisi daerah yang akan dikembangkan atau insatnsi yang akan melakukan kegiatan.

H. Kunjungan terbatas dan pemanduan.

Daerah tujuan wisata, tentu banyak sekali permasalahan, mulai dari sampah, vandalisme, pengambilan tanaman dari dalam hutan dsb. Sebenarnya permasalahan ini dapat diatasi dengan membatasi kunjungan, serta memandu semua pengunjung yang memasuki kawasan taman nasional.

Memang pekerjaan ini banyak memerlukan sumber daya manusia yang terlibat, namun apabila dilakukan dengan benar-benar masalah tersebut akan dapat diatasi. Khususnya kawasan yang akan dibuka, maka sistem itu selayaknya harus diawali sedini mungkin.

Sistem pemanduan memasuki kawasan konservasi, di PPKA Bodogol dibagi dalam kelompok. Satu kelompok maksimum 5 orang ditambah pemandu atau interpreter yang dapat menjelaskan tentang kehidupan di dalam hutan.

Pemandu dapat dari tenaga volunteer, kader konservasi, masyarakat lokal ataupun polisi hutan yang tentunya telah diberikan pelatihan tehnik-tehnik pemanduan, menghadapi pengunjung serta bahan-bahan yang perlu dijelaskan kepada pengunjung.

I. Prospek pendidikan konservasi yang mandiri.

Prospek ke depan program pendidikan mandiri ini cukup meyakinkan, tergantung dari pengelolaanya dan kemauan untuk membuat sebuah pendidikan yang berkesinambungan. Untuk itu perlu kerjasama antara instansi pemerintah yang memiliki hak untuk pengelolaan (taman nasional, perhutani, BKSDA dsb) dengan lembaga swadaya masyarakat yang telah mampu melakukan program tersebut. Selain itu juga perlu melibatkan masyarakat lokal untuk mengelola usaha tersebut, misalnya sebagai pemandu, pengelola pondok, penyedia makanan dsb.

Disamping itu pemasaran dan pembuatan jaringan kerja adalah sisi lain untuk sukses program tersebut. Karena dengan melakukan kerjasam ayng disebutkan di atas dapat menghasilkan dana untuk kegiatan pendidikan yang mandiri.

Telah Nampak Tanda Tanda Kerusakan Di Muka Bumi.

Peringatan Allah tentang kerusakan dipermukaan bumi, telah tercamtum dalam Kitab Suci Al Quran pada surat Ar-Rum (30): 41, dan itu telah disampaikan 14 abad yang silam, yang antara lain berbunyi : "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)"

Kita semua tentunya tahu dan mengerti, bahwa manusia sebenarnya dapat hidup secara harmonis dengan alam, seandainya manusia memperlakukan alam dengan baik, dan tidak memanfaatkan sumber daya alam yang dikandung tidak berlebihan.

Namun kini manusia telah menerima akibat dari ulahnya sendiri, karena telah mengabaikan sebuah konsep keseimbangan, demi untuk meningkatkan kesejahteraannya, manusia melakukan pemanfaatan yang berlebihan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan terus berkembangnya peradaban manusia dan pemenuhan kebutuhan hidup. Kini, ketika kualitas hidup mulai terasa semakin menurun, bumi mulai terasa sesak, dan kapasitas alam mulai menyentuh batas jenuhnya, masyarakat mulai menaruh perhatian pada topik-topik sekitar alam.

Salah satu permasalahan adalah tentang pelestarian alam dan lingkungan hidup, dan berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunya kwalitas lingkungan di seluruh penjuru dunia. Manusia senantiasa membutuhkan sumber daya alam, tanpa melakukan pemanfaatan dan pengelolaan yang bijaksana. Ratusan ribu spesies terancam dan menuju kepada kepunahan, dalam jangka waktu yang sangat singkat dalam sejarah hidup menusia. Keadaan ini harus menjadi perhatian utama kita untuk malakukan usaha pelestarian alam dan isinya yang kini masih tersisa, karena keberadaan umat manusia dan sumber daya alam merupakan sebuah kesatuan ekosistem.

Usaha-usaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan kwalitas lingkungan hidup yang seimbang dalam segala bentuk belumlah mencapai hasil yang memuaskan. Kualitas lingkungan dan kehidupan manusia terus menurun akibat ulahnya sendiri. Salah satu penyebab ulah manusia yang tidak peduli itu, adalah ketidaktahuannya mengenai peran keanekaragaman hayati dan perlunya pelestarian lingkungan hidup untuk menopang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pendidikan pelestarian (konservasi) alam dan lingkungan hidup harus segera diperkenalkan sedini mungkin secara luas, dan berkesinambungan kepada masyarakat luas baik formal maupun informal.

Banjir dan Kekeringan.
Kata bencana alam atau lebih pasnya lagi adalah bencana lingkungan, telah nampak. Bencana ini dipicu dari kerusakan lingkungan yang ada di sekitar kita. Hulu sungai mulai tidak dapat menampung lagi curah hujan yang tinggi, karena tidak ada pohon lagi yang dapat menahan air yang tumpah dari langit. Sementara masyarakat perkotaan, setiap tahunnya akan tertimpa dampaknya seperti banjir dan kekurangan air bersih.

Sementara di hulu sungai, berita tanah longsor sering terjadi. Lahan yang berbukit dengan tingkat kemiringan lebih dari 45°, dijadikan lahan pertanian. Kota dan desa, saat ini merasa was-was bila hujan tiba. Bukan berkah, melainkan takut ada musibah. Sementara perkotaan dengan permasalahan sampah yang meningkat, menambah kondisi yang semakin pelik. Dahulu masyarakat di lereng Merapi atau di Bolaang Mongondow Sulut, sangat mendambakan hujan turun untuk pertanian, kini konon khabarnya bila hujan tiba, sangat was-was bila terjadi tanah longsor. Di salah satu kecamatan di Sulawesi Utara, tahun 2006 dan 2008 ini, terjadi banjir bandang dan menenggelamkan lebih dari separuh kecamtan itu. Tragis memang.

Hidup dalam kecemaan. Hidup dalam kekhawatiran. Takut kekurangan air, namun trauma bila terjadi banjir bandang dan longsor.


Hidup Dalam Kecemasan.
Di hulu sungai yang menjadi daerah tangkapan hujan, kini telah berubah, hampir dipenjuru bumi pertiwi ini. Hutan-hutan sudah memulai berubah menjadi ladang dan perkebunan, tanpa mempedulikan akibat yang akan ditimbulkan. Apalagi saat ini memulai berlomba untuk membabat hutan untuk perkebunan yang mengorbankan hutan kita. Dalam laporan Inform 2003, nampaknya kita ngeri melihat kerusakan hutan yang terus berlanjut. Diperkirakan hutan kita rusak 10 kali lapangan bola per menit. Jadi kalau anda membaca artikel ini selama 2 menit, sudah hilang hutan atau hutan berubah menjadi berbagai keperuntukan.

Beberapa tahun silam, belum ada khabar tentang banjir bandang di Kalimantan, Sumatera ataupun Sulawesi, ataupun Papua. Namun kini banjir dan tanah longsor telah menghiasi media tatkala hujan tiba, atau kekeringan saat kemarau datang.

Kearifan lokal di berbagai daerah memulai ditinggalkan atau luntur, karena masayarakat memulai mengubah alam untuk berbagai kepentingan. Dulu orang pribumi Kalimantan menebas dan membakar hutan untuk keperluan, tak ada dampak yang nyata terhadap alam ini. Namun kini jauh berbeda dengan masa yang silam. Dulu sungai masih mengalir dengan stabil sehingga masih dapat digunakan untuk transportasi, namun kini telah berubah. Banjir bandang saat hujan dan kering dikala kemarau.

Memang semua pasti akan berubah. Berubah lingkungan kita akibat dari pertambahan penduduk yang semakin hari semakin bertambah. Kalau dua puluh tahun lalu Rhoma Irama bernyanyi tentang “135 juta penduduk Indonesia”, mungkin kalau dinyanyikan saat ini tentu akan berubah menjadi “235 juta penduduk Indonesia”.

Masayakat di pesisir, tak jauh beda dengan di pegunungan sana. Kadang lebih tragis lagi.banjir bandang yang dikirim dari daerah hulu, akan sangat menyengsarakan masyarakat di perkotaan yang tinggal di pesisir. Belum lagi gelombang pasang saat ini, sudah memulai dirasakan dan menimpa kehidupan di pesisir Jakarta. Mungkinkah tanda-tanda kehancuran sudah ditampakkan oleh Sang Kholik, agar kita semua menyadari ?

Jikalau ...
Seandainya kita bisa kerjasama, dan bukan sama-sama kerja (tentu beda ya), pasti bisa. Kerja sama dari hulu hilir dan memerankan peranannya dalam sebuah ekosistem kehidupan. Namun kini belum banyak yang menyadari akan hal ini. Memulai dari perubahan diri pemanfaatan energi (listrik, BBM dll).

Seandainya kita bisa kerjasama untuk memperbaiki lahan di daerah hulu, agar pepohonan dapat menahan air hujan, tentu pasti berkurang bencana yang datang.

Seandainya negara-negara maju mau mengurangi emisi karbonnya, dan tidak hanya mengandalkan kekayaan untuk membeli atau “menebus dosa” dengan memberikan “dollar” untuk negara miskin agar menjaga hutan.

Seandainya para pemegang keputusan tadak hanya bisa mengejar kemajuan ekonomi, namun mengembangkan ekonomi yang sebanding dengan pelestarian, dan memikirkan sebab akibatnya sebelum menanda tangani kontrakkerja dengan pengusaha.

Seandainya kita mempunyai prinsip seperti nelayan di pesisir timur Jatim, yang beani menolak eksplorasi tambang di sebuah gunung di sana, sehingga Ketua DPRD berani membatalkan rekomendasi. Dan bukan memberikan katabelece, pengubahan status lahan seperti yang terjadi di Riau ...

Seandainya kita, esok hari bisa berubah untuk mengurangi penggunaan energi, dengan menggunakan kendaraan umum walau harus berdesakan dan belum manusiawi. Atau esok hari mulai mengurangi penggunaan plastik untuk berbagai keperluan, seperti yang dilakukan sebuah SD di Malang yang di dalam komplek sekolah tak ada kata plastik, dimana sekolah itu masuk nominasi sekolah ramah lingkungan.

Dan masih banyak lagi “seandainya” yang mendukung “penghematan” dalam kehidupan. Pasti kita bisa dan hidup serasi dengan alam, tanpa merasa was-was dan hidup dalam kedamian.

Berburu Ular : Merusak Ekosistem ?

Pagi tadi, 19 Nopember 2008, ada sebuah berita yang menggelitik buat saya, di sebuah media elektronik, yaitu anak-anak sekolah berburu ular. Mereka tidak memiliki rasa takut dengan ular-ular yang diburu. Digigit, sudah biasa, kata anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah SD itu, katanya sudah kebal.

Anak-anak di sebuah desa Boyongbang daerah Tulung Agung Jawa Timur ini, seharinya dapat menangkap 2-3 ekor ular. Hasil tangkapan mereka, kemudian dijual ke pengumpul dengan harga berkisar antara 5-30 ribu/ekor, tergantung dari besar kecilnya ular-ular itu. Nampak dalam tayangan, ular-ular itu ditimbang, berbagai jenis. Saya pikir ada ulang-ular yang langka. Kemudian para pengumpul menjualnya ke Solo atau Surabaya.

Menurut pedagang ular itu, binatang melata ini diambil kulitnya untuk di samak dijadikan berbagai pernak-pernik kehidupan, seperti tas, ikat pinggang atau barang lainnya. Sedangkang dagingnya untuk dimakan, konon bermanfaat untuk obat tertentu.

Kejadian ini mengingatkan saya, sewaktu masih bekerja di arena pembelajaran pendidikan konservasi alam di Bodogol yang ada di lereng Gunung Pangrango yang berada dalam kawasan taman nasional. Kejadiannya sungguh menakutkan, bagi yang takut dan geli melihat ratusan ular mati menggelepar, persis seperti di film-film horor.

Suatu hari, kami dikejutkan dengan benyaknya ular yang berkeliaran di jalanan, menuju arena pembelajran itu. Kami pikir hanya satu atau dua ekor saja. Berbagai jenis, ada yang berbisa kuat, namun ada yang tak berbisa, tapi besar dan menakutkan. Apalagi kawasan ini untuk tempat belajar anak-anak sekolah. Sungguh tak terbayang kalau ada kejadian anak yang belajar di alam digigit ulat.

Operasi bersama pun kami lakukan dengan para petugas taman nasional. Hasilnya, masyaAllah. Ratusan ular menggelepar, ada yang sudah mati jadi bangkai, ada yang setengah mati, namun ada yang masih jalan-jalan walau badan lemah bangets.

Ular yang mati kami kubur yang setengah mati kami biarkan, mungkin akan mati juga, sedangkan yang hidup satu atau dua kami biarkan hidup atau kami singkirkan jauh-jauh dari arena pembelajaran, agar tak membahayakan dan membuat rasa takut anak-anak sekolah.

Kami nggak tahu siapa orang yang membuang ular sembarangan ini. Apakah pengumpul yang tak sanggup memelihara dan nggak laku dijual, atau juru sita dari pihak yang terkait. Namun kenapa membuang sembarangan yah. Kami hanya sedih menangkap satwa ini hanya untuk dibunuh dan dibiarkan mati.

Hal-hal semacam ini seharusnya langsung bisa ditangani leh pihak-pihak yang terkait, sehingga alam ini tidak terganggu keseimbangannya. Kini hama tikus merajalela menyerang sawah dan pekebunan, hal ini karena manusia memulai memutus rantai makanan yang sudah ada. Atau mungkin program penyadaran bagai kita semua akan pentingnya fungsi mahluk hidup yang saling ketergantungan satu sama lain. Memang benar “sudah nampak tanda-tanda kerusakan di darat dan lautan karena ulah tangan manusia juga, yang berakibat kurang menguntungkan bagi kehidupan kita pula”

Edy Hendras

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.