Bulan puasa lalu, aku berkesempatan jalan-jalan di Aceh, untuk sharing sebuah kegiatan yang terkait denga tulis menulis, khususnya mengenai alam. Setelah dua hari di Banda Aceh, maka rombongan menuju ke Lamno, yang berada di Kebupaten Aceh Jaya, pantai barat. Terbayang dalam benakku, Pantai (Pante) Cermin, pasti berada di pesisir, dengan laut yang biru, indahlah pokoknya.
Memang dalam perjalanan, disuguhi pemandangan yang aduhai. Bekas hantaman tsunamai masih nampak. Jalan yang hilang, kampung yang lenyap atau bukit yang dulu menyatu dengan daratan, kini pisah dan menjadi pulau tersendiri. Jalan yang bekelok-kelok merupakan khas jalan di pesisir Pulau Sumatra.
Sampailah di Lamno, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Pante Cermin. Hanya kendaraan sepeda motor yang bisa menuju ke sana. Itupun harus menyeberang dua kali menggunakan tongkang atau getek. Bukit-bukit yang menjulang nampak di kiri dan kanan. Sungai yang jernih mengalir dari sela-sela lembah yang masih cukup rimbun. Sampailah kami di desa.
”Nah kita sudah sampai, dan kita akan menginap semalam di sini” begitu kata kawan dari FFI Aceh peogram yang memandu kami.
”Mana pantainya”, tanyaku polos.
”Yah ini Desa Pante Cermin” jawabnya singkat.
Rupanya Pante Cermin bukanlah di pesisir, namun di tepian sungai yang mengalir. Umumnya di Sumatera pantai tak hanya di pesisir laut, namun tepian perairan, baik di laut ataupun sungai, juga di sebut pantai.
Namun ketidakntahuan saya terobati, dengan berbagai ceritera desa yang subur ini. Di balik desa merupakan perbukitan yang masih hijau, dan kini dalam program FFI Aceh, merupakan sebuah kawasan yang menjadi prioritas untuk dilestarikan dan dilindungi. Kawasan dalam program ini di sebut kawsan Ulu Masen, yang meliputi lima kabupaten, dan konon merupakan habitat terakhir satwa yang dilindungi di bagian utara Aceh. Satwa-satwa yang telah diidentifikasi antara lain Gajah, Harimau, beberapai jenis primata, tapir, kambing gunung dsb. Seolah-olah kawasan Ulu Masen ini menjadi sebuah pulau yang dikelilingi berbgai kegiatan manusia seperti perkebunan, ladang, peternakan dan tentunya pemukiman.
***
Malam itu kebetulan kami menginap di rumah Pak Keucik (Kepala Desa), maka kesempatan bertanya tentang Gempong (Kampung) ini, merupakan sebuah kesempatan. Konon menurut cerita orang-orang tua, dulunya sebelum ada pemukiman datanglah sekelompok orang-orang yang memang waktu itu sistim kependudukan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan kelihatan dari jauh hamparan pantai di sungai merupakan pasir dan bebatuan berwarna putih memancarkan kilauan pemandangan yang sangat indah. Hamparan itu dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan yang menjulang tinggi dengan pepohonan yang lebat bak penghalang badai. Itulah sebuah kisah pendek yang dituturkan Pak keucik. Memang daerah ini sangat subur, hamparan tanah yang hijau terlindung dengan bukit-bukit ang menjulang, sangat bagus untuk berkebun, bertani.
Suasana puasa terasa sekali di perkampungan ini, konon kalau saat puasa tiba, jarang orang pergi ke ladang, semuanya fokus pada ibadah. Rumah adat atau rumah panggung, masih banyak ditemukan. Suasanyanya memang damai. Mungkin berbeda dengan beberapa waktu silam. Ada kawan saya yang saat ini berkegiatan di sana bilang, bahwa semasa jaman konflik, suasana desa ini mencekam, dan jarang orang luar berani memasuki desa ini. Aku bersyukur,. Semoga kedamaian ini terus berlanjut, sehingga ketentraman masyarakat di Pantee Cermin khususnya dan di desa-desa seluruh Aceh umumya demikian. Sayang sekali lahan yang subur seperti ini terlantar karena terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.
****
Menjelang buka puasa, terlihat masyarakat mulai sibuk hilir mudik untuk menyiapkan buka puasa, apalagi rombongan kami sekitar 30an orang. Akan melakukan buka bersama dengan masyarakat. Maka suasana seperti orang punya hajat besar.
Di balai desa makanan sudah terhampar, minuman manis dan makanan kecil sudah tersedia. Namun buka puasa bersama di Gampong ini, sekalian makan besar. Makanan yang sederhana, rendang daging kambing, dicampur dengan pisang mentah yang direbus (persisi seperti kentang kalau sudah dicampur rendang daging), dan dicampur bonggol pisang muda membuat semangat. Bahkan dengan makan bersama ada rasa kebersamaan, dan tentunya nambah. ”:Wah gile, jadi nambah dua kali, tumben-tumben semangat makannya”, celetuk kawan saya yang membantu memfasilitasi pelatihan ini. Wah, pasti bumbunya pas, yah pas banget. Entah apa maksud kawan-kawan tadi.
Usai makan, dilanjutkan sholat magrib dan setelah istirahat langsung sholat isya’ dan taraweh. Rata-rata di pedesaan taraweh 23 rekaat. Wah lumayan juga ....
Jam sepuluhan, anak-anak mudah mulai mengaji, menggunakan pengeras suara, sehingga alunan ayat-ayat suci Al Qur’an mengumandang ke seantero Gempong. ” Kalau mereka ngaji sampai sahur pak”, ujar Pak Keucik.
***
Itulah sekelumit Gempong Pantee Cermin yang begitu indah dan sejuk. Konon pemerintah daerah akan menjadikan desa ini menjadi daerah tujuan wisata pedesaan, wisata petualangan. Memang sangat mendukung alamnya yang begitu indah. Beberapa lokasi sudah dibuat gazebo atau tempat peristirahatan, untuk sekedar melepaskan lelah bila berjalan-jalan memasuki desa dan hutan. Kadang hari libur atau akhir pekan, menurut cerita kawan yang bertugas di sana, beberapa orang asing dari Banda Aceh atau orang kota, berdatangan ke sana. Ada yang sekedar jalan-jalan, melihat pemandangan, melihat burung-burung atau malah ada yang mencari ikan sungai khas Pantee Cermin yang biasa ditangkap dengan memancing oleh penduduk untuk dijual.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar