HORMAT SISWOYO.
Kalau orangutan mabok
Saya masih ingat benar, pada tahun 1984 sekitar pertengahan bulan Maret, saat melakukan penelitian orangutan, waktu itu Sis (panggilan akrab Siswoyo) hamil tua, lebih kurang sudah mencapai 8 bulan. Siswoyo bersama anaknya Siswi, menjebol kamar saya. Semua berantakan diobrak-abrik. Kasur sobek, buku catatan dan buku bacaan ambruladul, makanan kaleng disikat habis tak tersisa. Beberapa botol persediaan minuman obat untuk campuran jamu seperti 2 botol beras kencur, 2 botol anggur dan 1 botol madu, lenyap pula. Saya kaget bukan kepalang, sesampainya di pondok dari hutan saat itu.
“Siapa yang menjebol kamar ini” pikir saya, (siapa maksudnya orangutan mana). Teman-teman karyawan lain di kamp tak tahu siapa, karena memang pondok saya berdua jauh dari pondok kerja mereka. Saya dan Heru Datos diam saja melihat kamar berantakan, capai baru datang dari hutan.
Iseng-iseng saya jalan keluar pondok kerja, ingin tahu siapa yang kira-kira habis berpesta makanan dari dalam pondok kerja saya. Tak jauh dari pondok saya temukan beberapa botol tergeletak, bekas botol anggur dan beras kencur, kertas dan sebagian kue berceceran. Tak jauh saya berdiri, saya lihat Siswoyo dan Siswi diam di bawah pohon dan dihadapannya masih ada sedikit sisa makanan. Kami memastikan pasti mereka berdua yang menjebol pondok kerja saya.
Dengan rasa jengkel, saya berusaha mendekatinya, mungkin merasa punya salah, mereka langsung jalan dan masuk ke hutan. Namun, rasa jengkel saya hilang ketika melihat mereka berjalan sempoyongan. Siswi jalannya gontai, sesekali jatuh tersungkur, dan beberapa kali selalu salah memegang pohon atau ranting, tak ubahnya kalau melihat manusia mabok minuman keras. Siswi ingin naik pohon, tetapi salah memegang dahan dan jatuh, jatuh dan jatuh lagi. Saya tersenyum melihat perilaku mereka, terutama Siswi. “Tos, ingin lihat orangutan mabok”, teriak saya pada Heru yang duduk kecapaian. Betapa tidak, anggur 2 botol, beras kencur 2 botol dan madu 1 botol untuk ukuran orangutan Siswi yang baru berumur 5 tahun. Siswoyo terlihat agak tenang, tak tahu mungkin pening juga, jalan terus hanya sesekali menoleh ke belakang melihat anaknya yang sempoyongan dan selalu jatuh tersungkur. Ada-ada saja Sis!!.
Jagoan Camp.
Banyak teman-teman karyawan di Kamp Leakey, menyebut Siswoyo “jagoannya” di kamp. Semua orangutan rehabilitasi, baik jantan atau betina segan dan takut dengannya. Siswoyo mempunyai perawakan yang besar bila dibandingkan dengan orangutan lainnya, hanya anak-anak orangutan yang kecil saja yang berani berdampingan makan bersama orangutan tertua di komplek rehabilitasi orangutan ini. Sedangkan orangutan lainnya, saat diberi makan, hanya mengambil dan pergi menjauh dari Siswoyo, bila Siswoyo datangnya belakangan, maka ketika Sis datang, orangutan lain yang datang lebih dulu, pergi sambil membawa makanan.
Siswoyo memang bukan orangutan yang agresif menggigit atau menyerang orangutan lain. Tapi Sis paling tidak suka dengan orangutan yang saling mengganggu sesamanya. Dia paling benci melihat sesamanya menyerang orangutan lain, khususnya yang masih kecil. Pasti orangutan yang suka “jahil” ini dimusuhi Sis, kemanapun pasti akan dikejar. Lain halnya bila orangutan yang tak pernah menjahili sesama orangutan. Tak segan-segan membuat jera dengan menggigit individu yang bandel. Siswoyo memang sayang anak.
Siswoyo juga bukan gila hormat. Tetapi perlu menghormati “hak azasi orangutan” pada saat saat tertentu. Kalau dia dengan anaknya sedang tidur di Jembatan dan kita sebagai manusia ingin lewat, perlu mengucapkan “permisi Sis” numpang lewat. Maka diapun membiarkan kita berlalu. Kalau sedang duduk, tak jadi masalah.
Dua kali selama saya di kamp, Siswoyo melukai orang (manusia) dengan menggigit. Itupun sudah diperingatkan karyawan lain. “Jangan naik ke menara, ada Siswoyo sekeluarga tidur di sana” saran teman karyawan kepada Sukirno yang jadi korban kemarahan Siswoyo. Namun dia nekat. Pikirnya dia sudah kenal dengan Siswoyo. Sis tak pandang siapa dia. Kalau dia dan keluarganya yang sedang tidur diusik, Sis akan marah dan bila perlu akan mengigit. “Untung pakai celana jeans, kalau tidak, hancur kakiku “, kata Kirno sambil memperlihatkan luka memarnya kepada kawan lain.
Kejadian kedua, gigitan Siswoyo cukup parah terhadap orang asing, yang menjadi tenaga sukarela hampir 6 bulan. Memang orang ini sudah diberitahu ada Siswoyo tidur di jembatan, bilang “permisi numpang lewat” kalau mau mandi di sungai. Namun, pemuda Amerika belasan tahun ini sedikit ugal-ugalan, tak mau dengar saran teman teman karyawan. Saat di jembatan dia lari dan menimbulkan suara gaduh, mengganggu Sis tidur, lantas melompati Siswoyo. Sis kaget, dengan gerak cepat, Siswoyo menangkap kakinya, dan digigit betisnya meninggalkan luka yang cukup parah.
Tinggal kenangan.
Tiba-tiba saya dapat kabar dari karyawan yang memberi tahu lewat radio, “ segera datang Sis sakit parah”, begitu pesan singkat melalui radio. Memang Sis melahirkan anak terlalu cepat, 3 tahun sekali, normalnya orangutan 4 – 5 tahun, bahkan bisa lebih. Karena Sis subur dan ada jantan dewasa, maka sering melahirkan. Sis sudah pingsan, kemaluannya sudah bau. Saya membersihkannya dengan antiseptik dan memberinya obat antibiotik pada luka-luka di sekitar vaginanya.
Sis keguguran. Ari-arinya masih tertinggal di dalam. Saya langsung berkonsultasi dengan dokter kebidanan di Pangkalan Bun bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Ada petunjuk untuk mengambil ari-ari dengan memasukan tangan ke kemaluannya. Maklum waktu itu masih belum ada dokter khusus di proyek ini. Saat kembali ke kamp jiwa Sis sudah tidak tertolong lagi.
Tangisan seorang anak.
Sepeninggal Sis, anaknya yang bontot Sugarjito kelimpungan mencari di mana induknya. Jito melihat induknya dikubur. Dia memandangi dari jauh. Setiap hari Jito ada di sekeliling kuburan induknya. Tak doyan makan, kerjanya duduk termenung sambil memandangi “nisan” ibunya.
Karyawan berusaha memberi makanan atau minuman susu manis kesukaannya. Namun, hanya dipandangi oleh Jito. “Jitoooooo…” panggil karyawan, Jito hanya menjawab “ngggiiikk ….”, dengan suara yang melas asih.
Hari demi hari Jito hanya seperti itu, diam termangu tak mau makan dan minum, hampir satu minggu. Untunglah kakak kandungnya Siswi datang. Melihat adiknya diam termenung di dahan, Siswi mungkin tak tahu atau tak mau tahu (sifat satwa yang sudah lepas dari induknya) dengan kematian induknya. Jito turun dan memandang kakaknya. Siswi memegang muka adiknya dan pergi mengikuti karyawan yang memanggil untuk memberi makanan tambahan pada sore hari. Jito mengikuti dari belakang.
Kalau orangutan mabok
Saya masih ingat benar, pada tahun 1984 sekitar pertengahan bulan Maret, saat melakukan penelitian orangutan, waktu itu Sis (panggilan akrab Siswoyo) hamil tua, lebih kurang sudah mencapai 8 bulan. Siswoyo bersama anaknya Siswi, menjebol kamar saya. Semua berantakan diobrak-abrik. Kasur sobek, buku catatan dan buku bacaan ambruladul, makanan kaleng disikat habis tak tersisa. Beberapa botol persediaan minuman obat untuk campuran jamu seperti 2 botol beras kencur, 2 botol anggur dan 1 botol madu, lenyap pula. Saya kaget bukan kepalang, sesampainya di pondok dari hutan saat itu.
“Siapa yang menjebol kamar ini” pikir saya, (siapa maksudnya orangutan mana). Teman-teman karyawan lain di kamp tak tahu siapa, karena memang pondok saya berdua jauh dari pondok kerja mereka. Saya dan Heru Datos diam saja melihat kamar berantakan, capai baru datang dari hutan.
Iseng-iseng saya jalan keluar pondok kerja, ingin tahu siapa yang kira-kira habis berpesta makanan dari dalam pondok kerja saya. Tak jauh dari pondok saya temukan beberapa botol tergeletak, bekas botol anggur dan beras kencur, kertas dan sebagian kue berceceran. Tak jauh saya berdiri, saya lihat Siswoyo dan Siswi diam di bawah pohon dan dihadapannya masih ada sedikit sisa makanan. Kami memastikan pasti mereka berdua yang menjebol pondok kerja saya.
Dengan rasa jengkel, saya berusaha mendekatinya, mungkin merasa punya salah, mereka langsung jalan dan masuk ke hutan. Namun, rasa jengkel saya hilang ketika melihat mereka berjalan sempoyongan. Siswi jalannya gontai, sesekali jatuh tersungkur, dan beberapa kali selalu salah memegang pohon atau ranting, tak ubahnya kalau melihat manusia mabok minuman keras. Siswi ingin naik pohon, tetapi salah memegang dahan dan jatuh, jatuh dan jatuh lagi. Saya tersenyum melihat perilaku mereka, terutama Siswi. “Tos, ingin lihat orangutan mabok”, teriak saya pada Heru yang duduk kecapaian. Betapa tidak, anggur 2 botol, beras kencur 2 botol dan madu 1 botol untuk ukuran orangutan Siswi yang baru berumur 5 tahun. Siswoyo terlihat agak tenang, tak tahu mungkin pening juga, jalan terus hanya sesekali menoleh ke belakang melihat anaknya yang sempoyongan dan selalu jatuh tersungkur. Ada-ada saja Sis!!.
Jagoan Camp.
Banyak teman-teman karyawan di Kamp Leakey, menyebut Siswoyo “jagoannya” di kamp. Semua orangutan rehabilitasi, baik jantan atau betina segan dan takut dengannya. Siswoyo mempunyai perawakan yang besar bila dibandingkan dengan orangutan lainnya, hanya anak-anak orangutan yang kecil saja yang berani berdampingan makan bersama orangutan tertua di komplek rehabilitasi orangutan ini. Sedangkan orangutan lainnya, saat diberi makan, hanya mengambil dan pergi menjauh dari Siswoyo, bila Siswoyo datangnya belakangan, maka ketika Sis datang, orangutan lain yang datang lebih dulu, pergi sambil membawa makanan.
Siswoyo memang bukan orangutan yang agresif menggigit atau menyerang orangutan lain. Tapi Sis paling tidak suka dengan orangutan yang saling mengganggu sesamanya. Dia paling benci melihat sesamanya menyerang orangutan lain, khususnya yang masih kecil. Pasti orangutan yang suka “jahil” ini dimusuhi Sis, kemanapun pasti akan dikejar. Lain halnya bila orangutan yang tak pernah menjahili sesama orangutan. Tak segan-segan membuat jera dengan menggigit individu yang bandel. Siswoyo memang sayang anak.
Siswoyo juga bukan gila hormat. Tetapi perlu menghormati “hak azasi orangutan” pada saat saat tertentu. Kalau dia dengan anaknya sedang tidur di Jembatan dan kita sebagai manusia ingin lewat, perlu mengucapkan “permisi Sis” numpang lewat. Maka diapun membiarkan kita berlalu. Kalau sedang duduk, tak jadi masalah.
Dua kali selama saya di kamp, Siswoyo melukai orang (manusia) dengan menggigit. Itupun sudah diperingatkan karyawan lain. “Jangan naik ke menara, ada Siswoyo sekeluarga tidur di sana” saran teman karyawan kepada Sukirno yang jadi korban kemarahan Siswoyo. Namun dia nekat. Pikirnya dia sudah kenal dengan Siswoyo. Sis tak pandang siapa dia. Kalau dia dan keluarganya yang sedang tidur diusik, Sis akan marah dan bila perlu akan mengigit. “Untung pakai celana jeans, kalau tidak, hancur kakiku “, kata Kirno sambil memperlihatkan luka memarnya kepada kawan lain.
Kejadian kedua, gigitan Siswoyo cukup parah terhadap orang asing, yang menjadi tenaga sukarela hampir 6 bulan. Memang orang ini sudah diberitahu ada Siswoyo tidur di jembatan, bilang “permisi numpang lewat” kalau mau mandi di sungai. Namun, pemuda Amerika belasan tahun ini sedikit ugal-ugalan, tak mau dengar saran teman teman karyawan. Saat di jembatan dia lari dan menimbulkan suara gaduh, mengganggu Sis tidur, lantas melompati Siswoyo. Sis kaget, dengan gerak cepat, Siswoyo menangkap kakinya, dan digigit betisnya meninggalkan luka yang cukup parah.
Tinggal kenangan.
Tiba-tiba saya dapat kabar dari karyawan yang memberi tahu lewat radio, “ segera datang Sis sakit parah”, begitu pesan singkat melalui radio. Memang Sis melahirkan anak terlalu cepat, 3 tahun sekali, normalnya orangutan 4 – 5 tahun, bahkan bisa lebih. Karena Sis subur dan ada jantan dewasa, maka sering melahirkan. Sis sudah pingsan, kemaluannya sudah bau. Saya membersihkannya dengan antiseptik dan memberinya obat antibiotik pada luka-luka di sekitar vaginanya.
Sis keguguran. Ari-arinya masih tertinggal di dalam. Saya langsung berkonsultasi dengan dokter kebidanan di Pangkalan Bun bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Ada petunjuk untuk mengambil ari-ari dengan memasukan tangan ke kemaluannya. Maklum waktu itu masih belum ada dokter khusus di proyek ini. Saat kembali ke kamp jiwa Sis sudah tidak tertolong lagi.
Tangisan seorang anak.
Sepeninggal Sis, anaknya yang bontot Sugarjito kelimpungan mencari di mana induknya. Jito melihat induknya dikubur. Dia memandangi dari jauh. Setiap hari Jito ada di sekeliling kuburan induknya. Tak doyan makan, kerjanya duduk termenung sambil memandangi “nisan” ibunya.
Karyawan berusaha memberi makanan atau minuman susu manis kesukaannya. Namun, hanya dipandangi oleh Jito. “Jitoooooo…” panggil karyawan, Jito hanya menjawab “ngggiiikk ….”, dengan suara yang melas asih.
Hari demi hari Jito hanya seperti itu, diam termangu tak mau makan dan minum, hampir satu minggu. Untunglah kakak kandungnya Siswi datang. Melihat adiknya diam termenung di dahan, Siswi mungkin tak tahu atau tak mau tahu (sifat satwa yang sudah lepas dari induknya) dengan kematian induknya. Jito turun dan memandang kakaknya. Siswi memegang muka adiknya dan pergi mengikuti karyawan yang memanggil untuk memberi makanan tambahan pada sore hari. Jito mengikuti dari belakang.
(Photo oleh : Ralph, Siswoyo dan Sugarjito)
1 komentar:
Hebat mas, pengalaman bergaul dengan orangutan-nya. Saya juga suka satwa, namun belum sampai berani tinggal di hutan mengobservasi mereka. Ya sekarang paling2 cuma bisa melihat di Ragunan. Kasihan juga sebenarnya kalau dikurung di bonbin; tapi mungkin lebih baik daripada diburu2 manusia di hutan.
Posting Komentar