06 Oktober 2008

Kisah Orangutan Suharto

KISAH ORANGUTAN SUHARTO

Cerita Nomor 30.
JANGAN PAKAI NAMA PRESIDEN

Menjelang gencar diadakannya Konferensi Kera Besar Desember tahun 1991, banyak media elektronik dan cetak meng ekspose berita yang agak kurang “mesra” antara departemen yang membawahi pariwisata dan kehutanan. Memang acara konferensi itu untuk menggugah dan promosi kepariwisataan dan idenya pun muncul saat Ibu Birute berjumpa dengan Bapak Susilo Sudarman di Amerika Serikat sana. Konferensi itu untuk mengangkat dan promosi ke dunia, bahwa orangutan yang ada di Pangkalan Bun mempunyai nilai yang tinggi untuk daya tarik kepariwisataan di tingkat dunia.

Berbagai TV swasta mencari berita dan meliput kegiatan atau mencari kesimpangsiuran kepentingan antara pariwisata dan pelestarian orangutan. RCTI datang ke hutan tempat bermain anak-anak orangutan dan mewawancai saya, sebenarnya apa sih yang terjadi. Saya hanya bisa jawab bahwa di Tanjung Puting bukan tempat untuk wisata karena akan mengganggu proses peliaran oranguatan, misalnya di Kamp Leakey banyak orangutan yang sulit untuk pergi ke hutan. Namun, pendapat saya di Kamp Leakey sudah di cap menjadi daerah kunjungan wisata untuk melihat orangutan, sulit untuk ditutup dan menolak wisatawan yang masuk. Sudahlah, ada beberapa orangutan yang sudah “terlanjur” jinak, karena bekas sitaan, dikorbankan menjadi satwa daya tarik pengunjung. Tapi perlu disiapkan lokasi lain khusus untuk pelestarian dan tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, selain petugas.

Begitulah sebuah perjalanan untuk maju, pasti ada kepentingan, dan mungkin solusi yang saya sampaikan adalah salah satunya untuk menengahi masalah itu.

TVRI pun tak ketinggalan, selain meliput berita, TV pemerintah ini juga membuat sebuah ceritera film durasi pendek sekitar 30 menit. Judulnya “Kutangkap dan Kulepas” dan konon memenangkan juara pertama dalam kontes film dokumenter.

Saat pembuatan film itu, kru heran tanpa ada teks, apalagi narasi yang dibuat, bukan pemain sinetron, semua lancar sesuai dengan “arahan” dari sang sutradara. Yah, itu karena memang pekerjaan ini sudah kami lakukan sehari-hari, dan hari ini mengulang pekerjaan kemarin dan akan dikerjakan esok hari. Jadi semua biasa saja.

Saat ada dialog antara dokter hewan Windarta dan saya sebagai perawat orangutan, saya berpura-pura membawa orangutan itu ke Pak Win, untuk diperiksa kesehatannya. Seperti pemain film, saya seperti tergopoh-gopoh membawa orangutan untuk segera diperiksa. Biasa mengucapkan selamat pagi dan sebagainya, supaya keren ada dialog dalam film itu.

“Pak Win tolong orangutan ini diperiksa karena baru kami terima dari seseorang yang menyerahkan kepada kami” awal dialog saya ke Pak Win.
“ Eh, Mas Edy ada-apa, apa ada tanda-tanda sakit” Tanya Pak Win.
“Nggak sih, cuma coba dilihat kesehatannya” jawab saya singkat. Lantas Pak Win menanyakan umur, asal orangutan dan namanya untuk dicatat.
“Namanya Suharto, kelamin jantan, umur sekitar 5 tahun, asal dari udik dan sudah lama kami rawat”
“Cut … cut …” kata sutradara dari TVRI.

Bisa nggak namanya diganti, jangan nama presiden, nggak enak, siapa saja deh. Oke, adegan diulangi. Maklum adegan selama pembuatan film langsung direkam. Entah apa yang saya sebutkan, saya lupa, mungkin Karto atau nama saya sendiri.

Selama pembuatan film, untunglah Suharto nggak protes dan tak harus diselametin untuk penggantian nama. Nama Suharto diambil dari mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta yang pada tahun 1971-an melakukan penelitian di Tanjung Puting.

Suharto adalah salah satu anak orangutan yang mandiri, tidak tergantung dari orangutan lain atau pengasuh. Seusai pemberian makanan tambahan, dia langsung tidur di “hotel permanennya” di Pos Tanjung Harapan. Namun, karena masih kecil dan belum mampu untuk mempertahankan diri anak orangutan ini diserang dan digigit orangutan jantan liar. Hanya bisa menangis dan teriak. Lantas petugas menyelamatkannya. Mungkin kalau tidak segera ditolong, bisa parah.

Walaupun demikian, perlu mendapatkan perawatan yang intensif karena luka gigitan yang cukup lebar hingga tulang paha kanan terlihat dan perlu dijahit lebih dari 10 jahitan. Syukurlah saat itu ada dokter hewan volunteer dari Amerika Serikat yaitu DR. Jill Kusba.

Perilaku orangutan jantan ini sudah biasa, khususnya terhadap jantan muda, walaupun masih bocah. Mereka cemburu dan mungkin kalau sudah besar akan menjadi pesaing dalam mempertahankan daerah kekuasaannya. Suharto anak orangutan yang “menggemaskan” ini sebelum konferensi kera merah yang dibuka di Istana Presiden di Jakarta oleh Presiden RI, sudah liar dan hidup bebas di hutan. Tak tahu apa arti konferensi ini bagi “bocah” yang yatim piatu ini.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.