12 Oktober 2008

HARI HARI BERSAMA KERA MERAH


Ceritera Nomor 3.
HARI DEMI HARI
BERSAMA KERA MERAH.

Tak pernah terbayangkan saat masih kecil akan hidup di tengah-tengah kera merah di belantara Kalimantan. Bahkan, tak pernah terpikirkan walaupun telah menginjakkan kaki di bangku kuliah. Semua dimulai dari rasa senang dengan tantangan, sesuatu yang baru dan keinginan mencari pengalaman untuk menghiasi hidup ini.

Mulanya ada sebuah pengumuman di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, bahwa ada seorang peneliti wanita dari Kanada membutuhkan beberapa mahasiswa untuk membantu penelitiannya, khusus mengamati perilaku orangutan. Dengan tekat hati saya mendaftar, apapun yang terjadi nantilah urusan belakang.

Rupanya pendaftar cukup banyak, ada sekitar 17 orang mahasiswa. Di dalam pengumuman disarankan bagi pendaftar sebaiknya mereka yang telah menyelesaikan Sarjana Muda sehingga data penelitian yang dikumpulkan dapat diolah sebagai bahan penulisan untuk Sarjana Penuh. Hanya ada beberapa yang masuk kualifikasi itu.

Seleksi pun dilakukan. Pertanyaan yang diajukan bermacam-macam. Mulai dari keluarga, kost atau ikut orangtua, kesehatan, kemauan, hingga pengalaman di lapangan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak mahasiswa yang hanya betah sebulan tinggal di tengah-tengah hutan untuk melakukan penelitian.

Tak disangka hanya saya yang diterima karena memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh fakultas. Sedangkan yang dibutuhkan dua orang. Setelah dengan susah payah mencari satu lagi mahasiswa yang memiliki kemauan dan betah tinggal di dalam hutan dipilihlah Heru Datos Manoto.

Waktu itu ceritera tentang Kalimantan, bagi kami yang kurang informasi sangatlah menyeramkan, apalagi dengan hutan yang lebat, penduduk asli, dsb. Namun, setelah tiba di sana ceritera tersebut hanya khayalan dan pandangan yang keliru tentang kehidupan di dalam hutan tropik.

Perkenalan.

Baru kali ini memasuki hutan rimba. Naik perahu atau dalam sebutan lokal, klotok, dengan menyeberangi sungai yang lebar dan berliku adalah pengalaman pertama dalam perjalanan hidup.

Sungai Kumai dengan lebar lebih kurang 1 km memberikan pemandangan yang indah. Hilir mudik kapal dan perahu nelayan serta angkutan sungai membuat hiruk pikuk dan kesibukan sungai tersebut. Kadang terlihat pesut (lumba-lumba air tawar) sesekali meloncat mengikuti perahu yang sedang melaju.

Memasuki Sungai Sekonyer dengan warna air yang hitam, tetapi jernih adalah pemandangan yang tak kalah mengagumkan. Apalagi kadang-kadang muncul Buaya Muara yang seram, diam termenung di sela-sela tumbuhan Nipah. Burung-burung seperti rangkong, betet, beo, raja udang, terkukur, dara hijau dan masih banyak lagi berterbangan bebas kian kemari. Terasa bagai di dalam kurungan kebun binatang raksasa.

Kapal-kapal kayu sebelum melaut ke Pulau Jawa, banyak yang mengambil air dari sungai ini. Walaupun hitam karena pengaruh rawa gambut, airnya jernih dan cukup untuk bekal selama dalam perjalanan.

Lebih unik lagi setelah melewati kawasan hutan terdengar jeritan para monyet ekor panjang. Dengan angkuhnya mereka berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan dahan, seolah tidak suka dengan kehadiran manusia. Terlihat monyet berhidung mancung atau bekantan, yang oleh orang lokal sering disebut monyet Belanda, dengan tenangnya memandangi kami yang ada di dalam klotok.

Kumpulan Anak Yatim.

Begitu menepi di dermaga ujung jembatan Camp Leakey kami disambut dengan kerumunan anak-anak yatim, si orangutan yang tak beribu, apa lagi berbapak. Mereka semua memiliki nama yang keren-keren. Ada nama Indonesia seperti Unyuk, Tutut, dan Supinah, tapi tak sedikit pula yang memiliki nama asing seperti Simon, Roger, Davida, Carey, Curly, dan Dart. Nama-nama mereka digunakan untuk pengabsenan, apakah mereka setiap hari datang atau tinggal di hutan, dan untuk mempermudah mengevaluasi kegiatan dalam usaha rehabilitasi orangutan.

Si kecil ini lucu-lucu perilakunya. Tak ubahnya dengan anak manusia, suka mewek kalau permintaannya tak dituruti, menjerit kalau ketakutan, dsb. Kisah berkumpulnya anak-anak yatim karena perbuatan manusia ini cukup panjang dan memilukan.

Manusia yang suka memelihara orangutan, yang dipelihara umumnya adalah orangutan usia anak-anak, tak mungkin langsung menangkap orangutan dewasa. Untuk menangkap anaknya, manusia tak akan bisa merebut langsung dari dekapan induknya. Pemburu harus membunuh induknya terlebih dahulu. Selain itu, orangutan juga dianggap sebagai hama ladang yang sering kali memasuki perladangan sehingga mereka dibasmi. Orangutan dewasa dibunuh dan anak-anak yang tak berdosa ini ditangkap. Kadang hasil tangkapan ini diserahkan kepada pihak berwenang atau dijual. Dalam salah satu kasus ada anak orangutan yang terkena tebasan parang dan tangannya putus saat penjaga ladang akan membunuh induknya.

Anak-anak ini kemudian dikumpulkan, diberi makan, diobati kalau sakit dan dicarikan induk angkat bila ada orangutan dewasa betina yang suka mengambil anak angkat. Kini kumpulan itu semakin banyak. Kalau dihitung anak orangutan di Kamp Leakey atau kamp-kamp lain di taman nasional atau lokasi rehabilitasi di Kalimantan dan Sumatera maka orangutan dewasa yang mati kira-kira sebanyak itu juga.

Aneka Wajah-Wajah Penghuni Hutan
Orangutan Rehabilitasi.

Seperti halnya manusia dengan wajah yang berbeda satu sama lainnya, penghuni hutan inipun mempunyai tanda-tanda yang berbeda diantara mereka. Selintas bentuk muka, rambut, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan bagian anggota badan lainnya memang sama. Akan tetapi bila setiap hari bertemu dan bergaul dengan mereka, maka akan tahu perbedaan setiap individu.

Untuk membedakan itulah, maka setiap orangutan penghuni pusat penelitian, pusat rehabilitasi dan kebun binatang diberi nama agar memudahkan dalam pemisahan.. Di Pusat Rehabilitasi Orangutan Tanjung Puting misalnya, setiap orangutan diberi nama, mulai dari yang kecil baru lahir, yang dewasa ataupun yang baru datang diserahkan ke lokasi rehabilitasi tersebut.

Tak hanya wajah yang hampir sama tetapi berbeda, perilakunya pun berbeda pula. Tak ubahnya seperti manusia. Ada yang baik hati, penyabar, gampang marah, ada pula yang rakus, tapi ada pula yang mengalah. Ada yang pemalas, ogah ke hutan dan cukup tidur di kolong rumah, di jembatan ataupun di menara dengan berselimutkan karung atau kardus. Tak sedikit pula yang rajin membuat sarang saat waktu tidur tiba.

Orangutan betina, khususnya yang dewasa dan mempunyai sifat pengayom serta sayang anak tidak akan segan-segan untuk mengasuh, mendidik, memberi contoh dalam hal memilih makanan, membuat sarang dan sebagainya ke anak-anak orangutan ini. Tapi ada pula yang “judes” dengan anak kecil, tak mau didekati, bahkan sering merebut makanan yang dipegang ataupun disimpan dalam mulut. Orangutan yang punya kasih dan sayang pada anak-anak “yatim” ini sering mengalah, bahkan makanan yang dipegangnya rela bila diambil oleh si kecil.

Begitupula jantan remaja yang masih hidup berkelompok. Ada yang rasa berkawannya cukup tinggi. Tak segan-segan melindungi anak-anak yang tak “berpapa dan bermama” ini bila ada orangutan lain yang usil mengganggu ataupun merebut makanan. Mereka akan mengusir dan bahkan menyerangnya.

Wajah dan perilaku ini, tentunya diketahui bila kita setiap hari hidup dan bergaul dengan mereka, baik saat meneliti perilakunya, atupun saat memberikan makanan. Sungguh merupakan khasanah pengetahuan tentang alam yang menarik untuk diketahui dan dipelajari sehingga kita akan mengetahui tentang keadaannya di alam.

Dari tahun 1983 selama 7 bulan dan dilanjutkan lagi dari tahun 1988 sampai tahun 1994 itulah sedikit banyak saya mengetahui wajah dan perilaku orangutan dengan berbagai perilaku kehidupannya. Ada sebuah harapan untuk memberikan sumbangan pengetahuan perilaku bagi khalayak yang awam tentang orangutan.

Dalam kurun waktu itu saya mengenal lebih kurang 100 orangutan, baik yang masih anak-anak, remaja maupun yang dewasa. Perubahan wajah setiap orangutan pasti akan terjadi, terutama jantan. Setelah menginjak dewasa bagian wajah jantan akan tumbuh bantalan pipi yang kadang-kadang menyulitkan dalam mengenalinya karena terjadi perubahan total pada raut wajahnya.

Orangutan dapat dikenal dengan menandai ciri pada raut wajahnya. Diantaranya, muka lebar, sorot mata tajam atau sayu, moncong bibir, rambut yang tumbuh di kepala lebat atau tipis, cara jalan di tanah dan cara menggendong anak. Atau bila orangutan itu lama tinggal di kamp, dapat juga dipanggil namanya, bila masih menoleh dan menghampiri, itulah dia. Misalnya, Unyuk, Tutut, Rani, Siswi, dsb.

Wajah-wajah mereka yang bervariasi menyebabkan Rehabilitasi Orangutan Taman Nasional Tanjung Puting ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan nusantara. Di sana pengunjung dapat bercanda dan memanggil nama para orangutan untuk lebih dekat dan menyayangi. Kelak diharapkan para pengunjung membantu dalam usaha pelestarian dari berbagai sisi. Mudah-mudahan.

Orangutan liar.
Berbeda dengan orangutan rehabilitasi yang sebelumnya merupakan satwa peliharaan (pet) manusia yang kemudian diserahkan ke Pusat Rehabilitasi untuk diliarkan, orangutan liar penghuni lokasi penelitian di Taman Nasional Tanjung Puting juga diberi nama.

Memang susah untuk mengenal orangutan liar lebih jauh dalam waktu yang singkat. Khususnya wajah-wajah mereka dari jarak yang jauh karena mereka sulit didekati dan berada di pohon yang cukup tinggi dan rimbun. Namun, bila diamati secara seksama dan berkali-kali maka akan terlihat adanya perbedaan. Mereka pun diberi nama agar mudah untuk mengetahui ciri-ciri secara khusus orangutan liar. Misalnya Yellow bersama keluarganya Yet atau Yel.

Ada cara-cara yang mudah untuk mencirikan atau menandai orangutan yang bersangkutan, yaitu dengan mengetahui perilaku dan ciri-ciri mereka, serta yang penting adalah daerah jelajahnya. Orangutan betina memiliki daerah jelajah yang berlainan, walaupun kadang-kadang mereka bertemu dan daerah jelajahnya tumpang tindih. Bila dilihat dari daerah jelajahnya dan ciri-ciri serta perilakunya, hampir 90 % dapat dipastikan orangutan yang bersangkutan adalah memiliki nama si A, misalnya.

Orangutan liar yang ada di dalam kawasan areal studi di Taman Nasional Tanjung Puting sudah diteliti perilakunya sejak tahun 1971. Dari pola perilaku, misalnya marah bila bertemu manusia dengan mengeluarkan kissquick, mematahkan ranting pohon atau yang cuek karena sudah biasa diikuti untuk dicatat perilakunya, dsb telah diketahui setiap individu orangutan liar dari ciri-ciri dan daerah jelajahnya.

Ada kalanya keluarga orangutan yang sudah besar dan sudah mandiri baik jantan maupun betina nampak bersahabat bila bertemu dengan induknya. Kadang makan pada satu pohon yang sama malah beberapa kali mereka duduk berdekatan dan saling mengutui (groomming).

Agak sulit untuk mencirikan orangutan jantan. Berbeda dengan betina yang memiliki daerah jelajah dan jarang keluar daerah jelajahnya, orangutan jantan daerahnya tak terbatas, mereka mengembara kemana saja dan jarang sekali menetap. Ada beberapa yang menetap khususnya bila jantan tersebut merupakan penguasa daerah tersebut, sebelum ada jantan lain yang dapat “melengserkan” dari kawasan yang dikuasainya. Penguasaan daerah terutama untuk pasangan ataupun makanan.

Untuk itulah ada beberapa kendala dalam meliarkan kembali orangutan bekas peliharaan, khususnya bagi orangutan betina. Karena di setiap daerah sudah ada orangutan betina yang menjelajahi daerah tersebut, sehingga orangutan rehabilitasi tak dapat menetap pada daerah tertentu dan pengembaraannya cukup luas, bahkan sering kembali ke kamp.

Berbeda dengan orangutan jantan rehabilitasi, seperti halnya orangutan jantan liar, mereka bila telah menginjak remaja akan mengembara. Apalagi bila sudah saatnya berpasangan dan mendapatkan pasangan, mereka akan meninggalkan kamp. Atau bila dalam hutan yang berdekatan dengan kamp ada penguasa orangutan jantan yang berkuasa atau “rajanya”, maka jantan-jantan muda inipun menyingkir. Menurut pengalaman individu jantan lebih mudah liar dan mandiri dalam usaha meliarkan orangutan.

Namun, kadang-kadang jantan bekas rehabilitasi dapat mengecoh peneliti bila bertemu dengan orangutan di dalam hutan. Mulanya seperti orangutan liar dengan beberapa perilakunya. Akan tetapi, setelah beberapa hari diamati, dia menghampiri si peneliti. Beberapa kali saya dikecoh dengan individu semacam ini. Mulanya saya kira orangutan liar jantan remaja karena menunjukkan perilaku yang tidak bersahabat dengan manusia. Namun, setelah hari ke empat saya amati terus dari pagi hingga petang ketika saya membuka bekal untuk sarapan pagi, tahu-tahu dia turun dan menghampiri saya untuk minta makan. Wah, ketipu.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.