31 Oktober 2008
Yang Kuat, Yang Berkuasa
YANG KUAT YANG BERKUASA.
Pertandingan Sumo atau gulat ala Jepang cukup seru untuk ditonton. Dua manusia `gendut` menggunakan cawat adu kekuatan saling berhadapan dan berusaha saling menjatuhkan. Siapa yang jatuh dan tak berkutik lagi, dialah yang kalah.
Sumo alias gulat yang dilakukan oleh orangutan jantan dewasa tak kalah serunya. Dua raksasa rimba ini umumnya berkelahi merebutkan pasangan atau mempertahankan kekuasaan pada suatu daerah. Atau kadang-kadang ada jantan yang mencoba lawan tanding dengan jantan penguasa yang tak terkalahkan.
Biasanya jantan yang ingin mencoba kesaktiannya itu jantan-jantan muda yang akan menginjak dewasa, mulanya saat masih `ingusan’ pernah dikalahkan oleh jantan penguasa.
Ambil contoh di lokasi Rehabilitasi Tanjung Puting. Penguasa selalu berganti-ganti pada suatu saat. Apabila belum ada jantan yang mengkudeta dan memaksa untuk “lengser” maka sang penguasa akan tetap bercokol pada suatu tempat kekuasaannya.
Memang tanpa `promotor` dia akan mempromosikan dirinya sendiri dengan suara lengkingan panjang (long call). Suara jantan dewasa ini bisa menggema ke seantero belantara. Kita dapat mendengarkan hingga jarak 5 km lebih bila sang penguasa sedang bersenandung.
Maka bagi jantan-jantan yang merasa dirinya belum terkalahkan atau yang berkuasa pada tempat tersebut atau jantan muda yang ingin menjajal `kekuatan` akan mendatangi asal suara tersebut.
Lain halnya dengan jantan yang tak punya `nyali`, yang hanya berani dengan anak kecil, orangutan betina, jantan yang pernah kalah atau jantan yang tak punya kekuatan lagi karena usianya telah lanjut, akan menjauhkan diri dari suara `long call` tersebut. Malah ada jantan yang saking takutnya saat sedang makan di pohon langsung turun ke tanah, lari terbirit-birit dan terkencing-kencing menjauh.
Pernah kejadian sekali pada orangutan liar. Rupanya `sang jagoan` tanpa bersuara mendekati orangutan yang sedang makan. Sang jagoan langsung melabrak dan mengejarnya hingga dapat. Orangutan yang sedang makan, tidak mempunyai cukup waktu lagi untuk menghindar. Memang ukurannya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan sang jagoan.
Mungkin saking takutnya, hingga berak dan kencing, sambil teriak dan menangis serta menjerit. Jantan yang baru datang tak memberi ampun, terus mengejar dan menggigit. Satunya berusaha menghindar, tetapi keburu kakinya tertangkap. “Maaf tuan mohon ampun. Saya tak sengaja memasuki wilayah tuan. Saya akan segera meninggalkan daerah ini. Sekali lagi mohon ampun”. Kira-kira seperti itu bila diterjemahkan dalam bahasa manusia.Hanya orangutan saja yang mengetahui bahasanya.
Tak lama sang jagoan membiarkan lawannya pergi meninggalkannya. Secepat kilat merosot dari pohon dan turun ke tanah, lari sekencang mungkin dan lenyap di kelebatan rimba.
Lain halnya bagi para gadis atau orangutan betina yang sedang `estrus` bila mendengar suara jantan justru akan mendekati. Memang suara jantan tersebut selain mempromosikan diri, juga berfungsi memanggil orangutan betina yang memasuki masa birahi.
Bila suatu saat, antara jantan sudah bertemu muka sesama jantan yang mempunyai nyali, maka perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Dua-duanya saling berhadapan persis seperti pertandingan sumo dan saling menunjukkan taringnya yang tajam. Lantas bila jurusnya sudah siap, saling bergumul dan menggigit. Satu lengah, satu menubruk. Tak sungkan-sungkan menyerang dari belakang, siapa yang sigap dan cekatan, dialah yang bisa melukai lawannya.
Maka tak heran jantan-jantan jagoan sering terlihat banyak mempunyai cacat. Seperti jarinya patah atau tak bisa dibengkokkan, bantalan pipinya robek, matanya buta sebelah atau bibirnya sumbing atau bagian tubuh lain cacat dan bekas luka.
Ada juga jantan yang mempunyai sifat ksatria. Lebih baik mati daripada tunduk dan menyerahkan predikat penguasa kepada jantan lain. Dia bertempur hingga titik darah penghabisan. Sekali pernah diketemukan bangkai orangutan jantan yang mati dan penuh luka, diperkirakan habis berkelahi. Ada juga jantan yang belum pernah berkelahi atau malah penakut.
Pertarungan penguasa hutan ini memang sungguh menarik bila beruntung bisa menemui dan menyaksikan. Seperti pertarungan antara CURLY dan Zoro yang kebetulan berada di seputaran kamp.
Pertunjukan pada tahun baru 1984 itu banyak mengundang para penghuni kamp (manusianya bukan orangutan) untuk menyaksikan.
Mulanya CURLY sedang asyik berpasangan dengan orangutan betina. Datanglah Zoro jantan yang masih muda mungkin ingin mendekati betina yang ada kamp. Namun, di kamp sudah ada sang penguasa, dialah CURLY.
Maka perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Seru, saling memukul bergumul. Zoro mau naik ke pohon, CURLY menarik dari bawah dan bergumul lagi. Saling kejar-mengejar mencari areal yang lapang dan gulat lagi. Pohon kecil banyak yang roboh dan patah diterjang manusia hutan yang sedang bertanding.
Rupanya Zoro kalah pengalaman dalam hal bertarung. Zoro belum benar-benar KO, hanya kabur untuk sementara. CURLY terus mengejar hingga benar-benar sudah jauh. Sang penguasa akhirnya kembali lagi ke pasangannya. Itulah orangutan yang berusaha melestarikan kekuasaanya.
27 Oktober 2008
Dokter Where are You ?
DOKTER OH DOKTER WHERE ARE YOU ?
Waktu itu ada sekitar 25 ekor orangutan yang ada di karantina, belum lagi di Tanjung Harapan, Beguruh dan di Kamp Leakey. Semuanya perlu pengawasan baik yang besar ataupun yang masih bayi, yang sudah liar kadang kembali ke kamp atau yang masih di dalam perawatan.
Pekerjaan rutin dilakukan setiap hari oleh semua karyawan. Membersihkan kandang, mengobati yang masih sakit, memberikan vitamin bagi yang dalam perawatan dan membuatkan susu dalam botol bagi anak-anak yang masih kecil. Pagi dan sore hari memberikan makan berupa buah-buahan atau nasi baik yang ada di karantina ataupun di dalam hutan bagi orangutan yang berada di kamp. Kegiatan lain, mengikuti ke hutan bagi orangutan yang masih perlu diambil datanya, seperti setelah melahirkan, sedang berpasangan atau perilaku lain yang belum banyak diketahui. Baik bagi orangutan liar atupun rehabilitasi.
Penyakit kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Saat terjadi musim kering yang cukup panjang, beberapa orangutan terpaksa dibius untuk diobati. Penyakitnya sangat membahayakan bagi orangutan. Kulitnya terserang jamur pada sekujur tubuh, kadang sudah bau anyir. Yuni, nama orangutan di Camp Leakey yang saat itu sudah mempunyai anak, tak luput terserang penyakit ini. Karena sudah dewasa dan kuat, Yuni sulit untuk diobati, terpaksa dibius, dimandikan dan diobati. Memang tak memerlukan waktu lama, yang sudah sekali diobati kurang dari seminggu menunjukkan gejala yang membaik.
Saya selalu berputar dari satu tempat ke tempat lain. Sesekali orangutan harus saya bawa ke dokter hewan Windarto untuk pengobatan. Untunglah Pak Win sangat interest terhadap kerja semua staf proyek orangutan dalam melakukan penyelamatan orangutan. Bila Pak Win sedang tugas ke pedalaman, maklumlah hanya Pak Win satu-satunya dokter hewan yang ada di Kotawaringin Barat saat itu dan Pak Tiono, dokter umum manusia dari Rumah Sakit Pangkalan Bun sangat membantu dalam memberikan pengobatan bagi orangutan.
Repotnya kalau beliau-beliau tak ada dan orangutan yang sakit berada di tengah hutan atau bila waktunya pemberian vaksinasi atau pemberian obat cacing tiba, terpaksalah saya harus ke hutan, menuju tempat orangutan berada.
Biasanya panggilan tiba-tiba ini terjadi bila ada orangutan yang memperlihatkan gejala sakit. Harus disiapkan semuanya, kalau perlu konsultasi kepada dokter. Speed boat selalu siap setiap saat kalau ada panggilan. Tak peduli pagi, siang, sore atau tengah malam. Siap berangkat.
Pagi itu masih terasa dingin. Kabut tebal di musim kemarau yang bercampur dengan asap kebakaran hutan masih menyelimuti seluruh kota. Pak John mengantarkan sampai di Kumai, kemudian disambung dengan speed boat.
Suara yang nyaring dari mesin tempel memecahkan keheningan pagi, melaju dengan cepat membelah kabut dan Sungai Kumai. Sungai Sekonyer yang berkelok-kelok seolah-olah tak terasa bahwa kami berpacu dengan waktu untuk segera memberikan obat pada orangutan yang terserang muntaber. Burung dan semua satwa yang ada di hutan seolah enggan bangun di pagi yang masih berkabut campur asap ini.
Lebih kurang 45 menit sampai di Tanjung Harapan. Ambil ransel, setengah berlari aku menuju tempat menyimpan sepeda butut yang berada di balik semak belukar menuju Kamp Beguruh yang ada di tengah hutan. Aku harus menaiki sepeda ini melintas di tengah hutan lebih kurang 7 km. Sesekali aku turun untuk memikul sepeda saat melewati akar, pohon roboh atau rawa kecil yang berada di sepanjang jalan.
Setelah hutan dan rawa kecil terlewati, aku mesti menelusuri padang ilalang sejauh mata memandang. Aku jadi ingat, seperti seorang dokter hewan di sebuah film Australia yang terbang sana sini atau menggunakan kendaraan melakukan tugas dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengobati. Tapi aku kini di tengah rimba raya Kalimantan, menggunakan sepeda tua, kadang-kadang saat digenjot pedalnya berbunyi atau rantainya lepas karena di makan usia, tidak pernah diberi minyak pelumas, atau kadang-kadang harus menabrak pohon dan semak saat menikung di turunan dan remnya blong. Tapi semua pekerjaan ini aku lakukan dengan senang. Menikmati hidup, menikmati karunai Tuhan dan membantu menyelamatkan salah satu makhluk Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup. Karena habitatnya yang berupa hutan tropik kian menipis dan pemburuan untuk binatang peliharaan masih dilakukan.
Lamunanku buyar saat kudengar suara-suara anak-anak orangutan saat diberi minum susu di pagi hari. Segera aku “parkir” sepeda tua pada sebuah pohon dan mempersiapkan segalanya untuk melakukan “pemeriksaan” ala dokter. Aku mencoba melihat raut wajahnya, perutnya kembung, detak nafas masih stabil. Saran dari dokter, kalau ada tanda-tanda yang aku temukan pada orangutan, harus kuberikan obat tertentu. Selain itu, aku selalu membawa buku pegangan “bila dokter tak ada” sebagai buku pintar dalam memberikan pengobatan. Walaupun buku itu untuk manusia, orangutan sudah saya anggap sebagai manusia karena semua penyakit yang di derita berasal dari manusia juga.
Begitulah kerja “dokter karbitan” yang mondar-mandir ke sana kemari untuk memberikan pengobatan kepada orangutan. Sesekali harus memegang tangan orangutan memeriksa detak nadi, menggunakan stetoskop untuk mendengarkan detak jantung atau di depan mikroskop untuk melihat kotoran, apakah ada penyakit, bakteri atau cacing yang berada pada perut orangutan.
Untunglah aku mempunyai dasar-dasar tentang mikrobiologi saat menjadi “anak sekolahan” di Fakultas Biologi Unas. Hampir semua penyakit yang diderita pada orangutan, khususnya sitaan, tertular dari manusia. Hal ini dibuktikan bila ada orangutan meninggal. Aku selalu konsultasi dengan dokter hewan untuk mengotopsinya. Kadang kalau terpaksa aku lakukan otopsi sendiri, mengambil bagian tubuh, atau jeroannya, yang dicurigai adanya infeksi. Kadang orangutan mati karena di dalam perutnya penyuh dengan berbagai jenis cacing, malah pernah ada orangutan yang baru diterima, mati, dan cacingnya keluar dari lubang hidung, ngeri juga. Atau ada juga penyakit yang yang sudah kronis. Misalnyan hati yang sudah bengkak, merah terinfeksi, atau paru-paru yang sudah oenuh dengan cairan, serta banyak bintik-bintik merah dan teridentifikasi sebagai penyakit bronkhitis.
Masih banyak berbagai penyakit yang diderita orangutan, malah ada satu kasus yang belum diketahui saatitu, yaitu orangutan tiva-tiba mati mendadak. Pada hal badan sehat, semua organ tubuh bagus tak ada tanda-tanda terinfeksi, cacing bersih tak ada bahkan telurnyapun tak nampak, kotoran normal. Kemudian karena mecurigakan, daimbilah organ otaknya, dan diambil untuk sampel dan akan dikirim ke Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, tempak Pak Win menimba ilmu. Namun entah belum ada khabarnya saat itu, penyakita apa yang menyerang orangutan.
Kemudian aku beroikiran, apa jadinya kalau suatu penyakit menular pada manusia, dan menular ke orangutan. Terus menular kembali ke manusia, bisa jadi susah diobati. Karena konon khabarnya penyakit HIV yang ada pada manusia berasal dari minyet juga.
Seperti itulah sebuah pengalaman menjadi “dokter karbitan” yang dipaksa untuk menjadi tenaga kesehatan bagi oranmgutan. Namun dengan keadaan seperti itu, tak ada dokter hewan, harus mau belajar dan belajar menjadi “tukang pemberi obat”. Untunglah beberapa dokter menularkan ilmunya tentang berbagai jenis penyakit, cara mengobati, ciri-ciri kepada saya waktu otu. Aku bersyukur bisa menimba ilmu dan membantu memberikan obat kepada orangutan yang sakit, berkat pengetahuan yang aku peroleh dari orang yang memang dokter hewan. Seperti Pak Win, Doktor Jill Kusba dari AS ataupun “dokter penyakit manusia” seperti Pak Tiono.
(Foto : aku dan Yan Suryana di Camp Leakey, bersama salah satu pasien)
Ketagihan Alkohol
KISAH ORANGUTAN PEMABOK
Manusia dan bangsa kera, contohnya orangutan, ternyata mempunyai beberapa kemiripan dalam hal perilaku. Oleh karenanya, bangsa kera sering dijadikan obyek penelitian atau dijadikan hewan percobaan yang ada kaitannya dengan penyakit manusia. Satu contoh perilaku, kalau orangutan ketagihan alkohol.
Adalah Toto, nama orangutan jantan remaja, sebelum kami rawat merupakan binatang kesayangan salah seorang tenaga kerja asing dari Perancis yang bekerja pada sebuah perusahaan minyak di Kalimantan Timur. Menurut ceritera `perawatnya`, Toto sudah biasa minum minuman yang mengandung alkohol seperti apa yang diminum `tuannya` yang sering minum minuman keras. Kemanapun Toto pergi, ke dapur atau kamar, yang dicari hanyalah Beer, tak ada Beer, anggurpun jadi atau minuman keras buatan luar lainnya. Begitu melihat barisan botol aneh, langsung ditenggak habis, kadang sampai `teler`.
Setelah Yan Suryanan membawanya ke Pangkalan Bun akhir tahun 1989, Toto mempunyai perilaku yang lain. Sering murung, diam tak ada nafsu bermain, mudah tersinggung, kalau didekati temannya untuk bermain langsung akan menggigit, nafsu makan nyaris tak ada, dan badan semakin kurus. Kotoran diperiksa, tak ada cacing ataupun telur di dalam fecesnya. Beberapa buah-buahan dicoba diberikan, ditampiknya. Jajanan pasar hanya dicium, lantas dicampakkannya, roti atau kue yang mungkin menjadi makanan pokoknya ketika jadi anak angkat orang asing dicicipi saja tidak.
Akhirnya Drh Windarto memberikan obat perangsang makan untuk sapi pada Toto. Satu hari, belum kelihatan. Hari berikutnya, seperti kesetanan, Toto melahap segala makanan yang diberikan, kadang susu sebotol Aqua, 1,5 liter habis ditenggaknya.
Sedikit demi sedikit Toto mulai sembuh dari ketagihan alkohol. Mulai mau bermain sama kawan-kawan `senasib` di hutan, bercanda kuli, bergumul sumo ala orangutan, mulai bermain di pohon, membuat sarang walau belum sempurna, cari makanan di hutan waktu dilatih hidup mandiri di rimba.
Setahun sudah Toto dalam asuhan. Awal tahun 1991 tatkala buah kerantungan (durian hutan yang ada beberapa jenis) melimpah ruah di hutan, Toto meninggalkan Kamp Leakey berkelana di rimba. Dua kali karyawan berjumpa, dia sedang asyik makan durian yang berserakan di dasar hutan.
Mungkin `hobi` Toto menenggak alkohol tersalurkan kembali atau ketagihan, saat mencicipi durian yang gratis. Durian yang baunya harum menyengat dan bisa buat orang `teler`. Toto pun tak mau datang lagi ke kamp. Mungkin selalu menunggu, kapan buah durian tiba lagi.
Ah…kau TO ! Ada-ada saja, jangan sampai ketagihan durian, soalnya durian berbuah setiap 3 tahun sekali. Selamat jalan TO!.
26 Oktober 2008
Bendera Setengah Tiang
BENDERA SETENGAH TIANG
Oleh : Edy Hendras Wahyono.
Ngadimun masih memandang bendera yang dipasang di halaman rumahnya yang sempit di sebuah desa pinggiran hutan itu. Dia ingat benar kakaknya Ngadiman saat merobek bendera merah putih biru, benderanya kompeni, yang dirobek warna biru dengan arit alat untuk mencari rumput, sehingga hanya merah putih saja yang ada. Dengan merobek bendera itu, dua kawannya tertembus peluru, dan Ngadiman lari pontang panting memasuki hutan dengan hujan peluru yang mendesing. Tuhan masih melindungi nyawa Ngadiman, karena terperosot ke tebing, dan para kompeni mengurungkan untuk mengejar, ekstrimis-ekstrimis itu.
Ngadimun ingat juga, ketika dengan aritnya, memutuskan jembatang bambu yang melintas ke desanya, yang melintang Kali Gede dan menghubungkan dua tebing yang menuju ke Desa Gondang Legi, agar para pejuang yang bermarkas di desanya selamat. Kemudia lari pontang-panting untuk memberikan berita kepada komandan Mardi agar bersembunyi di hutan sebelah, karena kompeni telah mencium markas persembunyian.
Maka tak salah kalau Ngadimun mengibarkan bendera setengah tiang, saat kakaknya Ngadiman meninggal dunia, karena penyakit yang menyerang tubuhnya yang kerempeng, kurus kering, tak terurus, karena keadaan di desanya yang benar-benar minus. Ngadimun menganggap kakaknya seorang pahlawan sejati bagi keluarga, yang menyelamatkan keluarga, desa dan negaranya saat itu yang sedang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik tercinta ini.
Anak-anak muda yang berlalu lalang melewati rumah Ngadimun, mungkin terheran-heran. Tak ada pengumuman di televisi, di radio ataupun di surat kabar, bahwa hari ini ada seorang pahlawan yang meninggal dunia. Atau bukan pula memperingati hari besar nasional, atau hari berkabung nasional, namun di rumah gubug reyot terkibar bendera setengah tiang, dengan bendera merah putih yang sudah lusuh, dan ukurannyapun tidak simetris sesuai dengan aturan yang ada.
“ Pak De, ini beras titipan emak, untuk selametan 3 harinya Pak De Ngadiman nanti malam”, sapa Jasmin keponakannya yang membubarkan lamunan Ngadimun mengenang kakaknya yang tercinta yang meninggal hari Sabtu Wage, 2 hari yang lalu.
“ Oh iya Jas, nanti malem pada datang kan. Yasinan mendoakan Pak De mu semoga arwahnya mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan amal dan ibadah nya”, jawab Ngadimun.
“Wah ya jelas pak de. Malah Bapak nanti malam mau ngajak Pak Lik Ngadiyoyang kebetulan hari ini datang juga, dan teman-temanya seperti pak ustadz guru ngaji saya dulu waktu masih sekolah rakyat”, jawab Jasmin.
“Syukurlah” jawab Ngadimun singkat.
“Pak De, Pahlawan siapa yang meninggal hari ini, kok mengibarkan bendera setengah tiang”, Tanya Jasmin sambil mengamati bendera merah putih yang lusuh itu.
“Ya Pak De mu Ngadiman to le. Dia itu kan pahlawan sejati bagi keluarga kita, desa kita, mungkin malah negeri kita.” jawabnya singkat sambil berdiri dan menghampiri tiang bendera yang diikat di pagar bambu yang reyot itu.
“Coba perhatikan. Bendera ini menelan korban dua orang teman ngaritnya pakdemu Ngadiman. MasÃh ada sisa sobekan biru, bendera kompeni. Warna biru disobek, dan tinggal dua warna merah dan putih saja”.
‘Tapi Pak De, seorang pahlawan kan harus ada pengakuan dari negara, pemerintah atau anggota DPR”, tanya Jasman dengan lugunya.
“Aku nggak peduli dengan pengakuan mereka. Kalau masyarakat desa ini, pemerintah negeri ini, atau anggota dewan yang duduk di Jakarta sana nggak mengakui, tak apa. Tetapi hati yang paling dalam dari pak De mu ini, mengakui, bahwa Pak De mu Ngadiman adalah seorang pahlawan. Seorang yang banyak jasanya. Tidak perlu dikubur di Taman Makam Pahlawan, tidak perlu surat keputusan, tidak perlu tanda jasa. Tapi Pakde mu berjuang tulus ikhlas. Sebagai tukang ngarit yang kerjaannya mengumpulkan rumput, mengembala kambingnya ndoro sinder dan mengetahui ada kompeni yang memusuhi pejuang, rasa patriotnya tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan pejuang”, Ngadimun berhenti sejenak dan duduk kembali di bangku reot sambil mengeluarkan tembakau dan klobot untuk membungkus, dan menyalakan api, dan menghisap dalam-dalam.
Jasman yang putus sekolah rakyat dan kini hanya bekerja sebagai pesuruh di sekolah dasar negeri satu-satunya di desa itu, hanya duduk diam. Jasman yang biasa menaikan dan menurunkan bendera tak ada perintah dari kepala sekolah untuk menaikkan bendera setengah tiang, oleh karena itu Jasman, ingin tahu mengapa Pak De Ngadimun, sejak meninggalnya Pak De Ngadiman, memasang bendera setengah tiang.
“Jas ….”, kata Ngadimun memecahkan keheningan sejenak. “MasÃh banyak Ngadiman-Ngadiman di negeri ini. Dari ujung barat hinggai timur, yang mengalami berbagai peperangan untuk mempertahankan negeri ini. Mereka hidup tak terurus, apa adanya. Nasibnya macam-macam, dan hidupnya serba kesusahan. Tapi Pakde mu tegar, jiwa pejuangnya masih tersimpan di dalam dada, pantang menyerah untuk mengarungi hidup ini, Pakde mu tak pernah membuat surat atau permohonan agar diakui menjadi pejuang. Walaupun tak ada tanda jasa, pengakuan dari negara, tapi dia tetap hidup dan berjuang untuk menyambung nyawa demi sesuap nasi”, kata Ngadimun berapi-api. “Pak De mu Ngadiman juga demikian, walau sebagai tukang ngarit sepanjang hidupnya, hingga mengakhiri hayatnya, masih mencari rumput, menghidupi ternak peliharaan orang, dia pantang menyerah, hanya untuk sesuap nasi, bertahan hidup”.
Jasman tak terasa menitikkan air matanya, mengenang nasib para pejuang seperti Pak de nya, yang sehari-hari membawa keranjang rumput ke pinggir hutan yang semakin menyempit. Karena dibabat diambil kayunya, dibuat ladang dan perkebunan. Pernah sekali bertemu seminggu sebelum meninggal, Pak De Ngadiman yang masih memperlihatkan raut wajah yang keras, pantang menyerah, walau jalan tertatih tatih karena ditelan usia, mengatakan, bahwa jaman dulu, tak pernah ada banjir dan tanah longsor di desa ini, karena hutannya aman, Seperti Kali Gede yang dulu jernih, kemarau dan musim hujan tak pernah kering dan banjir. Namun kini, kali yang merupakan hulu Waduk Kedungombo itu kering kerontang, dan yang nampak hanya batu cadas yang mencuat, sedangkan pasir dan batunya lenyap digali dan ditambang.
“Sudahlah Jas, sana ke sekolah. Anak-anak penerus negeri ini yang akan menimba ilmu sudah terlihat berangkat. Nanti kamu kesiangan. Cintailah pekerjaanmu. Kamu juga seorang pejuang yang setiap pagi menyiapkan segalanya untuk anak-anak belajar. Dan guru-guru itu yang memberikan ilmu.”, perintah Ngadimun kepada keponakannya Jasman.
Ngadimun memandang, keponakan satu-satunya yang betah tinggal di desa ini, mencurahkan tenaga dan pikiran untuk desa yang jauh dari keramain kota. Jasman mencium tangan Pakde nya, dan mengucapkan salam, sebelum melangkah menuju ke sekolah.
Dan, Jasman diluar kesadaran saat menaikkan bendera merah putih. Setelah dikerek sampai ujung atas, kemudian menurunkan kembali setengah tiang. ”Aku menghormati Pak De ku yang meninggal. Kalau ada orang yang bertanya, mengapa setengah tiang. Aku akan menjawab, seperti apa yang telah dijelaskan Pak De Ngadimun, Bahwa pakde ku Ngadiman tiga hari yang lalu meninggal, dan tak ada yang peduli siapa sebenarnya Pak De Ngadiman”, katanya lirih dalam hati.
23 Oktober 2008
PERKOSAAN PADA ORANGUTAN
Cerita Nomor 8.
PERKOSAAN.
Istilah perkosaan, tidak hanya ada dalam kamus bahasa manusia. Arti kata ini lebih kurangnya adalah merebut atau meminta secara paksa. Salah satu cirinya akan menunjukkan penolakkan atau perlawanan sekuat mungkin. Kalau sudah kehabisan tenaga, biasanya si korban hanya bisa berteriak jika masih mampu, kalau tidak hanyalah pasrah.
Dengan ciri tersebut kita bisa menduga, bahwa perkawinan secara paksa yang dilakukan pada orangutan dapat dikatakan pemerkosaan. Memang kata perkosaan, hanya ada pada manusia, kita menduga kalau hal itu terjadi pada manusia, kita akan menggunakan istilah perkosaan atau pemaksaan.
Khusus pada orangutan, memang hal seperti di atas sering terjadi. Dari perlakuan tersebut kita bisa menyimpulkan kejadian itu terjadi pada hewan jantan dan betina. Sebab sering terjadi jantan dewasa yang lebih tua atau perkasa mengejar jantan-jantan muda atau lemah.
Jantan tersebut menyerang dan melukai individu lain. Akan tetapi pada perkosaan si jantan jarang sekali melukai betina, dia hanya menginginkan kepuasaan saja.
Pelaku `pemerkosaan` kebanyakan dilakukan oleh jantan-jantan remaja terhadap betina remaja atau betina muda yang telah mempunyai anak. Jantan dewasa jarang melakukannya, sebab jantan dewasa tidak mau mendekati betina yang masih menggendong anak atau dalam keadaan hamil. Biasanya jantan ini lebih dahulu mencium kemaluan betina sebelum melakukan perkawinan. Masih santun.
Akan tetapi, pernah sekali kejadian jantan dewasa memperkosa betina yang sedang hamil tua. Kejam juga. Jantan dewasa yang bernama `CURLY` ini merupakan jantan liar yang sering datang ke kamp, di mana banyak orangutan betina.
Beberapa betina yang ada di kamp, rupanya belum ada yang datang birahinya. Ada yang masih remaja, ada yang mempunyai anak kecil, dan ada pula yang sedang hamil tua. Kalau belum waktu kawin tiba, maka umumnya semua takut mendekat jantan. Tapi kalau sudah waktunya birahi justru kebalikan, betina mengejar jantan.
Semua betina menghindar bila didekati CURLY dengan cekatan pindah pohon. Betina ini lebih lincah dalam bergerak dibandingkan dengan jantan karena betina mempunyai tubuh dan ukuran berat yang besar, hampir separuh dari ukuran jantan. Dan CURLY kalah cekatan dengan ‘perempuan hutan` ini.
Namun, ada betina yang lambat pergerakannya karena sedang hamil tua, antara 8-9 bulan. CURLY pun mendekatinya. Mulanya betina yang bernama Siswoyo ini menghindar, tetapi gerakannya tidak lincah dan keburu tertangkap kakinya. CURLY lansung ngerjain Siswoyo.
Kedua kaki Curly memegang kaki Sis dan kedua tangan Curly memegang tangan Sis (panggilan akrab Siswoyo). Siswoyo teriak dan berontak berusaha melepaskan diri, namun tak kuasa, kalah kuat. Siswi, anak semata wayang Sis yang tak tega melihat orangtuanya diperlakukan seperti itu, langsung membokong dari belakang dan menggigit tangan CURLY. Namun Siswi si kecil yang bandel ini, sempat kena pukul, kesakitan dan menangis. Tapi langsung menyerang lagi berusaha melepas tangan jantan `biadab` tadi yang mencengkram tangan induknya.
Sementara induknya meronta dan berteriak, CURLY dengan santainya melampiaskan nafsu birahinya. Kejadiannya begitu cepat. Kurang dari 5 menit. Siswoyo dan Siswi kemudian lari meninggalkan CURLY yang duduk tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tanpa merasa berdosa.
Jantan remaja, baik liar maupun rehabilitasi, sering melakukan pemerkosaan. Sekali pernah saya lihat kejadian yang sangat unik. Nampaknya diawali karena kekesalan dari sang pemuda terhadap pasangannya yang hendak selingkuh.
Sang pemuda sudah 3 hari berpasangan, kemanapun selalu berdua. Makan, pindah pohon bahkan tidurpun selalu membuat sarang yang berdekatan atau dalam pohon yang sama. Pada hari keempat, dalam pacarannya, ketemu dengan jantan lain, yang lebih besar dan mungkin menurut pandangan orangutan betina, lebih cakep. Pasangan yang semula kalah perkasa, selain ukuran tubuhnya yang lebih kecil, rupanya jantan pasangannya penakut tak punya nyali untuk melindungi kekasihnya. Begitu melihat datangnya jantan yang perkasa, mengundurkan diri sebelum bertanding.
Rupanya jantan yang baru datang tak menyukai betina dihadapannya yang sebelumnya berduaan dengan jantan lainnya. Walaupun nampaknya sang dara `ngebet` sekali dan mengikuti terus kemana pergi. Di dalam perjalanan jantan bertemu dengan dara manis dari hutan, iapun pergi menjauh dan mendekati betina yang baru diketemukan.
Sang pemuda pertama, pasangan gadis tadi, rupanya selalu menguntit kemana kekasihnya pergi. Begitu jantan pendatang sudah jauh, sang pemuda dengan cepatnya pindah pohon mengejar sang gadis. Tanpa ampun lagi, gadisnya dikerjain habis-habisan. Betina remaja tak berdaya di bawah kekuasaan jantan yang sedang kesetanan. Berkali-kali gadis berontak, menggigit tangan jantan, tetapi jantan lebih kejam perlakuannya, balas menggigit. Akhirnya, sang kekasih pasrah setelah dipepetkan pada celah pohon besar.
Begitu besar nafsu jantan remaja untuk membalas sakit hatinya karena sang kekasih ingin meninggalkan dia pergi ke jantan lain. Setelah merebut “buah terlarang”, jantan inipun pergi meninggalkan betina remaja yang duduk termenung di dahan.
Ah..ada-ada saja peri kehidupan ini.
22 Oktober 2008
MALARIA PADA ORANGUTAN
Ceritera Nomor 11.
MALARIA PADA ORANGUTAN.
Penyakit Malaria yang disebabkan oleh virus plasmodium yang hidup pada sel darah merah dan disebarkan oleh nyamuk, dapat ditemukan pada bangsa mamalia seperti manusia dan bangsa monyet atau kera. Kecuali Plasmodium berghei dan Plasmodium vinckei yang ditemukan pada tikus Afrika yang disebarkan oleh binatang mengerat.
Pada bangsa kera, penyakit malaria yang disebabkan oleh plasmodium, hampir mirip dengan plasmodi um yang hidup pada sel darah merah manusia. Misalnya Plasmodium rodhaini yang menyerang simpanse, mirip dengan Plasmodium malariae yang menyerang manusia. Atau Plasmodium vivax pada manusia, mirip dengan Plasmodium cynomologi pada bangsa kera. Sedangkan pada orangutan yang selama ini dilakukan penelitian, baik pada orangutan liar, peliharaan atau di kebun binatang, telah diketemukan 2 jenis plasmodium, yaitu Plasmodium pitheci dan Plasmodium silvaticum. Dan keduanya belum ada penelitian apakah kedua malaria yang menyerang orangutan mirip dengan plasmodium yang menyerang pada manusia, misalnya Plasmodium vivax, Plasmodium malariae atau Plasmodium falciparum.
Ini mungkin merupakan informasi baru, dan perlu penelitian lebih lanjut, bahwa orangutan rehabilitasi di Taman Nasional Tanjung Puting yang merupakan hasil sitaan dari masyarakat, terserang malaria. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium di RS Pangkalan Bun, ternyata darah orangutan tersebut ditemukan Plasmodium vivax yang hidup pada manusia. Dengan gejala penyakit pasien panas setiap sore dan panasnya mencapai 39 derajat celsius, badan lemas, nafsu makan kurang dan keinginannya hanya tidur. Merupakan tantangan baru bagi ahli parasit maupun primata.
20 Oktober 2008
CEMBURU YANG BERLEBIHAN
Ceritera Nomor 7.
CEMBURU YANG BERLEBIHAN.
Istri mencemburukan suami atau sebaliknya, itu biasa. Atau seorang pacar cemburu terhadap pasangannya, sering kita dengar, khususnya pada manusia. Atau perkelahian binatang yang sejenis, umumnya pada jantan, untuk memperebutkan betina, atau jantan mengusir jantan lain untuk melindungi pasangannya, sudah umum dan hampir terjadi pada setiap jenis binatang.
Tapi kalau binatang mencemburui manusia itu aneh, yah tak mungkin kalau manusia beradab sampai jatuh cinta beneran sama binatang. Tapi ini benar-benar binatang cemburu kepada manusia. Sungguh, memang satwa satu ini, yang konon 90% dekat kekerabatannya dengan manusia ini benar-benar sudah jatuh cinta kepada manusia, itulah orangutan.
Adalah Supinah, nama orangutan betina penghuni Kamp Rehabilitasi, memang telah lama akrab dengan semua karyawan. Supinah hanya suka dengan karyawan lelaki, baik bermain dan bercanda, dan tak suka sama sekali dengan karyawan perempuan. Kalau ketemu perempuan pinginnya selalu menyerang tak peduli karyawan itu yang setiap hari ketemu ataupun pengunjung yang datang. Kecuali perempuan kulit putih. Entahlah.
Ceritanya begini. Salah seorang karyawan telah lama akrab dengan semua orangutan yang ada di kamp, termasuk Supinah. Supinah sering diamati perilakunya, hampir setiap hari. Memang orangutan satu ini mempunyai perilaku yang macam-macam dan cerdik di antara kawan-kawannya dalam beberapa hal. Supinah bisa mengerjakan sesuatu, bila melihat yang dikerjakan karyawan. Misalnya mencabut rumput, menggergaji kayu, atau membersihkan rumput dengan cangkul atau mencuci baju di jembatan.
Suatu ketika, karyawan yang “diakrabi” Supinah tadi nikah dan istrinya diajak ke kamp. Rupanya istri sang karyawan belum bisa akrab dengan `nenek moyang` ini.
Supinah yang tidak tahu tentang adat dan kebudayaan bangsa manusia, bahwa suatu saat manusia itu akan berumah tangga, cemburu. Dia mencemburui wanita yang baru beberapa hari datang di kamp sudah nempel terus dengan karyawan yang sudah lama ia kenal.
“Saya embat juga ini manusia perempuan, baru beberapa hari datang sudah berani `nempel` teman saya”, begitu mungkin seandainya Supinah bisa ngomel.
Memang benar, Supinah setiap hari mengincar istri karyawan tersebut. Pagi-pagi sudah menunggu di kolong rumah. Suaminya selalu melindungi sang istri bila Supinah hendak menyerang. Kadang-kadang harus menghardik atau menakut-nakuti dan mengusir Supinah.
Rupanya Supinah sudah sampai puncak kecemburuannya. Tidak sabaran lagi. “Sial bener, saya yang sudah lama di sini dicuekin, mentang-mentang sudah dapat wanita manusia cantik”, perasaan Supinah dalam hati, mungkin.
Benar. Supinah dari kolong rumah secepat kilat menyerang karyawan tadi. Supinah `membokong` dari belakang. Tak ada 2 menit, sudah dapat melumpuhkannya. Karyawan tadi, hanya bisa menjerit dan minta tolong kepada karyawan lain. Dia tak melawan, dan tak memukul walaupun membawa tongkat. Dan mungkin tak menduga kalau akan diserang orangutan, seperti Supinah.
“Karyawan tersebut tak melawan, soalnya kalau memukul Supinah saat menggigit, takut kena anaknya yang masih kecil dalam gendongan” kata karyawan yang “dicemburui” Supinah. Kasihan tak bisa jalan, harus dipapah kemana pergi. Kedua kakinya kena gigit dan kedua tangannya kena cakar. Kasihan nasibmu.
Supinah lari masuk hutan, setelah mendengar bala bantuan karyawan berdatangan. Supinah sudah puas, dapat melampiaskan kemarahannya yang terpendam. Mungkin hatinya hancur berkeping-keping.
Kini Supinah telah pergi ke hutan tak kunjung datang ke kamp lagi. Mungkin di sana telah menemukan `kecintaan` yang sejati di alam kehidupan di tengah rimba raya. Maafkan Supinah, selamat jalan semoga hidupmu tenang. Ingin tahu siapa yang dicemburui Supinah, ya saya, penulis. Kasihan. (Foto oleh Ralph Arbus - OFI)
13 Oktober 2008
Hormat Siswoyo
Kalau orangutan mabok
Saya masih ingat benar, pada tahun 1984 sekitar pertengahan bulan Maret, saat melakukan penelitian orangutan, waktu itu Sis (panggilan akrab Siswoyo) hamil tua, lebih kurang sudah mencapai 8 bulan. Siswoyo bersama anaknya Siswi, menjebol kamar saya. Semua berantakan diobrak-abrik. Kasur sobek, buku catatan dan buku bacaan ambruladul, makanan kaleng disikat habis tak tersisa. Beberapa botol persediaan minuman obat untuk campuran jamu seperti 2 botol beras kencur, 2 botol anggur dan 1 botol madu, lenyap pula. Saya kaget bukan kepalang, sesampainya di pondok dari hutan saat itu.
“Siapa yang menjebol kamar ini” pikir saya, (siapa maksudnya orangutan mana). Teman-teman karyawan lain di kamp tak tahu siapa, karena memang pondok saya berdua jauh dari pondok kerja mereka. Saya dan Heru Datos diam saja melihat kamar berantakan, capai baru datang dari hutan.
Iseng-iseng saya jalan keluar pondok kerja, ingin tahu siapa yang kira-kira habis berpesta makanan dari dalam pondok kerja saya. Tak jauh dari pondok saya temukan beberapa botol tergeletak, bekas botol anggur dan beras kencur, kertas dan sebagian kue berceceran. Tak jauh saya berdiri, saya lihat Siswoyo dan Siswi diam di bawah pohon dan dihadapannya masih ada sedikit sisa makanan. Kami memastikan pasti mereka berdua yang menjebol pondok kerja saya.
Dengan rasa jengkel, saya berusaha mendekatinya, mungkin merasa punya salah, mereka langsung jalan dan masuk ke hutan. Namun, rasa jengkel saya hilang ketika melihat mereka berjalan sempoyongan. Siswi jalannya gontai, sesekali jatuh tersungkur, dan beberapa kali selalu salah memegang pohon atau ranting, tak ubahnya kalau melihat manusia mabok minuman keras. Siswi ingin naik pohon, tetapi salah memegang dahan dan jatuh, jatuh dan jatuh lagi. Saya tersenyum melihat perilaku mereka, terutama Siswi. “Tos, ingin lihat orangutan mabok”, teriak saya pada Heru yang duduk kecapaian. Betapa tidak, anggur 2 botol, beras kencur 2 botol dan madu 1 botol untuk ukuran orangutan Siswi yang baru berumur 5 tahun. Siswoyo terlihat agak tenang, tak tahu mungkin pening juga, jalan terus hanya sesekali menoleh ke belakang melihat anaknya yang sempoyongan dan selalu jatuh tersungkur. Ada-ada saja Sis!!.
Jagoan Camp.
Banyak teman-teman karyawan di Kamp Leakey, menyebut Siswoyo “jagoannya” di kamp. Semua orangutan rehabilitasi, baik jantan atau betina segan dan takut dengannya. Siswoyo mempunyai perawakan yang besar bila dibandingkan dengan orangutan lainnya, hanya anak-anak orangutan yang kecil saja yang berani berdampingan makan bersama orangutan tertua di komplek rehabilitasi orangutan ini. Sedangkan orangutan lainnya, saat diberi makan, hanya mengambil dan pergi menjauh dari Siswoyo, bila Siswoyo datangnya belakangan, maka ketika Sis datang, orangutan lain yang datang lebih dulu, pergi sambil membawa makanan.
Siswoyo memang bukan orangutan yang agresif menggigit atau menyerang orangutan lain. Tapi Sis paling tidak suka dengan orangutan yang saling mengganggu sesamanya. Dia paling benci melihat sesamanya menyerang orangutan lain, khususnya yang masih kecil. Pasti orangutan yang suka “jahil” ini dimusuhi Sis, kemanapun pasti akan dikejar. Lain halnya bila orangutan yang tak pernah menjahili sesama orangutan. Tak segan-segan membuat jera dengan menggigit individu yang bandel. Siswoyo memang sayang anak.
Siswoyo juga bukan gila hormat. Tetapi perlu menghormati “hak azasi orangutan” pada saat saat tertentu. Kalau dia dengan anaknya sedang tidur di Jembatan dan kita sebagai manusia ingin lewat, perlu mengucapkan “permisi Sis” numpang lewat. Maka diapun membiarkan kita berlalu. Kalau sedang duduk, tak jadi masalah.
Dua kali selama saya di kamp, Siswoyo melukai orang (manusia) dengan menggigit. Itupun sudah diperingatkan karyawan lain. “Jangan naik ke menara, ada Siswoyo sekeluarga tidur di sana” saran teman karyawan kepada Sukirno yang jadi korban kemarahan Siswoyo. Namun dia nekat. Pikirnya dia sudah kenal dengan Siswoyo. Sis tak pandang siapa dia. Kalau dia dan keluarganya yang sedang tidur diusik, Sis akan marah dan bila perlu akan mengigit. “Untung pakai celana jeans, kalau tidak, hancur kakiku “, kata Kirno sambil memperlihatkan luka memarnya kepada kawan lain.
Kejadian kedua, gigitan Siswoyo cukup parah terhadap orang asing, yang menjadi tenaga sukarela hampir 6 bulan. Memang orang ini sudah diberitahu ada Siswoyo tidur di jembatan, bilang “permisi numpang lewat” kalau mau mandi di sungai. Namun, pemuda Amerika belasan tahun ini sedikit ugal-ugalan, tak mau dengar saran teman teman karyawan. Saat di jembatan dia lari dan menimbulkan suara gaduh, mengganggu Sis tidur, lantas melompati Siswoyo. Sis kaget, dengan gerak cepat, Siswoyo menangkap kakinya, dan digigit betisnya meninggalkan luka yang cukup parah.
Tinggal kenangan.
Tiba-tiba saya dapat kabar dari karyawan yang memberi tahu lewat radio, “ segera datang Sis sakit parah”, begitu pesan singkat melalui radio. Memang Sis melahirkan anak terlalu cepat, 3 tahun sekali, normalnya orangutan 4 – 5 tahun, bahkan bisa lebih. Karena Sis subur dan ada jantan dewasa, maka sering melahirkan. Sis sudah pingsan, kemaluannya sudah bau. Saya membersihkannya dengan antiseptik dan memberinya obat antibiotik pada luka-luka di sekitar vaginanya.
Sis keguguran. Ari-arinya masih tertinggal di dalam. Saya langsung berkonsultasi dengan dokter kebidanan di Pangkalan Bun bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Ada petunjuk untuk mengambil ari-ari dengan memasukan tangan ke kemaluannya. Maklum waktu itu masih belum ada dokter khusus di proyek ini. Saat kembali ke kamp jiwa Sis sudah tidak tertolong lagi.
Tangisan seorang anak.
Sepeninggal Sis, anaknya yang bontot Sugarjito kelimpungan mencari di mana induknya. Jito melihat induknya dikubur. Dia memandangi dari jauh. Setiap hari Jito ada di sekeliling kuburan induknya. Tak doyan makan, kerjanya duduk termenung sambil memandangi “nisan” ibunya.
Karyawan berusaha memberi makanan atau minuman susu manis kesukaannya. Namun, hanya dipandangi oleh Jito. “Jitoooooo…” panggil karyawan, Jito hanya menjawab “ngggiiikk ….”, dengan suara yang melas asih.
Hari demi hari Jito hanya seperti itu, diam termangu tak mau makan dan minum, hampir satu minggu. Untunglah kakak kandungnya Siswi datang. Melihat adiknya diam termenung di dahan, Siswi mungkin tak tahu atau tak mau tahu (sifat satwa yang sudah lepas dari induknya) dengan kematian induknya. Jito turun dan memandang kakaknya. Siswi memegang muka adiknya dan pergi mengikuti karyawan yang memanggil untuk memberi makanan tambahan pada sore hari. Jito mengikuti dari belakang.
12 Oktober 2008
HARI HARI BERSAMA KERA MERAH
HARI DEMI HARI
BERSAMA KERA MERAH.
Tak pernah terbayangkan saat masih kecil akan hidup di tengah-tengah kera merah di belantara Kalimantan. Bahkan, tak pernah terpikirkan walaupun telah menginjakkan kaki di bangku kuliah. Semua dimulai dari rasa senang dengan tantangan, sesuatu yang baru dan keinginan mencari pengalaman untuk menghiasi hidup ini.
Mulanya ada sebuah pengumuman di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, bahwa ada seorang peneliti wanita dari Kanada membutuhkan beberapa mahasiswa untuk membantu penelitiannya, khusus mengamati perilaku orangutan. Dengan tekat hati saya mendaftar, apapun yang terjadi nantilah urusan belakang.
Rupanya pendaftar cukup banyak, ada sekitar 17 orang mahasiswa. Di dalam pengumuman disarankan bagi pendaftar sebaiknya mereka yang telah menyelesaikan Sarjana Muda sehingga data penelitian yang dikumpulkan dapat diolah sebagai bahan penulisan untuk Sarjana Penuh. Hanya ada beberapa yang masuk kualifikasi itu.
Seleksi pun dilakukan. Pertanyaan yang diajukan bermacam-macam. Mulai dari keluarga, kost atau ikut orangtua, kesehatan, kemauan, hingga pengalaman di lapangan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak mahasiswa yang hanya betah sebulan tinggal di tengah-tengah hutan untuk melakukan penelitian.
Tak disangka hanya saya yang diterima karena memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh fakultas. Sedangkan yang dibutuhkan dua orang. Setelah dengan susah payah mencari satu lagi mahasiswa yang memiliki kemauan dan betah tinggal di dalam hutan dipilihlah Heru Datos Manoto.
Waktu itu ceritera tentang Kalimantan, bagi kami yang kurang informasi sangatlah menyeramkan, apalagi dengan hutan yang lebat, penduduk asli, dsb. Namun, setelah tiba di sana ceritera tersebut hanya khayalan dan pandangan yang keliru tentang kehidupan di dalam hutan tropik.
Perkenalan.
Baru kali ini memasuki hutan rimba. Naik perahu atau dalam sebutan lokal, klotok, dengan menyeberangi sungai yang lebar dan berliku adalah pengalaman pertama dalam perjalanan hidup.
Sungai Kumai dengan lebar lebih kurang 1 km memberikan pemandangan yang indah. Hilir mudik kapal dan perahu nelayan serta angkutan sungai membuat hiruk pikuk dan kesibukan sungai tersebut. Kadang terlihat pesut (lumba-lumba air tawar) sesekali meloncat mengikuti perahu yang sedang melaju.
Memasuki Sungai Sekonyer dengan warna air yang hitam, tetapi jernih adalah pemandangan yang tak kalah mengagumkan. Apalagi kadang-kadang muncul Buaya Muara yang seram, diam termenung di sela-sela tumbuhan Nipah. Burung-burung seperti rangkong, betet, beo, raja udang, terkukur, dara hijau dan masih banyak lagi berterbangan bebas kian kemari. Terasa bagai di dalam kurungan kebun binatang raksasa.
Kapal-kapal kayu sebelum melaut ke Pulau Jawa, banyak yang mengambil air dari sungai ini. Walaupun hitam karena pengaruh rawa gambut, airnya jernih dan cukup untuk bekal selama dalam perjalanan.
Lebih unik lagi setelah melewati kawasan hutan terdengar jeritan para monyet ekor panjang. Dengan angkuhnya mereka berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan dahan, seolah tidak suka dengan kehadiran manusia. Terlihat monyet berhidung mancung atau bekantan, yang oleh orang lokal sering disebut monyet Belanda, dengan tenangnya memandangi kami yang ada di dalam klotok.
Kumpulan Anak Yatim.
Begitu menepi di dermaga ujung jembatan Camp Leakey kami disambut dengan kerumunan anak-anak yatim, si orangutan yang tak beribu, apa lagi berbapak. Mereka semua memiliki nama yang keren-keren. Ada nama Indonesia seperti Unyuk, Tutut, dan Supinah, tapi tak sedikit pula yang memiliki nama asing seperti Simon, Roger, Davida, Carey, Curly, dan Dart. Nama-nama mereka digunakan untuk pengabsenan, apakah mereka setiap hari datang atau tinggal di hutan, dan untuk mempermudah mengevaluasi kegiatan dalam usaha rehabilitasi orangutan.
Si kecil ini lucu-lucu perilakunya. Tak ubahnya dengan anak manusia, suka mewek kalau permintaannya tak dituruti, menjerit kalau ketakutan, dsb. Kisah berkumpulnya anak-anak yatim karena perbuatan manusia ini cukup panjang dan memilukan.
Manusia yang suka memelihara orangutan, yang dipelihara umumnya adalah orangutan usia anak-anak, tak mungkin langsung menangkap orangutan dewasa. Untuk menangkap anaknya, manusia tak akan bisa merebut langsung dari dekapan induknya. Pemburu harus membunuh induknya terlebih dahulu. Selain itu, orangutan juga dianggap sebagai hama ladang yang sering kali memasuki perladangan sehingga mereka dibasmi. Orangutan dewasa dibunuh dan anak-anak yang tak berdosa ini ditangkap. Kadang hasil tangkapan ini diserahkan kepada pihak berwenang atau dijual. Dalam salah satu kasus ada anak orangutan yang terkena tebasan parang dan tangannya putus saat penjaga ladang akan membunuh induknya.
Anak-anak ini kemudian dikumpulkan, diberi makan, diobati kalau sakit dan dicarikan induk angkat bila ada orangutan dewasa betina yang suka mengambil anak angkat. Kini kumpulan itu semakin banyak. Kalau dihitung anak orangutan di Kamp Leakey atau kamp-kamp lain di taman nasional atau lokasi rehabilitasi di Kalimantan dan Sumatera maka orangutan dewasa yang mati kira-kira sebanyak itu juga.
Aneka Wajah-Wajah Penghuni Hutan
Orangutan Rehabilitasi.
Seperti halnya manusia dengan wajah yang berbeda satu sama lainnya, penghuni hutan inipun mempunyai tanda-tanda yang berbeda diantara mereka. Selintas bentuk muka, rambut, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan bagian anggota badan lainnya memang sama. Akan tetapi bila setiap hari bertemu dan bergaul dengan mereka, maka akan tahu perbedaan setiap individu.
Untuk membedakan itulah, maka setiap orangutan penghuni pusat penelitian, pusat rehabilitasi dan kebun binatang diberi nama agar memudahkan dalam pemisahan.. Di Pusat Rehabilitasi Orangutan Tanjung Puting misalnya, setiap orangutan diberi nama, mulai dari yang kecil baru lahir, yang dewasa ataupun yang baru datang diserahkan ke lokasi rehabilitasi tersebut.
Tak hanya wajah yang hampir sama tetapi berbeda, perilakunya pun berbeda pula. Tak ubahnya seperti manusia. Ada yang baik hati, penyabar, gampang marah, ada pula yang rakus, tapi ada pula yang mengalah. Ada yang pemalas, ogah ke hutan dan cukup tidur di kolong rumah, di jembatan ataupun di menara dengan berselimutkan karung atau kardus. Tak sedikit pula yang rajin membuat sarang saat waktu tidur tiba.
Orangutan betina, khususnya yang dewasa dan mempunyai sifat pengayom serta sayang anak tidak akan segan-segan untuk mengasuh, mendidik, memberi contoh dalam hal memilih makanan, membuat sarang dan sebagainya ke anak-anak orangutan ini. Tapi ada pula yang “judes” dengan anak kecil, tak mau didekati, bahkan sering merebut makanan yang dipegang ataupun disimpan dalam mulut. Orangutan yang punya kasih dan sayang pada anak-anak “yatim” ini sering mengalah, bahkan makanan yang dipegangnya rela bila diambil oleh si kecil.
Begitupula jantan remaja yang masih hidup berkelompok. Ada yang rasa berkawannya cukup tinggi. Tak segan-segan melindungi anak-anak yang tak “berpapa dan bermama” ini bila ada orangutan lain yang usil mengganggu ataupun merebut makanan. Mereka akan mengusir dan bahkan menyerangnya.
Wajah dan perilaku ini, tentunya diketahui bila kita setiap hari hidup dan bergaul dengan mereka, baik saat meneliti perilakunya, atupun saat memberikan makanan. Sungguh merupakan khasanah pengetahuan tentang alam yang menarik untuk diketahui dan dipelajari sehingga kita akan mengetahui tentang keadaannya di alam.
Dari tahun 1983 selama 7 bulan dan dilanjutkan lagi dari tahun 1988 sampai tahun 1994 itulah sedikit banyak saya mengetahui wajah dan perilaku orangutan dengan berbagai perilaku kehidupannya. Ada sebuah harapan untuk memberikan sumbangan pengetahuan perilaku bagi khalayak yang awam tentang orangutan.
Dalam kurun waktu itu saya mengenal lebih kurang 100 orangutan, baik yang masih anak-anak, remaja maupun yang dewasa. Perubahan wajah setiap orangutan pasti akan terjadi, terutama jantan. Setelah menginjak dewasa bagian wajah jantan akan tumbuh bantalan pipi yang kadang-kadang menyulitkan dalam mengenalinya karena terjadi perubahan total pada raut wajahnya.
Orangutan dapat dikenal dengan menandai ciri pada raut wajahnya. Diantaranya, muka lebar, sorot mata tajam atau sayu, moncong bibir, rambut yang tumbuh di kepala lebat atau tipis, cara jalan di tanah dan cara menggendong anak. Atau bila orangutan itu lama tinggal di kamp, dapat juga dipanggil namanya, bila masih menoleh dan menghampiri, itulah dia. Misalnya, Unyuk, Tutut, Rani, Siswi, dsb.
Wajah-wajah mereka yang bervariasi menyebabkan Rehabilitasi Orangutan Taman Nasional Tanjung Puting ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan nusantara. Di sana pengunjung dapat bercanda dan memanggil nama para orangutan untuk lebih dekat dan menyayangi. Kelak diharapkan para pengunjung membantu dalam usaha pelestarian dari berbagai sisi. Mudah-mudahan.
Orangutan liar.
Berbeda dengan orangutan rehabilitasi yang sebelumnya merupakan satwa peliharaan (pet) manusia yang kemudian diserahkan ke Pusat Rehabilitasi untuk diliarkan, orangutan liar penghuni lokasi penelitian di Taman Nasional Tanjung Puting juga diberi nama.
Memang susah untuk mengenal orangutan liar lebih jauh dalam waktu yang singkat. Khususnya wajah-wajah mereka dari jarak yang jauh karena mereka sulit didekati dan berada di pohon yang cukup tinggi dan rimbun. Namun, bila diamati secara seksama dan berkali-kali maka akan terlihat adanya perbedaan. Mereka pun diberi nama agar mudah untuk mengetahui ciri-ciri secara khusus orangutan liar. Misalnya Yellow bersama keluarganya Yet atau Yel.
Ada cara-cara yang mudah untuk mencirikan atau menandai orangutan yang bersangkutan, yaitu dengan mengetahui perilaku dan ciri-ciri mereka, serta yang penting adalah daerah jelajahnya. Orangutan betina memiliki daerah jelajah yang berlainan, walaupun kadang-kadang mereka bertemu dan daerah jelajahnya tumpang tindih. Bila dilihat dari daerah jelajahnya dan ciri-ciri serta perilakunya, hampir 90 % dapat dipastikan orangutan yang bersangkutan adalah memiliki nama si A, misalnya.
Orangutan liar yang ada di dalam kawasan areal studi di Taman Nasional Tanjung Puting sudah diteliti perilakunya sejak tahun 1971. Dari pola perilaku, misalnya marah bila bertemu manusia dengan mengeluarkan kissquick, mematahkan ranting pohon atau yang cuek karena sudah biasa diikuti untuk dicatat perilakunya, dsb telah diketahui setiap individu orangutan liar dari ciri-ciri dan daerah jelajahnya.
Ada kalanya keluarga orangutan yang sudah besar dan sudah mandiri baik jantan maupun betina nampak bersahabat bila bertemu dengan induknya. Kadang makan pada satu pohon yang sama malah beberapa kali mereka duduk berdekatan dan saling mengutui (groomming).
Agak sulit untuk mencirikan orangutan jantan. Berbeda dengan betina yang memiliki daerah jelajah dan jarang keluar daerah jelajahnya, orangutan jantan daerahnya tak terbatas, mereka mengembara kemana saja dan jarang sekali menetap. Ada beberapa yang menetap khususnya bila jantan tersebut merupakan penguasa daerah tersebut, sebelum ada jantan lain yang dapat “melengserkan” dari kawasan yang dikuasainya. Penguasaan daerah terutama untuk pasangan ataupun makanan.
Untuk itulah ada beberapa kendala dalam meliarkan kembali orangutan bekas peliharaan, khususnya bagi orangutan betina. Karena di setiap daerah sudah ada orangutan betina yang menjelajahi daerah tersebut, sehingga orangutan rehabilitasi tak dapat menetap pada daerah tertentu dan pengembaraannya cukup luas, bahkan sering kembali ke kamp.
Berbeda dengan orangutan jantan rehabilitasi, seperti halnya orangutan jantan liar, mereka bila telah menginjak remaja akan mengembara. Apalagi bila sudah saatnya berpasangan dan mendapatkan pasangan, mereka akan meninggalkan kamp. Atau bila dalam hutan yang berdekatan dengan kamp ada penguasa orangutan jantan yang berkuasa atau “rajanya”, maka jantan-jantan muda inipun menyingkir. Menurut pengalaman individu jantan lebih mudah liar dan mandiri dalam usaha meliarkan orangutan.
Namun, kadang-kadang jantan bekas rehabilitasi dapat mengecoh peneliti bila bertemu dengan orangutan di dalam hutan. Mulanya seperti orangutan liar dengan beberapa perilakunya. Akan tetapi, setelah beberapa hari diamati, dia menghampiri si peneliti. Beberapa kali saya dikecoh dengan individu semacam ini. Mulanya saya kira orangutan liar jantan remaja karena menunjukkan perilaku yang tidak bersahabat dengan manusia. Namun, setelah hari ke empat saya amati terus dari pagi hingga petang ketika saya membuka bekal untuk sarapan pagi, tahu-tahu dia turun dan menghampiri saya untuk minta makan. Wah, ketipu.
Ditinggal Mati Anak Kesayangannya
DITINGGAL MATI
ANAK KESAYANGANNYA
Cinta seorang ibu sepanjang jalan, itu kata pepatah. Cinta beliau memang tak ada batasnya. Kita dirawat mulai masih dalam kandungan hingga besar dapat mandiri, ibu masih selalu merawat, mengawasi, mendidik dan memperhatikan. Cinta ibu putus dan akan dibawa sampai mati.
Cinta ibu ini tak hanya pada manusia, tetapi juga berlaku pada beberapa jenis binatang, tak terkecuali bagi orangutan. Sebut saja Juni, nama orangutan penghuni Kamp Rehabilitasi. Orangutan ini sudah 2 kali mempunyai anak, Juni berusaha sekuat mungkin untuk membesarkan anak-anaknya. Ia memberikan contoh makanan yang dapat dimakan, memilih makanan, cara mengupas, dan membuat sarang. Kasih sayangnya diperlihatkan bila si anak tak dapat mengupas biji-biji yang keras. Juni menyuapinya dengan makanan yang telah dikunyahnya dan langsung diberikan ke mulut anaknya bila si anak meminta dengan menempelkan mulutnya ke mulut induk.
Musim kering melanda Kalimantan. Hutan banyak yang terbakar, tak sedikit satwa-satwa yang terpanggang. Di Taman Nasional Tanjung Puting banyak satwa primata yang menuju ke pinggiran sungai, terutama yang masih hidup dalam hutan di luar kawasan taman nasional. Banyak ladang dan semak belukar bahkan hutan bergambut ditelan si jago merah.
Musim itu pulalah, bencana bagi orangutan, penyakit kulit mewabah, tak hanya orangutan rehabilitasi, tetapi juga orangutan liar. Tak ketinggalan Juni dan anaknya, terserang penyakit kulit. Walaupun para petugas baik Jagawana dan karyawan Proyek Rehabilitasi telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengobatinya, anak Juni tidak tertolong dan mati.
Karena kasih sayang kepada buah hatinya, Juni terus saja menggendong, mungkin kalau dia bisa bicara seperti manusia, tentulah dapat mengungkapkan isi hatinya, betapa sedih kehilangan anak kesayangannya.
Tiga hari sudah jabang bayi yang sudah tak bernyawa itu erat dalam dekapan dan pelukan Juni. Bau bangkai menyebar ke mana-mana dikala Juni berlalu. Prilaku Juni tampak seperti biasanya, tetapi bila diamati lebih seksama dia menderita. Stres terlihat dengan ditunjukannya perilaku agresif terhadap semua temannya (orangutan) dan karyawan.
Saya berpikir, sampai kapan Juni akan menderita seperti itu. Saya ajak kawan-kawan karyawan untuk mengambil anaknya. Ketika Juni meletakkan anaknya di rerumputan, sambil memandang wajah anaknya yang sudah dikerumuni semut, serta dipegang-pegang, teman yang lain sembunyi dibalik pohon untuk merebutnya, sedangkan teman lain memanggil Juni untuk diberi makanan.
Untunglah Juni mendekati makanan tanpa membawa anaknya. Dengan cepat, diambillah anak yang sudah mati itu, lantas dibawa lari sekencang-kencangnya.
Melihat gelagat dari karyawan itu, Juni membatalkan mengambil makanan, dan mengejar karyawan yang mencuri anaknya, sambil berteriak “jangan rebut anakku” mungkin, kalau Juni bisa berteriak.
Merasa kecapaian Juni diam, termangu. Tak ada satupun karyawan yang berani mendekat. Mereka berusaha menghiburnya dengan memberi makan dan minum yang sudah dicampuri obat kulit. Anaknya pun dikubur. Rupanya Juni mengetahui saat karyawan menggali tanah untuk menguburkan anaknya.
Sungguh iba melihat Juni memandangi kuburan anaknya dari cabang pohon, hingga 2 hari. Juni tampak kurus. Syukurlah Juni tidak membongkarnya.
Biarlah Juni, mereka aman di dunia sana. Di sana masih banyak hutan lebat yang tidak diganggu oleh tangan-tangan manusia yang tak peduli terhadap bangsamu.
06 Oktober 2008
Kisah Orangutan Suharto
Cerita Nomor 30.
JANGAN PAKAI NAMA PRESIDEN
Menjelang gencar diadakannya Konferensi Kera Besar Desember tahun 1991, banyak media elektronik dan cetak meng ekspose berita yang agak kurang “mesra” antara departemen yang membawahi pariwisata dan kehutanan. Memang acara konferensi itu untuk menggugah dan promosi kepariwisataan dan idenya pun muncul saat Ibu Birute berjumpa dengan Bapak Susilo Sudarman di Amerika Serikat sana. Konferensi itu untuk mengangkat dan promosi ke dunia, bahwa orangutan yang ada di Pangkalan Bun mempunyai nilai yang tinggi untuk daya tarik kepariwisataan di tingkat dunia.
Berbagai TV swasta mencari berita dan meliput kegiatan atau mencari kesimpangsiuran kepentingan antara pariwisata dan pelestarian orangutan. RCTI datang ke hutan tempat bermain anak-anak orangutan dan mewawancai saya, sebenarnya apa sih yang terjadi. Saya hanya bisa jawab bahwa di Tanjung Puting bukan tempat untuk wisata karena akan mengganggu proses peliaran oranguatan, misalnya di Kamp Leakey banyak orangutan yang sulit untuk pergi ke hutan. Namun, pendapat saya di Kamp Leakey sudah di cap menjadi daerah kunjungan wisata untuk melihat orangutan, sulit untuk ditutup dan menolak wisatawan yang masuk. Sudahlah, ada beberapa orangutan yang sudah “terlanjur” jinak, karena bekas sitaan, dikorbankan menjadi satwa daya tarik pengunjung. Tapi perlu disiapkan lokasi lain khusus untuk pelestarian dan tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, selain petugas.
Begitulah sebuah perjalanan untuk maju, pasti ada kepentingan, dan mungkin solusi yang saya sampaikan adalah salah satunya untuk menengahi masalah itu.
TVRI pun tak ketinggalan, selain meliput berita, TV pemerintah ini juga membuat sebuah ceritera film durasi pendek sekitar 30 menit. Judulnya “Kutangkap dan Kulepas” dan konon memenangkan juara pertama dalam kontes film dokumenter.
Saat pembuatan film itu, kru heran tanpa ada teks, apalagi narasi yang dibuat, bukan pemain sinetron, semua lancar sesuai dengan “arahan” dari sang sutradara. Yah, itu karena memang pekerjaan ini sudah kami lakukan sehari-hari, dan hari ini mengulang pekerjaan kemarin dan akan dikerjakan esok hari. Jadi semua biasa saja.
Saat ada dialog antara dokter hewan Windarta dan saya sebagai perawat orangutan, saya berpura-pura membawa orangutan itu ke Pak Win, untuk diperiksa kesehatannya. Seperti pemain film, saya seperti tergopoh-gopoh membawa orangutan untuk segera diperiksa. Biasa mengucapkan selamat pagi dan sebagainya, supaya keren ada dialog dalam film itu.
“Pak Win tolong orangutan ini diperiksa karena baru kami terima dari seseorang yang menyerahkan kepada kami” awal dialog saya ke Pak Win.
“ Eh, Mas Edy ada-apa, apa ada tanda-tanda sakit” Tanya Pak Win.
“Nggak sih, cuma coba dilihat kesehatannya” jawab saya singkat. Lantas Pak Win menanyakan umur, asal orangutan dan namanya untuk dicatat.
“Namanya Suharto, kelamin jantan, umur sekitar 5 tahun, asal dari udik dan sudah lama kami rawat”
“Cut … cut …” kata sutradara dari TVRI.
Bisa nggak namanya diganti, jangan nama presiden, nggak enak, siapa saja deh. Oke, adegan diulangi. Maklum adegan selama pembuatan film langsung direkam. Entah apa yang saya sebutkan, saya lupa, mungkin Karto atau nama saya sendiri.
Selama pembuatan film, untunglah Suharto nggak protes dan tak harus diselametin untuk penggantian nama. Nama Suharto diambil dari mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta yang pada tahun 1971-an melakukan penelitian di Tanjung Puting.
Suharto adalah salah satu anak orangutan yang mandiri, tidak tergantung dari orangutan lain atau pengasuh. Seusai pemberian makanan tambahan, dia langsung tidur di “hotel permanennya” di Pos Tanjung Harapan. Namun, karena masih kecil dan belum mampu untuk mempertahankan diri anak orangutan ini diserang dan digigit orangutan jantan liar. Hanya bisa menangis dan teriak. Lantas petugas menyelamatkannya. Mungkin kalau tidak segera ditolong, bisa parah.
Walaupun demikian, perlu mendapatkan perawatan yang intensif karena luka gigitan yang cukup lebar hingga tulang paha kanan terlihat dan perlu dijahit lebih dari 10 jahitan. Syukurlah saat itu ada dokter hewan volunteer dari Amerika Serikat yaitu DR. Jill Kusba.
Perilaku orangutan jantan ini sudah biasa, khususnya terhadap jantan muda, walaupun masih bocah. Mereka cemburu dan mungkin kalau sudah besar akan menjadi pesaing dalam mempertahankan daerah kekuasaannya. Suharto anak orangutan yang “menggemaskan” ini sebelum konferensi kera merah yang dibuka di Istana Presiden di Jakarta oleh Presiden RI, sudah liar dan hidup bebas di hutan. Tak tahu apa arti konferensi ini bagi “bocah” yang yatim piatu ini.