21 Agustus 2011
PEREMPUAN PEREMPUAN YANG AKU KENAL II.
Lain lagi dengan seorang kawan, yang akhirnya mengakhiri hidupnya di tiang gantungan, di kebon tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ceritanya memang sangat panjang, mulai dari tempat tinggal dan hijrah dan mengadu nasib di Kalimantan. Tekanan ekonomi yang berat untuk menanggung beban hidup keluarga seperti orangtua dan adik-adiknya, akhir mengambil keputusan pindah dan mengikuti program pemerintah, yaitu “transmigrasi”. Dan semua anggota keluarga, berangkat.
Namun rupanya apa yang diimpikan, itu jauh dari kenyataan ketikan sampai di lokasi. Lahan yang yang gersang, tandus, panas terik, air susah, dan pertanianpun, memerlukan tenaga ekstra. Karena bukan berlatar belakang petani “beneran”, maka program itu dianggap sebagai program “membuang” keluarganya ke daerah yang entah berantah.
Ketika jatah hidup sudah sudah habis, hasil perytanian belum menghasilkan, maka suatu ketika kawanku itu, jalan merantau ke kota. Dan di situlah mendapatkan bujuk rayu si hidung belang, dengan berbagai impian, maka rela mengorbankan diri, demi mempertahankan hidup.
Sebulan, setahun dijalani, dengan melayani berbagai jenis, berbagai wajah, berbagai sosok lelaku dengan pekerjaan yang beraneka. Mulai dari anak-anak belasan tahun, anak ingusan yang sdah tahu kehidupan malam, juragan taoke ataupun pegawai negara yang memang mempunyai perilaku yang dapat dijadikan contoh. Perjalanan setahun itu, dijalani dengan rasa tertekan. Melayani setiap malam kadang sampai 2-3 orang, tidak dirasakan, hanyalah sebuah permainan yang dalam hidup yang harus dijalani.
Namu suatu kali ada seorang lelaki yang mengajak berumah tangga, dan menjanjikan akan mengentaskan dan dari desakan hidup, dan mengeluarkan dari lembah hitam. Berbunga, senang, tertawa dan kalau bisa berteriak gembira, dan tak lupa sujud syukur kepada Yang Kuasa, bahwa dirinya akan mengakhiri kehidupan yang “gelap” itu.
Namanya juga lelaki “hidung belang” yang banyak janji, sering melakukan “Mo Limo”, yang dalam bahasa Jawa artinya (Madon atau main perempuan, Minum atau sering minum alkohol, Mabok, Madat, dan Main atau Judi) sudah melekat di diri suami itu. KDRT sering terjadi, tak ayal aku sering melihat kalau keluar rumah, muka lebam, biru dan menagis. Kerja berapa hari tak pulang, dan sampai di rumah marah.
Keputus asaan dan tekanan yang luar biasa dalam menjalani hidup, dan dasar-dasar agama yang tidak kuat, maka kawanku yang baik hati itu, akhirnya mengakhiri hidupnya di bawah pohon cempedak, dengan mengikat tali jemuran. Sungguh menyedihkan.
--oo0oo--
Perselingkungan, adalah sebuah awal kehancuran keluarga. Tak sedikit seorang istri yang rela berpisah, bila merasa dikhianati oleh suami. Dan pada akhirnya, anak-anak menjadi korban. Seorang perempuan, seorang ibu, tentu cintanya sepanjang jalan, dan kasih sayangnya hingga dibawa ke liang lahat. Namun konon ada sedikit seloroh, bahwa cinta seorang lelaki, hanya sampai prpatan, setelah ada lampu merah, kemudian hijau, terserah mau lurus, mau belok kanan atau kiri. Dan itulah beberapa wanita yang aku kenal dalam kehidupannya. Itu yang terjadi beberapa kawan perempuan yang aku kenal dengan baik.
Namun kehidupan anak-anak mereka, dicap sebagai keluarga yang “broken home”. Ada yang mampu mempertahankan status itu, yang penting menjalani hidup dengan baik dan menjadi orang yang berhasil di kemudian hari. Tetapi ada juga yang terjerumus ke lembah hitam dan mengkonsumsi obat terlarang. Karena mereka merasa putus asa, tak ada perhatian dari orangtua, dan mencari figur orangtua yang tak di dapatkan dari ayah dan bundanya.
Perjuangan seorang ibu untuk membesarkan anak-anak, mencukupi kebutuhan hidup sehari hari, membiaya sekolah, merupakan perjuangan yang luar biasa. Apapun pekerjaan yang “halal” akan dilakukan demi buah hati, masa depan anak anak tercinta. Dengan gemblengan agama yang kuat, dibarengi dengan do'a, seorang ibu harus banting tulang agar keluarga yang ditinggalkan suaminya itu, dapat bertahan hidup, dan menembus tantangan kehidupanan.
Kerja sama anak-anak dan pengertian buah hati mereka, merupakan modal utama dalam mengarungi hidup yang akhirnya “lulus” dan berhasil. Namun dari keberhasilan itu, masih ada secerah “kepribadian” yang berbeda dengan anak-anak yang memiliki kehidupan rumah tangga yang mendapatkan kasih sayang ke dua orangtuanya. Terutama mengenai emosional, minta diperhatikan, mudah tersinggung dan ingin menjadi pemimpin. Tetapi tidak semuanya, namun anak-anak kawan itu menunjukkan seperti itu, ketika sudah berumah tangga. Kalau seandainya istri atau suaminya “mengerti” latar belakang rumah tangga, saya yakin akan memahaminya. Namun bila tak memahami, dan saling pengertian, maka akan terulang dalam keluarganya, seperti ayah dan bundanya.
Prahara rumah tangga yang terjadi kawan di daerah yang berbeda, memang sangat berbeda. Gadis muda belia dan antik, supel dan sederhana itu, banyak yang menyukai. Entah dengan jalan dan cara bagaiman, kawan itu manut, nurut apa yang diinginkan dan dikehendaki lelaki yang bisa dibilang adalah masih kawan. Tetapi, yah dasar lelaki yang sudah dirasuki nafsu birahi, tega-teganya menggaulinya. Hamil. Dan pada kondisi yang seperti ini, dia merasa salah. Tak berani kembali ke orangtua (maklum anak kos kosan) karena tak ada khabar berita anak gadisnya itu pacaran atau nikah. Karena badan sudah “bernyawa” dua, akhirnya dia pergi, pamitan kalau dia sedang ada tugas yang nun jauh di sana.
Lelaki tak bertanggung jawab, malah minta “digugurkan” saja janin yang tak berdosa itu. Mangkir dan meninmggalkan. Namun ada satu lagi kawan, bahwa lelaki itu mau menikahi, kalau dia mau engikuti sebuah ajaran yang sedang dia lakoni.
Walau telah mengorbankan “buah terlarang” dan berbuat diluar kesadaran, kemauan dan menyimpang, kawan-kawan itu masih memiliki dasar iman yang kuat. Tak harus “mematikan” jabang bayi yang ada dalam kandungan, atau mengakhiri kehidupan, tapi memilihara hingga lahir, sembilan bulan dilalui penuh dengan penderitaan, tekanan, merasa bersalah. Dia merasa berdosa kepada anak anak itu, yang lahir tanpa ayah yang syah.
Anak yang lahir itu lucu, polos bagai kertas putih yang masih bersih. Anak itu nggak tahu mengapa harus lahir, dan mana ayahnya, mana nenek, kakek, paman, saudara sepupu, masih belum tahu. Sang bunda amat sangat melindungi, diasuh dengan rasa kasih sayang. Berusaha melupakan masa silam yang kelam, namun mencoba menatap masa depan anak itu, penuh dengan keberhasilan, kegembiraan. Kerj keras hanya untuk sang anak buah hati dan harapan masa depan.
Lain lubuk lain ikannya, lain negara berbeda budayanya. Itu sebuah peribahasa yang sedikit diplesetkan. Kawanku adalah seorang peneliti, sedari muda yang berkutat masalah obyek penelitian yang dia gemari. Suaminya yang dibawa hijrah dari negerinya ke negeri orang lain, dan memiliki latar belakang ilmu dan pengetahuan yang berbeda, terpaksa harus berpisah. Karena sang suami menginginkan kembali ke kehidupan yang normal di negeri kelahirannya, dan membesarkan buah hati yang sudah lahir. Namun kawan tadi “keukeh” nggak mau, dan merelakan berpisah.
Namun hingga kini hubungan antara “mantan” suami dan istri itu, berjalan dengan baik, karena ada ikatan anak. Walupun istri sudah bersuami lagi, dan mantan suaminya sudah beristrikan lagi. Dan uniknya, mereka menyunting putra daerah yang dianggap berjada dalam membantu kegiatan penelitiannya itu. Namun walupun dipisahkan dengan jarah yang cukup jauh, anak mereka sesekali berkunjung ke ayah dan bundanya.
Itulah sebuah kisah, dan ringkasan dari penyusunan buku mengenai perempuan-perempuan yang aku kenal. Walau ide itu sudah cukup lama, tetapi perlu mengingat kembali kisah hidup nyata dari kehidupan kawan dekatku yang penuh dengan perjuangan, pengorbanan dan kesabaran.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar