21 Agustus 2011

PEREMPUAN PEREMPUAN YANG AKU KENAL. I


Seringnya “ngelayap” ke berbagai daerah, mulai dari kilometer 0 (nol) di ujung barat negeri ini, khususnya di Pulau Weh (Sabang) sampai unjun timur Papua, aku banyak mengenal sosok wanita yang mempunyai berbagai perilaku dalam menjalani hidup. Ada seorang perempuan yang “gila pekerjaan” artinya hidup untuk bekerja, mengejar karier, hingga mencapai pucuk pimpinan sampai lupa untuk berumah tangga. Ada seorang wanita yang merantau jauh, mempertahankan hidup demi sesuap nasi dan rela menjual harga diri, seorang ibu yang dikhianati suami, dan berjuang untuk membesarkan anak anak karena suami entah kemana. Dan seorang karena putus asa menghadapi tekanan hidup dan persaingan dalam kehidupan, karena tidak didasari iman yang kuat, mengakhiri hidup di tiang gantung. Sungguh merupakan sebuah pembelajaran dalam hidup. Dan ada yang unik, dia rela menceraikan suaminya yang tidak sejalan dalam menjalani profesinya, akhirnya hidup dengan “keprofisonalannya” dan rela dipinang putra daerah pedalaman.

Seorang kawan yang berhasil dalam menjalani hidup, dengan menimba ilmu diberbagai perguruan tinggi, baik dalam dan luar negeri. Sampai gelar berderet dan mentok, nggak ada gelar lagi yang bisa di sandang. Beberapa puncuk pimpinan perusahaan, sudah diduduki. Bebrbagi negeri telah dilalui, namun terasa hampa ketika masuk di rumah yang mewah. Tak ada sapaan mamah, tak ada panggilan sayang hanya panggilan “ibu” atau “nona” atau disebut sebagai majikan dari seorang pembantu rumah tangga. Tak ada lelaki yang menggandeng berdampingan ketika menghadiri sebuah pesta, hanya staff atau asisten pribadi yang setia, menemani saat meeting atau pergi tugas ke luar daerah.

Suatu kali aku pernah bertanya “Apa yang kau cari dalam hidup ini”. Dia diam, membisu, seolah membayangkan sebuah cita cita yang pernah terlontarkan saat masih belia. Bayangan dalam pikiran saat itu, kepingin memiliki keluarga yang sakinah, dengan sepasang anak, yang lucu, sehingga kelak di kemudian hari bisa merawat dirinya ketika sudah lansia. Karena seorang teman, maka biasa saja ngobrol sana sini, untuk saling mengingatkan akan sebuah kehidupan.

“Kenapa yah nggak dari dulu, aku ambil anak angkat. Sekarang umur sudah kepala lima, baru terpikirkan”, begitu jawaban saat aku “ngobrol” melalui dunia maya, yang letaknya berjauhan. Aku hanya bilang “masih banyak anak terlantar, di berbagai panti asuhan, anak yatim piatu, kamu bisa bantu mereka, agak hidupmu lebih bermakna. Hidup adalah sebuah perjalanan menuju kematian, nikmati saja. Mungkin itu jalan hidupmu, semua sudah ada yang ngatur. Dan kamu harus percaya itu. Kalau niat baik, semua akan berakhir baik”. Begitu aku menulis di YM yang panjang lebar buat kawanku itu.

Perempuan yang aku kenal semacam itu tak hanya satu, rata-rata sama, dan kini hidup sebatang kara. Ada keluarga, saudara, keponakan, namun saling berjauhan. Hijrah ke kota besar, bukanlah segalanya, hanya menikmati dunia, menikmati kehidupan yang fana, namun rasa bathin selalu gundah gulana. Akhirnya memahami arti sebuah kehidupan, bahwa hidup tidak harus mengejar materi, namun perlu juga menata diri. Hidup tidak sendiri, yang selama ini “dilakoni” bagaikan mata kuda. Memandang jalan lurus ke depan, tak peduli dengan kanan kiri. Karena hidup tak bisa sendiri, saling tergantung dan menggantungkan dengan mahluk hidup yang ada di sekitarnya.

Kehidupan yang mapan dengan berbagai materi yang dimiliki, rupanya tidak membawa kebahagiaan. Rumah mewah, kendaraan yang bagus, harga mahal. Pakaian yang “ngejreng” hanyalah sebuah “bungkus” yang menutupi kegundah gulanaan dalam menjalani hidup, Namun walaupun bagaiman dengan gemerlapnya kehidupan, di dalam hati kecil kawan-kawan itu menangis, saat malam tiba, sunyi, sepi, di rumah sendiri. Kadang ada yang ditemani dengan seekor kucing cantik dan mahal yang memerlukan perawatan yang tinggi, atau ditemani perangkat permainan yang yang moderen. Namun tidak dibarengi dengan pergaulan dengan masyarakat sekitar, atau kelompok ibu ibu RT atau RW. Tertutup, mengasingkan diri dan seolah-olah, hanyalah sebuah ritme kerja yang harus dilakukan setiap hari. Hari ini mengulang pekerjaan kemarin, dan melakukan lagi untuk hari esok. Begitu dan begitu seterusnya.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.