Taman Nasional Tanjung Puting, sudah menjadi “icon” dunia bagi wisatawan bila ingin melakukan perjalanan wisata alam dan melihat orangutan. Tahun 1980an, dimana Suaka Margasatwa Tanjung Puting ditetapkan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Tanjung Puting, kunjungan wisatawan masih didominasi oleh para peneliti, baik dari dalam dan luar negeri, yang ingin menggali potensi alam, kekayaan flora dan fauna dan pengembangan sebagai kawasan konservasi dan usaha melestarikannya. Selain itu juga disusun sebuah manajement plan untuk jangka waktu tertentu.
Pertengahan tahun 1980an, wisatawan mulai berdatangan, semenjak Prof. Birute MF Galdikas, PhD memulai mempublikasikan berbagai artikel mengenai orangutan khususunya dan Tanjung Puting pada umumnya ke berbagai publikasi ilmiah dan semi ilmiah, dengan dihiasi berbagai foto kegiatan yang cukup menarik. Hingga akhir tahun 1980an, wisatawan banyak berkunjung untuk melihat kehidupan flora dan fauna yang ada di sana.
Terjadinya “booming” wisatawan mancanegara, yang berkungjung ke kawasan konservasi ini, setelah dilakukan konferensi internasional mengenai “great Ape Conference” yang mengundang pada pakar, peneliti dan penggiat pelestarian “kera besar” seluruh dunia, berdatangan. Baik peneliti orangutan sendiri, peneliti Gorilla dan Simpanse, memberikan masukan untuk program konservasi tersebut. Dan moment itulah untuk mengankat kepariwisataan di Tanjung Puting, dengan ditandatangi sebuah piagam mengenai Tanjung Puting oleh Menteri Pariwisata dan Budaya, Soesilo Soedarman, saat itu. Paska konferensi itulah, banyak biro perjalana wisata yang memasarkan Tanjung Puting dengan “icon” orangutan sebagai “promadona”.
Namun awal tahun 1990an, ketika Tanjung Puting banyak dikunjungi wisatawan, tidak didukung dengan pelestarian alam di daerah hulu Sungai Sekonyer. Saat itu terjadi “demam” emas di hulu sungai. Setiap hari puluhan bahkan ratusan penambang, ramai-ramai menambang dengan menyemprotkan air dengan mesin penyedot ke pasir, dan membuat lubang-lubang, menyerupai danau kecil. Mulai saat itulah Sungai Sekonyer mulai tercemar.
Kolam “renang apung” yang dibangun di Hotel Rimba tak lagi beroperasi, masyarakat Tanjung Harapan, kesulitan air bersih. Buaya mulai mengungsi ke Sungai Sekonyer Simpag Kanan. Era tahun tersebut, Tanjung Puting mengalami ancaman yang serius. Penangkapan ikan arwana, pembalakan liar, penambangan emas, kebakaran hutan. Banyak kayu “glondongan” mengalir di sepanjang sekonyar, dan pernah terjadi beberapa orangtan mati, keracunan karena meminum air sekonyer, akibat kandungan Hcl yang cukup tinggi, akibat kayu ramin yang ditarik di sungai tersebut.
Namun Tanjung Puting tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan, baik dalam dan luar negeri. Wisatawan asing tak banyak pengaruh dengan kerusakan alam, tragedi politik. Karena mereka ingin melihat orangutan, yang relatif lebih mudah dilihat di alam liarnya, bila dibandingkan dengan daerah tujuan wisata lain.
Kunjungan wisata dari tahun ke tahun ada peningkatan. Tahun 2008 kunjungan ke kawasan ini ada 2.391 orang, tahun 2009 adalah 2.344 orang dan 2010 adalah 3.542 orang. Kawasan Tanjung Puting, yang memiliki kekayaan alam ini, rupanya kurang diminati oleh wisatawan nusantara. Walaupun setiap tahun menunjukkan peningkatan, akan tetapi masih dibawah jumlah wisatawan asing. Tahun 2008 (1.066 orang), tahun 2009 (1.512 orang) dan tahun 2010 (2.278 orang).
Semuanya sudah terjadi, kini perlu menatap masa depan kawasan itu, perlu dilindungi, dilestarikan kawasan tersebut. Namun juga perlu pengembangan daerah tujuan wisata lain, agar Tanjung Puting tidak padat. Untuk itulah, diperlukan memeratakan wisata di Kotawaringin Barat, yang memiliki potensi alam dan budaya yang kuat, hingga sangat diperlukan sebuah pengembangan daerah tujuan wisata lain dan menghidupkan kebudayaan yang kental akan “budaya Melayu” dan “budaya Dayak” .
Kunjungan wisatawan pada saat tertentu sangat padat, dan belum dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang handal untuk memberikan pelayanan wisatawan yang datang. Semua belajar secara alami, tanpa ada yang membimbing dan memberikan sertifikasi, sehingga ke depannya agar kawasan ini memberikan nilai yang lebih bagi para penggiat pariwisata serta masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu perlu duduk bersama, merencanakan, mengembangkan, dan memasarkan paket program yang ada. Baik melalui sebuah wadah yang berupa lembaga ataupun forum atau dalam bentuk lain, untuk melakukan pengelolaan dan pengembangan bersama di bidang kepariwisataan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar