25 Desember 2013

PROFESORKU SAYANG

Aku punya banyak profesor yang tersebar di seluruh dunia. Dari kutub utara sampai kutub selatan. Dari seorang ahli semut sampai ahli monyet, dari ahli anak jalanan sampai orang kantoran. Semua adalah professor. Karena memang profesinya seperti itu. Aku pernah dinasehati salah satu profesorku. Kata beliau "hilangkan rasa benci, dengki dan demdam, karena akan menyakiti dirimu sendiri". Aku ingat itu, lewat pesan pendek dari tilpon genggam yang saya miliki. Aku sedih masih ada yang memperhatikan aku. Professor yang aku kenal, memang mereka sudah menduduki tingkat yang tinggi. Kalau di pewayangan atau ceritera rakyat, dia itu sudah menjadi Beghawan, Panditho atau pengayom murid-muridnya. Kasih contoh yang benar, jangan diajarin yang tidak benar, sehingga menjadi liar serta kurang ajar. Aku ingat benar, seorang professor dari Jerman, yang membimbingku menjadi penjelajah negeri, menjelajah dunia, mengarungi kehidupan di hutan di alam, di kampung dan di semua lini kehidupan. Dia yang menceburkan aku ke dunia yang tak pernah aku kenal. "kamu jadi peneliti harus jujur, jangan menyuruh orang mengambil data dan sementara di lapangan orang lain. Kita tidak tahu bahasa satwa, kita hanya menduga apa yang dilakukan satwa. Kalau kelak kamu jadi doktor atau doktor kelak, amalkan elmu yang kau dapat, buatlah generasi penerus, ajarkan mereka tentang kesopanan baik di masyarakat dengan sesama manusia atau mahluk hidup yang ada di alam. Karena mereka mempunyai hak hidup di alam. Jangan diberikan contoh perilaku yang tak benar, nanti akan menimpa kamu sendiri, atau back fire". Aku ingat benar pesan itu, maklum waktu itu masih belasan tahun aku memulai memasuki hutan untuk menjelajah kehidupan di dunia lain, selain dunia remaja. Aku sangat-sangat menekuni duniaku, dunia yang mungkin hanya aku dan Allah yang mengerti. Seorang professor ahli burung mengatakan, "coba lihatlah Edy, di sana ada kehidupan, keindahana karena lingkungan mendukung. Tapi lihatlah di sana, gersang dan semut pun enggan datang. Walau gula bertebaran, namun Gula itu menyakitkan". Entah apa makna. Lama aku merenungi kata filsafat professor dari Amerika itu. Nggak paham, nggak ngarti. Memang aneh, unik, nyentrik, dan ada saja nasehat, arahan, petunjuk, saran dalam mengarungi dunia, dunia kehidupan dan dunia keilmuan. Malah ada seorang profesor yang marah-marah gara-gara hanya sepele, yang kadang nggak masuk akal. Mungkin sudah pikun, atau lupa, atau entahlah. Dia marah, aku pun marah, dan yang tidak karuan, mau dilaporkan ke polisi segala. Namun aku sebagai anak muda, mohon maaf kalau salah. Setiap hari aku jumpa dengan profesor, ada yang dari pesantren, ada yang dari kalangan masyarakat, ada yang dari perguruan tinggi, ada juga yang dari petani. Semua aku anggap sebagai professor, karena punya elmu, karena punya keahlian. Namun kebanyakan profesorku itu dari universitas terbuka. Ngajar dan kampusnya di hutan, di sungai, di laut, di kebun, dimana saja, kapan saja, siapa saja yang jadi mahasiswanya. Tidak pernah dapat gelat, tidah juga mendapatkan ijasah. Hanya Allah SWT yang mengakui. Suatu kali di lereng gunung yang dingin, aku jompa seorang professor. Dalam keheranan, aku bertanya. "Pak, lahan bapak luas, rumah bapak bagus, bangunan banyak untuk penginapan. kenapa nggak dipagerin pak", tanyaku lugu dan singkat. Sambil mengisap rokok kesayangannya, beliau menjawab "pagar rumah dan pekarangan saya, adalah silaturahmi". Silaturahmi, ya silaturahmi dengan tetangga, dengan masyarakat sekitar, dengan begitu, masyarakat ikut menjaga. Luar biasa, philosofi dan kata mutiara dalam kehidupan bertetangga. Profesor juga manusia, makan nasi dan doyan terasi, kadang salah, kadang benar. Ada yang menerima apa adanya, namun ada pula yang selalu ingin mencari lebih. Aku pernah menasehati para profesor "apa yang dicari dalam hidup ini prof ?, kita nikmati saja sisa hidup ini, kita jalani saja perjalanan yang ada, hidup sudah ada yang mengatur, mensyukuri akan memperpanjang rejeki". Yah profesor, kata-katanya kadang bijak, menjadikan sebuah nasehat, namun kadang sesat. Tapi aku memaklumi, aku ambil yang baik saja, aku lupakan yang tidak pas untuk pegangan atau panutan. Terima kasih profesor, elmu yang telah kau berikan padaku......

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.