25 Februari 2012
PESAN DARI ALAM : HUTAN TROPIS TERSERANG KANKER
Banyak orang bilang, bahwa hutan tropik, termasuk yang ada di Indonesia, merupakan paru-parunya dunia. Paru-paru itu akan terus berdenyut setiap detik, setiap menit, setiap jam dan sepanjang kehidupan ini masih ada. Akan tetapi, bagaimana kalau paru-paru dunia itu sudah terserang berbagai penyakit, seperti kanker atau
terserang TBC? Tentu paru-paru dunia itu tidak bekerja secara maksimal, nafas tersendat-sendat, dan dampaknya adalah badan sendiri tidak sehat, lemas dan loyo.
Demikian juga kalau hutan kita sudah mulai rusak seperti penebangan yang tak terkendali atau terjadi kebakaran, untuk perkebunan, perladangan dan sebagainya, yang terus menggerogoti paru- paru dunia tersebut. Tentu dunia ini yang kita ibaratkan sebagai badan, akan terganggu juga. Seperti yang sudah nampak, yaitu pemanasan global yang mengakibatkan berubahnya semua iklim, timbul berbagai penyakit, bencana di mana-mana. Itulah akibat dari terserangnya “kanker” di dalam “paru-paru” dunia tersebut.
Bagaimana cara mengobati “kanker ” di dalam paru-paru dunia tersebut, agar badan menjadi sehat ?
Sudah banyak kegiatan yang dilakukan, untuk memperbaiki hutan. Tidak hanya aksi kegiatan dengan penanaman, tetapi juga kampanye di berbagai media cetak dan elektronik, pembuatan poster, dan pendidikan lingkungan. Banyak lembaga swadaya masyarakat bermunculan, banyak donatur memberikan bantuan. Namun sepanjang manusianya sendiri sulit disadarkan, tidak menyadari, tak mudah untuk merubah perilaku
ataupun tidak peduli dengan dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya “paru-paru” dunia itu, apalah artinya semua itu.
Kadang manusia mulai menyadari ketika sudah tertimpa akibatnya, harta benda dan korban manusia berjatuhan. Barulah mau bertindak. Pada hal Tuhan sudah memperingatkan berkali-kali dalam Al Quran, akan tanda-tanda kerusakan bumi, namun kita belum melakukan apa yang sudah diperingatkan kepada kita semua.
Baru-baru ini banjir dimana-mana bandang, membuka mata kita semua. Air bah yang menyapu perkampungan dan menewaskan puluhan jiwa manusia. Rumah hanyut dan sawah tak jadi panen. Semua itu akibat hilangnya hutan. Kita dapat melakukan dan bertindak, untuk menyelamatkan kehidupan tidak hanya untuk hari ini, atau hari esok, tetapi untuk masa yang akan datang (FOTO DOKUMEN OFI)
11 Februari 2012
PESAN DARI ALAM 2
“Telah nampak tanda-tanda kerusakan bumi ini (baik di darat, di laut ataupun di udara) karena perbuatan manusia ........”. Sebuah kutipan dari Kitab Suci Umat Islam, yaitu Surat Ar Rum ayat 43, kini memang sudah mulai nampak atau bahkan kenyataan sudah terjadi. Bencana silih berganti, musim hujan tidak menentu dan musim kemarau, kapan akan datang dan berakhir. Sementara ekploitasi sumber daya alam berlebihan, guna mencukupi kebutuhan akan energi manusia.
Hutan tropis yang menjadi paru-paru bumi, banyak yang sudah berubah fungsi, untuk berbagai kepentingan. Bila diibaratkan “hutan tropis” itu sebagai paru-paru bumi, maka paru-paru itu sudah terserang kanker yang akut. Di mana-mana hutan itu sudah menjadi perkebunan, pemukiman, atau malah hitam kelam karena terbakar atau terkoyak untuk diambil bahan tambangnya.
Serangan “kanker ” hutan tropis itu semakin akut. Pengobatan demi pengobatan, seperti penghijauan ataupun perlindungan, belum seimbang dengan kerusakannya. Undang-undang yang telah ditetapkan, masih banyak yang melanggar.
Kini iklim sudah berubah. Suhu di permukaan bumi mulai meningkat, walau sedikit, namun pasti. Gunung es di kutub, mulai mencair. Salju abadi di Puncak Jaya Wijaya, Papua, mulai berkurang. Namun masih ada titik harapan untuk memperpanjang kehidupan dan mencegah kehancuran, asalkan kita mau, tentu bisa. (Illustrasi Dok FFI Program Aceh)
10 Februari 2012
JALAN JALAN KE DANAU SENTARUM KALBAR
Begitu mencapai di puncak Bukit Kenangan, yang berada di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, saya hanya berucap, indah sekali. Hamparan hutan yang masih hijau, dan disekat dengan perairan, yang berliku liku, di dalam benak saya, sangat bagus untuk berpetualang di sela-sela hutan itu. Memang kebetulan pas air pasang, sehingga rawa yang ada tergenangi dengan air.
Itulah Danau Sentarum, yang telah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tanggal 4 Februari 1999, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 34/Kpts-II/99 tentang perubahan fungsi Suaka Margasatwa, kawasan Hutan Produksi dan kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi seluas 129.700 ha dan penunjukkan areal penggunaan lain seluas 2.300 ha, yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Kapuas Hulu, Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Danau Sentarum. Hingga akhirnya luas taman nasional ini adalah 129.700 hektar.
Secara geografis terletak pada 0000'-0059' Lintang Utara dan 111007'-112016'29" Bujur Timur dan secara administratif berada di enam wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Batang Lupar, Kecamatan Embau, Kecamatan Empanang, Kecamatan Selimbau dan Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat.
Untuk menuju ke Danau Sentarum, kini tidaklah sulit. Penerbangan dari Pontianak 1 minggu ada 4 kali penerbangan ke Putusibau. Kemudian dari Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu ini, menuju ke Danau sentarus dapat ditempuh dengan jalan darat selama 3-4 jam, ke Kecamatan Lanjak.
Dari ibukota kecamatan ini, dimulai berpetualang menelusuri Danau Sentarum. Berbagai jenis burung dapat ditemukan, primata dan bekantan, juga masih dapat ditemui di beberapa titik. Hal ini yang perlu dikembangkan menjadi sebuah paket wisata.
Namun Danau Sentarum, tidak sepanjang tahun digenangi dengan air. Saat musim kemarau, hanya sungai-sungai kecil saja yang membentang dan mengalir ke Sungai Kapuas, dan saat ini ikan sangat melimpah dan penduduk panen raya. Sedangkan bila musim penghujan, masyarakat paceklik, karena sulit untuk memancing ikan.
Menurut beberapa pengamat, Danau Sentarum menampung lebih kurang 25% air Sungai Kapuas, sehingga sangat membantu untuk menampung air sungai yang terpanjang di Kalimantan itu, sebelum dialirkan ke muara. Tidak terbayangkan bila danau itu rusak, maka Pontianak akan menerima limpahan sungai yang mengalir dari hulu, tanpa harus disinpan di danau tersebut.
Ancaman demi ancaman, tentu selalu ada, sebagian hutan yang berfungsi sebagai daerah penangkap hujan, sudah berubah menjadi berbbagai kepentingan, seperti perkebunan. Sangat diperlukan perhatian lebih untuk menjaga kelestarian hutan yang ada di sekelilingnya.(Foto : Edy Hendras W)
JALAN JALAN KE KAWAH IJEN
Masih pagi buta sekitar jam 04.00 aku dibangunkan, belum juga azan subuh berkumandang. Hawa sejuk di penginapan Ijen Resort ini. AKu dan tim, memang sedang mencari kawasan lokasi untuk wisata yang ringan tapi menantang di seputaran Jawa Timur.
Masih gelap gulita, jeep yang membawaku memulai merayap bukit-bukit kecil untul menuju ke kawah Ijen. Kabut mulai turun, sehingga Jepp yang aku tumpangi merayap perlahan. Selain jalan yang sempit, juga beberapa ruas jalan masih ada berlubang.
Memang malam itu hujan rintik-rintik, sehingga membuat jalan menuju pemberhentian terakhir itu cukup licin. Sejam kemudian, tibalah kami di lapangan parker yang cukup luas. Enak rasanya sebelum mendaki ke Kawah Ijen, harus menghangat tubuh dulu, dengan menyerutup kopi panas serta beberapa gorengan yang sudah tersedia.
Setelah semua beres, mulai dari pengurusan atau pembelian tiket masuk di Pos terakhir, mulailah kami berjalan. Di papan penunjuk tertera, bahwa dari Pos jaga menuju ke Kawah ijen adalah 3 kilometer. Bayanganku “ Ah cuman tiga kilo, tak jauhlah. Paling 1 jam sampai”, pikirku.
Setapak demi setapak aku melangkah. Semakin jauh, kok semakin menanjak. Napas sudah Senin Kamis. Mulailah aku mengatur nafas agar tidak terlalu “ngos ngos an”. Maka setiap langkah aku hirup udara 2 kali melalui hidung, dan aku hembuskan dua kali melalui mulut. Maka nafasku mulai normal kembali.
Ah, rupanya umur nggak bisa dibohongin. Sudah kepala lima, rupanya bepengaruh juga, apa lagi kebiasaan jelek yang masih selalu saya jalankan, yaitu merokok.
Patok demi patok aku hitung. Setiap patok seratus meter. Aku baru melalui 16 patok, artinya masih 14 patok lagi. Namun aku terhibur berkenalan dengan pak Mislan, pengambil batu belerang dari kawah Ijen sana.
Rupanya sambil ngobrol dan berjalan walau nanjak, tak terasa juga. Malah pak Mislan memberikan kiat: “ Kalau jalan menanjak, jangan tatap jalan di depan sana, tapi tataplah ijung kaki”, sarannya singkat.
Pak Mislan yang lahir tahun 1949, artinya sudah berumur 61 tahun, setiap pagi masih merjuang untuk mempertahankan hidup, dengan mengambil batu belerang. Bapak yang sejak tahun 1969 ini, kini hanya mampu memikil 50an kilogram belerang yang dipikulnya. Dengan harga perkilo Rp 600,-, artinya pak Mislan sehari mendapatkan uang sekitar Rp 30.000,-.
“Dulu saya masih kuat sehari 2 kali dengan beban 70-80 kilogram per pikul, sekarang sekali saja. Habis bagaimana, tidak ada lagi pekerjaan selain mengambil belerang”, katanya lirih.
“Hari ini adalah minggu, jadi tidak banyak orang yang libur. Kalau hari biasa sampai 300 pemikul batu belerang”, sambung Pak Mislan. Semakin hari semakin banyak penambang belerang ini, Hingga April 2010, konon sudah ada 500 an orang yang menambang. Namun untuk menghindari ramainya lalu lintas pemikul dan ramainya pengunjung, maka oleh perusahaan dibatasi.
Tak terasa sampailah sudah di patok 20, artinya baru 2 kilometer aku menempuh perjalanan, dan memakan waktu 1,5 jam. Sambil menunggu kawan yang jauh tertinggal, maka aku berkesempatan untuk istirohat. Pada patok 20 ini ada warung, dan tempat berkemah bagi para pelancong yang ingin tidur di kawasan wisata ini.
Lamat-lamat kawanku memulai nampak, selangkah demi selangkah tapi pasti, Dan akhirnya sampai juga. Diberi kesempatan untuk istirahat dulu. Kemudian melanjutkan perjalanan. Etape ini, tidak terlalu banyak menanjak. Lebih kurang 3 patok, jalan memulai mendatar, memutar menuju kawah ijen. Sampailah pada patok 32. Ah rupanya ada bonus 2 patok atau 200 meter untuk bisa melihat kawah. Itupun masih ada bonus sekitar 500 meter untuk sampai ke kawahnya, di bawah dimana orang penambang mengambil belerang. AKu nggak ke bawah, cukup di atas melihat indahnya kawah Ijen. Nggak ke bayang, kalau sudah ke bawah menanjak lagi. Wow, tanjakannya mesti merayap.
Angin memang tidah stabil. Kadang tenang, sehingga kawah bias terlihat hijau tua, indah. Namun kadang angin datang ke arah kami, sehingga uap air yang berbau belerang menutupi pandangan. Air matapun berlinang, karena pedih, nafas juga sesak kalau terlalu lama tertutup asap ini. Ada kiat, menggunakan sapu tangan untuk menutup hidung, dan terlebih dahulu dibasahi dengan air. Kalau kacamata dapat menggunakan kacamata yang rapat, agar tidak ada asap yang masuk ke mata.
Panas memulai menyengat, perutpun sudah teriak minta diisi. Maka lebih kurang 1 jam kami menikmati fenomena alam yang indah ini. Kawasan ini banyak sekali dikunjung para wisatawan, dan malah banyak orang asing. Sepanjang perjalanan, wisatawan ini banyak bertanya kepada pemandu yang mendampinginya. Walau nafas terengah-engah, namun semua pertanyaan dijawab oleh pemandu.
Wisata ini juga cocok untuk segala umur. Anak-anak SD juga tampak dengan riang gembira berjalan menanjak, malah mereka sepertinya masih punya nafas panjang. Itu sekelumit perjalanan menuju Kawah Ijen. Kali ini aku akan menelusuri pesisir selatan menuju Taman Nasional Meru Betiri.
PESAN DARI ALAM
Sebenarnya manusia itu daapat hidup secara harmonis dengan alam, tidak saling mengganggu, namun saling menguntungkan. Seperti petuah Pujangga Besar Ki Ronggo Warsito, dalam sebuah tembang, yang mengkisahkan tentang pesengketaan antara Gajah dan manusia. Namun karena ada kesepakatan, walaupun telah mengorbankan jiwa di kedua belah pihak, akhirnya ada sebuah perjanjian tidak tertulis antara Bathara Ghana (Dewa Gajah) dan Raden Sotasoma, seorang ksatria sakti yang membantu melawan pertikaian antara Gajah dan Manusia. Dimana manusia wajib menghormati wilayah kehidupan Gajah dan satwa lain, tidak mengganggu, tidak membabat. Namun juga demikian, Gajah dan semua satwa yang tinggal di hutan, tidak akan mengganggu manusia, termasuk lahan usha dari pertanian.
Namun hal ini sudah berubah, banyak satwa dianggap sebagai hama pengganggu tanaman palawija, perkebunan dan keselamatan manusia. Sementara semua hewan sudah kehilangan tempat tinggal dan lahan untuk mencari makan. Pelanggaran sudah terjadi, dan kini konflik satwa dan manusia, terjadi dimana mana, siapa yang salah.
Tentu satwa yang selalu dikalahkan. Mereka tak mempunyai pembela, hanya beberapa gelintir manusia yang membela demi kelangsungan hidup satwa dan tempat hidupnya. karena lambat atau cepat, akibat kerusakan lingkungan berdampak pada kehidupan manusia. Kini saatnya hidup berdampingan dengan alam, membantu melestarikan alam dan lingkungan, tidak merusak, tidak menjarah. Menyisakan lahan untuk kehidupan satwa khas Indonesia, demi masa kini, esok dan masa depan yang lebih baik (Foto Fajar Dewanto/OFI)
Langganan:
Postingan (Atom)