05 Februari 2010

Dari Desa ke Desa


Suatu kali, saya ada kesempatan keliling-keliling di daerah perbatasan Banten dan Jawa Barat, tujuan utamanya sih untuk melakukan pengamatan fauna dan flora. Oleh karenanya saya dan kawan yang merupakan tim pengamat yang terdiri dari pengamatan satwa terutama burung, mamalia dan pengamat flora.
Dengan kendaraan, tim keliling-keliling keluar masuk desa, kebun, perkebunan dan sampailah di daerah kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Perjalanan diawali dari barat yaitu di labuhan, kemudian menembus ke Malingping, Bayah, Cikotok menembus ke pegunungan, naik turun bukit, jalan sempit berbatu dan tembus ke Citorek. Sesekali mobil yang bukan 4x4 terpater, namun dengan keyakinan, pasti bisa dan bisa menembus jantung kawasan taman nasional.
Sepanjang jalan, dari Cikotok yang memang sudah dikenal menjadi daerah "penggilingan" batu yang mengandung emas itu, banyak lalu lang kendaraan jeep yang mengankut karung-karung berisi bebatuan yang konon mengandung emas. Semakin memasuki ke dalam pegunungan dan desa-desa, motor lalu lalang membawa karung2 yang berisi emas.
Sesekali di sepanjang jalan itu terdapat tanah longsor, bebatuan kecil menutupi jalan, seprihan-serpihan batuan itu ada yang memilah, memilih, batu-batu itu dengan harapan mengambil ada sebutir emas yang nantinya akan mendapatkan rejeki untuk menopang hidup keluarga.
Tak hanya diperkampungan yang terdengan mesin yang menjalankan silinder penghancur bebatuan, namun nun di dalam jurang yang dalam, terdapat tenda-tenda yang berada di lereng-lereng. Nampak para pekerja melakukan kegiatan untuk menghancurkan bebatuan dan menyaringnya, serta memisahkan antara butiran emas dan pasir.
Sesekali dikejutkan di pinggiran jalan terdapat puluhan motor yang parkir. Pikiran saya ada hajatan atau kegiatan. tetapi mengapa di dalam hutan. Oh, rupanya motor-motor itu merupakan kendaraan para penggali, dan pemecah batu yang ada diperbukitan.
Dari jalan lintas di tengah kawasan taman nasional, nun jauh di sana terdapat tebing-tebing yang berlubang. Saya teringat akan kuburan orang Toraja yang menyimpan jasar di tebing-tebing yang curam. Namun gua-gua kecil ini bukanlah kuburan, akan tetapi gua-gua yang "dibobok" penggali untuk mendapatkan kepingan bebatuan. Namun beberapa berita pernah mengabarkan, bahwa lubang-lubang ini juga pernah menjadi kuburan para penggali batu, karena tanah "ambleg" dan longsor.
Mobil melaju perlahan dengan pasti. Karena kami sesekali harus turun melakukan pengamatan flora dan fauna. Meneropong burung elang yang melayang-layang diangkasa, dan mengdentifikasi jenis-jenis yang diamati. Ada beberapa jenis elang yang merupakan "burung migran" yang melakukan perjalanan yang jauh.
Sungai di sepanjang jalan nampak jernih, menggiurkan, dan menggoda untuk mengambil, dan membasuhkan ke muka yang penat dan panas. Namun teringat, bahwa sengai dan air ini, kemungkinan sudah tidak sehat lagi. Karena di sana-sini sudah menjadi pembuangan aliran limbah dari penambang. Beberapa gua sudah ditutup dengan beton semen, tetapi kadang-kadang di beberapa tempat masih ada orang yang memungut serpihan batu-batu.
Seingat saya, sewaktu melihat penambangan emas tradisional di pedalaman Kalimantan Tengah, masyarakat masih menggunakan peralatan yang benar-benar tradisional, tidak menggunakan bahan kimia, dan tidak merusak tutupan hutan. Pasir yang diperkirakan mengandung emas, didulang, kemudian pasir hitan yang bercampur dengan butir-butir lembut emas dipisahkan. Untuk memisahkan butiran emas yang lebut dengan pasir, cukup dengan memamanaskan pada piting yang terbuat dari seng. Emas dan pasir terpisah. Emas mencair, dan menggumpal menjadi satu, sedangkan pasir yang tak bisa mencair terpisah. Kemudian dengan tiupan, pasir keluar, dan emas dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol.
Namun kini berbeda, para pencari emas, berusaha mendapatkan emas banyak dengan cara yang singkat. Menggali lubang, mengambil bebatuan atau menyemprotkan tebing yang berpasit dengan mesin pompa tekanan tinggi. air yang mengalir yang berupa lumpur, dialirkan pada parit-parit dan di saring. Untiuk memisahkan emas, umumnya menggunakan air raksa atau mercury. Akan tetapi beberapa peneliti yang pernah mengamati, kini didaerah penambangan emas atau sering disebut "gurandil" ini kini menggunakan zat yang sangat berbahaya, yaitu Sianida..ow gila.
Kini kita mesti waspada, dan harus waspada pada sungai-sungai yang berhulu di pegunungan, dimana telah menjadi daerah pertambangan. Daerah yang kami lalui merupakan hulu sungai yang mengalir ke utara, artinya Banten bagian pesisir utara, dan ada sungai yang mengalir ke selatan yang bermuara di Samudra Hindia.
Kemungkinan kini belum nampak dampak yang diakibatkan oleh zat kimia yang mengalir ke sungai. Mungkinkah di masa yang akan datang, anak-anak yang terlahir ada pengaruhnya. Aku selalu ingat kasus teluk Minamata Jepang yang merupakan kasus bencana lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran Mercury.
Entah sadar atau tidak, entah tahu atau nggak mau tahu, masak bodoh dengan dampak yang diakibatkan oleh aktifitas yang merusak lingkungan. Mudah-mudahan ada penggiat liangkungan, yang memberikan penyadaran kepada masyarakat, tentang bahayanya kerusakan lingkungan dan pencemaran air bagi generasi mendatang. (Foto oleh Willy Ekariono, air sungai yang lembut dan indah di salah satu air terjun di sepanjang perjalanan)
Banten Akhir Januari 2010,

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sangat mencemaskan sekali... mercury dan sianida... di alam yg indah...
Mas Edy, terima kasih atas semua blog anda yg sangat informatif.

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.