CINTA DAN JANJI
Namanya Pak Bowo, guruku. Dia mengajar Bahasa Inggris di sebuah SMP swasta yang tidak terkenal, dan aku belajar di sekolah itu. Sekolahnya tak megah, nampak dari jauh seperti gudang. Memang sekolah ini dulunya adalah gudang garam, untuk menampung garam sebelum dikirim key kota lain. Maka banyak orang menyebutnya SMP Gudang Garam.
Lokasi dibilang ramai juga bisa, karena dekat dengan pasar dan stasiun. Bisa dibilang lokasinya angker, karena dibelakang sekolahku itu adalah kuburan umum.
Pak Bowo orangnya cukup ganteng, putih bersih dan tentunya banyak gadis yang suka sama dia. Hidup sendiri, di rumah kos dan kebetulan dekat dengan tempat kosku. Aku sering berkunjung key rumah Pak Bowo. Karena dia ramah dan tak membedakan mana murid yang pinter dan yang kurang. Malah aku sering minta diajari bahasa Inggris, karena aku kurang nilainya bila ulangan dilakukan.
Suatu hari di malam minggu Pak Bowo keluar, dengan sepeda onthelnya. Maklum waktu itu masih belum banyak yang punya sepeda motor. Tahun 70-an sepeda motor masih menjadi barang mewah di kotaku yang kecil dan minus di pantai utara Jawa itu. Selain itu gaji guru juga tak seberapa dan tak cukup untuk membeli kendaraan bermotor.
Aku tak tahu persis mau kemana, Pak Bowo malam itu. Yang jelas setiap Sabtu malam dia keluar, mungkin ngapel ke tempat pacarnya. Entahlah, bukan urusanku.
Malam itu kebetulan terang bulan. Aku keluar dengan kawan-kawan kosku. Biasanya terang bulan purnama seperti ini, banyak orang nongkrong di pantai. Sambil memandang laut yang indah. Dan dikejauhan sana terlihat kelap kelipnya perahu nelayan yang melaut.
Kadang-kadang ada juga orang yang mincing. Dengan melemparkan kailnya key laut, dan menunggu ikan memakan umpan itu.
Malam itu cukup ramai di pantai bekas pelabuhan ini. Pelabuhan ini menjorok ke laut, dan dibuat sedemikian rupa agar perahu nelayan atau perahu saudagar mudah untu berlabuh. Pelabuhan ini sangat bersejartah. Konon khabarnya banyak kapal saudagar Cina yang mendarat di pelabuhan ini. Memanjang menjorok ke tengah laut. Dan orang menyebutnya Boom.
Secara tak sengaja aku ketemu Pak Bowo, sedan makan bakso di kios dadakan, atau warung tenda yang buka di malam hari. Aku tak menegor, karena tak enak, dia sedang asyik dengan teman wanitanya. Ah .. mungkin pacarnya, dalam hatiku berkata. Aku terus mengayuh dan mengayuih sepedaku semakin dalam memasuki pelabuhan.
Aku termenung, bertumpang dagu dan duduk di boncengan sepeda jengkiku, entah apa yang aku pikirkan saat itu. Ombak silih berganti dating dan pecah di bebatuan pelabuhan. Kawanku diam memandang lautan. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan tepukan di pundakku.
“ Ed, lagi ngapain, ngelamun”, sapanya.
“Enggak, lagi ngeliat kapal yang jalan di tengah lautan itu lho” jawabku. Dan aku menoleh, alangkah kagetnya aku, yang menegur adalah Pak Bowo.
“Ed, ini kenalin mbak Nita, guru bahasa Indonesia di SMI Negeri satu” kata Pak Bowo. Aku mengulurkan tangan dan menyalami Ibu Nita.
“Saya Edy, murid Pak Bowo, kebetulan satu kos-kosan”, aku menjelaskan kepada Ibu Nita, yang ternyata cantik juga, di remang-remang sinar rembulan.
“Koq tahu saya Pak “, tanyaku key Pak Bowo.
“Sepedamu, dan kaosmu yang jarang orang punya, gambar monyet”.
Angin laut hangat bertiup, kami berempat mengobrol ngalor ngidul entah kemana. Dan akhirnya Pak Bowo dan Bu Nita pamit duluan, aku dan kawanku masih asyik menikmati indahnya malam di pantai ini.
Jam sebelas malam kami sampai di rumah, Pak Bowo belum nampak sepeda “onthelnya”, karena biasa di simpan di garasi sebelah kama. Aku, key ruang tengah menonton film akhir pekan yang di putar TVRI, bergabung dengan teman kost yang lain.
Setenhah jam kemudian terlihat Pak Bowo kembali dan menyimpan sepeda. Biasa dia suka membunyikan bel “kring ..kring .. “ untuk minta dibukakan pintu. Mak Pinah yang kebetulan belum tidur, menolong membukakan pintu Pak Bowo.
“Belum pada tidur”, Tanya Pak Bowo ke kami yang masih menonton film.
“Belum, pak” Jawabku singkat.
Dia lantas masuk kamar dan entah apa yang dilakukan aku tak memperhatikan. Yang terdengar hanya membuka pintu dan setelah itu tak ada suaranya. Mungkin kecapaian.
Minggu pagi, kami biasa sholat shubuh berjamaah di mushola yang jauh dengan kost kami. Pah Haji Akhmad yang menjadi imam saat itu. Setelah itu kami, olah raga lari pagi keliling kota, yang jaraknya tak lebih dari 5 kilometer.
Di jalan itulah Pak Bowo ceritera, atau minta pendapat, tentang Ibu Nita.
“Cantik koq, Pak” jawab saya singkat.
“Bukan masalah itu, aku mau minta tolong. Sore ini kamu mau kemana?”
“Boleh pak, saya nggak kemana-mana. Apa yang bias saya Bantu?”, tanya saya sambil nafasku terengah-engah.
“Setelah ini tolong ambilkan mesin ketik ke rumah Mbak Nita, karena aku mau jemput pamanku yang dating dari kampung, ingin menengok bibi yang sedang di rawat di rumah sakit. Karena mbak Nita mau ke luar kota nanti jam 10-an”, jelas Pak Bowo.
“Siap pak”, jawabku singkat.
Sesampainya di rumah kos, aku mandi dan makan pagi, terus key rumah Bu Nita, dan sebelumnya menanyakan alamat yang tepat. Dengan menggunakan sepeda jengki kesayanganku, akau berangkat mengayuh sepeda. Jarak dari rumah kos ke Bu Nita tak terlalu jauh, sekitar 4 kilometeran.
Tak mengalami kesulitan, mencari rumah Bu Nita. Setelah mengetok pintu, tak berapa lami, iapun keluar. Wah cantiknya Bu Nita. Aku mau diajar dengan guru yang secantik ini. Kemudian aku menjelaskan maksud kedatangaku ke sini, atas perintah Pak Bowo untuk mengambil atau meminjam mesin ketik. Karena Pak Bowo akan membuat soal untuk ulangan harian esok hari.
Tak banyak cakap. Bu Nita mengambilkan mesin ketik mungil. Dan sudah dimasukan ke dalam tasnya. Tak lama akupun pamitan, karena beliau akan segera key luar kota. Dia hanya titip salam untuk Pak Bowo.
Selama dalam perjalanan, aku tak membayangkan. Mungkinkah ini yang namanya pacara, atau cinta. Aku belum tahu karena masih ingusan, paling cinta monyet. Maklumlah seumurku masih bocah yang masih senang main. Hanya lagu lagu cinta yang aku ketahui, dan aku nyanyikan sepanjang jalan sambil mengikuti irama ayuhan sepeda.
Pak Bowo sudah berangkat jemput pamannya dan mungkin key rumah sakit untuk “membesok” bibinya yang dirawat di rumah sakit.
Senja, sebelum Magrib, Pak Bowo datang, dan mengucapkan terima kasih. Aku sampaikan pesan “salam” dari Bu Nita. Entah apa yang terbayang di wajah Pak Bowo saat itu, karena saat saya menyampaikan salamnya, terlintas di wajahnya, merah dan menatapku dalam-dalam. Dan sekali lagi dia mengucapkan terima kasih.
Ketika aku sedang belajar, dan menyiapkan buku untuk esok hari, Pak Bowo masuk key kamar ku. Dia menanyakan Bu Nita berangkat jam berapa. Aku jelaskan, saat aku tiba dirumah dan mengambil mesik ketik, beliau sudah siap untuk berangkat, kira-kira jam 09.00.
Jam 21.00 saat kami semua menonton Dunia dalam Berita TVRI, Pak Bowo tak nampak. Mungkin capai dan istirahat di kamarnya. Namun terdengar suara orang mengetik. Wah, lagi bekerja pikirku. Akau dan kawan kos masih asyik melihat berita manca negara.
Esok pagi sekitar jal 05.00 lebih sedikit Pak Bowo masuk ke kamarku, dan mengajak key kamarnya. Dia menunjukkan kertas merah muda yang ada di mesin ketik. Aku juga kaget, pada hal mesin ketik itu saat aku bawa tak ada kertas, karena aku sempat perikasa. Dan Pak Bowo belum sempat membuka, karena dia akan mengetik setelah sholat Shubuh untuk membuat soal ulangan harian.
Pak Bowo berusaha menenangkan diri, ah mungkin Bu Nita sengaja menyelipkan kertas itu tanda cintanya kepada Pak Bowo. Dan akupun begitu, mungkin aku kurang telita saat membuka. Pak Bowo melanjutkan pekerjaannya, dan kertas itu di simpannya di atas meja.
Jam 06.30, kawan sekelasku mampir key tempat kos, karena sejalan, kami sering boncengan sepeda. Namun kedatangan kawanku tadi juga membawa berita. Bahwa tetangganya yang guru di SMP Negeri I semalam mengalami kecelakaan meninggal, saat ini jenazahnya sudah tiba di rumahnya subuh jam 04.30 tadi. Aku bertanya siapa namanya, dengan singkat kawanku tadi menjawah “Bu Anita Kusumaningrum”. Jantungku berdetak semakin kencang, pandanganku melayang dan membayangkan kertas merah jambu yang ada di mesin ketik dan suara orang mengetik, sekitar jam 21.00-an.
Aku memberanikan diri memasuki kamar Pak Bowo yang sudah siap untuk berangkat. Dan aku menatapnya, serta melirik kertas merah jambu tadi.
“Ada apa Ed?” tanya Pak Bowo singkat.
Aku tak dapat berkata, hanya melihat dan ingin mengetahui tulisan yang ada di dalam kertas merah jambu itu. Pak Bowo mengambil kertas merah jambu dan membaca dengan seksama.
“Bowo, aku pergi dulu ya sayang. Aku mencintaimu, tetapi aku harus pergi jauh. Dan pasti kita akan bertemu suatu saat nanti.”
Love, Anita Kusumaningrum.
“Pak, teman saya datang dan memberi tahu bahwa Bu Anita kecelakaan dan .. dan ….”, kataku lirh dan gemetar, dan untuk mengatakan yang sesngguhnya tiba-tiba berhenti dan tak tega untuk mengeluarkan kata tersebut. Namun dilihat dari wajah Pak Bowo nampak kekagetan yang luar biasa..
“Apa?” …
Pak Bowo lantas duduk di kursi kerjanya, dan mengamati dengan seksama kertas dan tulisan itu. Dia mengira tulisan itu hanya pesan saat dia pergi.
Selama menuju ke rumah almarhumah Bu Nita, aku ceriterakan kejadian semalam saat ada suara orang mengetik. Tapi Pak Bowo tidak bekerja malam itu, dia tidur lelap semenjak pk 20.30. Mungkin Bu Nita pamitan saat meninggal dunia, karena cintanya dan janji akan merencanakan persiapan pernikahan dua bulan mendatang.
Pesisir, 1974
10 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar