10 Februari 2009

BENDERA SETENGAH TIANG

Oleh : Edy Hendras Wahyono.
Ngadimun masih memandang bendera yang dipasang di halaman rumahnya yang sempit di sebuah desa pinggiran hutan itu. Dia ingat benar kakaknya Ngadiman saat merobek bendera merah putih biru, benderanya kompeni, yang dirobek warna biru dengan arit alat untuk mencari rumput, sehingga hanya merah putih saja yang ada. Dengan merobek bendera itu, dua kawannya tertembus peluru, dan Ngadiman lari pontang panting memasuki hutan dengan hujan peluru yang mendesing. Tuhan masih melindungi nyawa Ngadiman, karena terperosot ke tebing, dan para kompeni mengurungkan untuk mengejar, ekstrimis-ekstrimis itu.

Ngadimun ingat juga, ketika dengan aritnya, memutuskan jembatang bambu yang melintas ke desanya, yang melintang Kali Gede dan menghubungkan dua tebing yang menuju ke Desa Gondang Legi, agar para pejuang yang bermarkas di desanya selamat. Kemudia lari pontang-panting untuk memberikan berita kepada komandan Mardi agar bersembunyi di hutan sebelah, karena kompeni telah mencium markas persembunyian.

Maka tak salah kalau Ngadimun mengibarkan bendera setengah tiang, saat kakaknya Ngadiman meninggal dunia, karena penyakit yang menyerang tubuhnya yang kerempeng, kurus kering, tak terurus, karena keadaan di desanya yang benar-benar minus. Ngadimun menganggap kakaknya seorang pahlawan sejati bagi keluarga, yang menyelamatkan keluarga, desa dan negaranya saat itu yang sedang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik tercinta ini.

Anak-anak muda yang berlalu lalang melewati rumah Ngadimun, mungkin terheran-heran. Tak ada pengumuman di televisi, di radio ataupun di surat kabar, bahwa hari ini ada seorang pahlawan yang meninggal dunia. Atau bukan pula memperingati hari besar nasional, atau hari berkabung nasional, namun di rumah gubug reyot terkibar bendera setengah tiang, dengan bendera merah putih yang sudah lusuh, dan ukurannyapun tidak simetris sesuai dengan aturan yang ada.

“ Pak De, ini beras titipan emak, untuk selametan 3 harinya Pak De Ngadiman nanti malam”, sapa Jasmin keponakannya yang membubarkan lamunan Ngadimun mengenang kakaknya yang tercinta yang meninggal hari Sabtu Wage, 2 hari yang lalu.

“ Oh iya Jas, nanti malem pada datang kan. Yasinan mendoakan Pak De mu semoga arwahnya mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan amal dan ibadah nya”, jawab Ngadimun.

“Wah ya jelas pak de. Malah Bapak nanti malam mau ngajak Pak Lik Ngadiyoyang kebetulan hari ini datang juga, dan teman-temanya seperti pak ustadz guru ngaji saya dulu waktu masih sekolah rakyat”, jawab Jasmin.

“Syukurlah” jawab Ngadimun singkat.

“Pak De, Pahlawan siapa yang meninggal hari ini, kok mengibarkan bendera setengah tiang”, Tanya Jasmin sambil mengamati bendera merah putih yang lusuh itu.

“Ya Pak De mu Ngadiman to le. Dia itu kan pahlawan sejati bagi keluarga kita, desa kita, mungkin malah negeri kita.” jawabnya singkat sambil berdiri dan menghampiri tiang bendera yang diikat di pagar bambu yang reyot itu.

“Coba perhatikan. Bendera ini menelan korban dua orang teman ngaritnya pakdemu Ngadiman. Masíh ada sisa sobekan biru, bendera kompeni. Warna biru disobek, dan tinggal dua warna merah dan putih saja”.

‘Tapi Pak De, seorang pahlawan kan harus ada pengakuan dari negara, pemerintah atau anggota DPR”, tanya Jasman dengan lugunya.

“Aku nggak peduli dengan pengakuan mereka. Kalau masyarakat desa ini, pemerintah negeri ini, atau anggota dewan yang duduk di Jakarta sana nggak mengakui, tak apa. Tetapi hati yang paling dalam dari pak De mu ini, mengakui, bahwa Pak De mu Ngadiman adalah seorang pahlawan. Seorang yang banyak jasanya. Tidak perlu dikubur di Taman Makam Pahlawan, tidak perlu surat keputusan, tidak perlu tanda jasa. Tapi Pakde mu berjuang tulus ikhlas. Sebagai tukang ngarit yang kerjaannya mengumpulkan rumput, mengembala kambingnya ndoro sinder dan mengetahui ada kompeni yang memusuhi pejuang, rasa patriotnya tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan pejuang”, Ngadimun berhenti sejenak dan duduk kembali di bangku reot sambil mengeluarkan tembakau dan klobot untuk membungkus, dan menyalakan api, dan menghisap dalam-dalam.

Jasman yang putus sekolah rakyat dan kini hanya bekerja sebagai pesuruh di sekolah dasar negeri satu-satunya di desa itu, hanya duduk diam. Jasman yang biasa menaikan dan menurunkan bendera tak ada perintah dari kepala sekolah untuk menaikkan bendera setengah tiang, oleh karena itu Jasman, ingin tahu mengapa Pak De Ngadimun, sejak meninggalnya Pak De Ngadiman, memasang bendera setengah tiang.

“Jas ….”, kata Ngadimun memecahkan keheningan sejenak. “Masíh banyak Ngadiman-Ngadiman di negeri ini. Dari ujung barat hinggai timur, yang mengalami berbagai peperangan untuk mempertahankan negeri ini. Mereka hidup tak terurus, apa adanya. Nasibnya macam-macam, dan hidupnya serba kesusahan. Tapi Pakde mu tegar, jiwa pejuangnya masih tersimpan di dalam dada, pantang menyerah untuk mengarungi hidup ini, Pakde mu tak pernah membuat surat atau permohonan agar diakui menjadi pejuang. Walaupun tak ada tanda jasa, pengakuan dari negara, tapi dia tetap hidup dan berjuang untuk menyambung nyawa demi sesuap nasi”, kata Ngadimun berapi-api. “Pak De mu Ngadiman juga demikian, walau sebagai tukang ngarit sepanjang hidupnya, hingga mengakhiri hayatnya, masih mencari rumput, menghidupi ternak peliharaan orang, dia pantang menyerah, hanya untuk sesuap nasi, bertahan hidup”.

Jasman tak terasa menitikkan air matanya, mengenang nasib para pejuang seperti Pak de nya, yang sehari-hari membawa keranjang rumput ke pinggir hutan yang semakin menyempit. Karena dibabat diambil kayunya, dibuat ladang dan perkebunan. Pernah sekali bertemu seminggu sebelum meninggal, Pak De Ngadiman yang masih memperlihatkan raut wajah yang keras, pantang menyerah, walau jalan tertatih tatih karena ditelan usia, mengatakan, bahwa jaman dulu, tak pernah ada banjir dan tanah longsor di desa ini, karena hutannya aman, Seperti Kali Gede yang dulu jernih, kemarau dan musim hujan tak pernah kering dan banjir. Namun kini, kali yang merupakan hulu Waduk Kedungombo itu kering kerontang, dan yang nampak hanya batu cadas yang mencuat, sedangkan pasir dan batunya lenyap digali dan ditambang.

“Sudahlah Jas, sana ke sekolah. Anak-anak penerus negeri ini yang akan menimba ilmu sudah terlihat berangkat. Nanti kamu kesiangan. Cintailah pekerjaanmu. Kamu juga seorang pejuang yang setiap pagi menyiapkan segalanya untuk anak-anak belajar. Dan guru-guru itu yang memberikan ilmu.”, perintah Ngadimun kepada keponakannya Jasman.

Ngadimun memandang, keponakan satu-satunya yang betah tinggal di desa ini, mencurahkan tenaga dan pikiran untuk desa yang jauh dari keramain kota. Jasman mencium tangan Pakde nya, dan mengucapkan salam, sebelum melangkah menuju ke sekolah.

Dan, Jasman diluar kesadaran saat menaikkan bendera merah putih. Setelah dikerek sampai ujung atas, kemudian menurunkan kembali setengah tiang. ”Aku menghormati Pak De ku yang meninggal. Kalau ada orang yang bertanya, mengapa setengah tiang. Aku akan menjawab, seperti apa yang telah dijelaskan Pak De Ngadimun, Bahwa pakde ku Ngadiman tiga hari yang lalu meninggal, dan tak ada yang peduli siapa sebenarnya Pak De Ngadiman”, katanya lirih dalam hati.

1 komentar:

Pas-Ga mengatakan...

Tulisan yang sangat menginspirasi. Saya meminta izin untuk ditampilkan di blog saya, terima kasih.

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.