LARANGAN SEORANG WALI
Judi Porkas, sempat marak. Tak hanya di perkotaan ataupun pedesaan. Namun juga melanda kamp-kamp di tengah hutan. Para pekerja penelitian yang jauh di tengah-tengah rimba ini, judi “buntut” ini menjadi hiburan setiap minggu. Hari-hari kalau tak ada pekerjaan, orang orang yang sudah “ketagihan” judi ini selalu menghubungkan sesuatu dengan nomor. Mereka hafal benar binatang ini nomornya dalam “buku ramalan” ini, atau seseorang atau mahluk hidup. Seperti raja, permaisuri, pengemis, semuanya mempunyai makna dan nomor tersendiri.
Kadang-kadang lebih gila lagi, mereka siap semedi di tengah hutan, untuk mencari wangsit. Tak ada rasa takut dengan binatang buas, apalagi jin, setan. Mungkin kalau ketemu malah akan diajak bicara dan diminyai nomor.
Adalah Margo, yang sudah bekerja di pusat penelitian hutan ini selama 5 tahun. Bila pekerjaan selesai, dia ambil pulpen dan kertas untuk meramal. Deretan nomor yang keluar dari minggu ke minggu dia punyai. Untuk bahan perbandingan, nomor apa yang keluar. Mungkin nasib Margo belum mujur. Bebrda dengan Uki, yang sering dapat, paling tidak sebulan sekali. Walaupun tak dapat banyak, namun cukuplah untuk hiburan dan kembali modal.
Berbeda dengan Margo yang sudah lupa akan segalanya. Berbgai jalan dia tempuh untuk mendapatkan nomor yang jitu. Suatu kali kawan-kawannya, tidak pulang ke base kamp. Margo bertanya-tanya kepada kawan yang lain. Dan dijelaskan bahwa Uki sering melakukan tidur di tengah hutan. Entah apa yang dikerjakan, namun dalam benak Margo, pasti Uki cari nomor.
Margo mencoba melakukan hal yang sama. Dia diam-diam berangkat ke hutan. Hari itu bertepatan dengan malam Jum’at, dan pas terang bulan. Margo tahu benar seluk beluk hutan, mana pohom yamg amhker dan tidak. Mana pohon yang besar dan kecil. Karena hutan penelitian itu sudah “diubek-ubek” margo setiap hari.
Bebekal dengan obat nyamuk, rokok, kopi yang sudah dimasukkan ke dalam botol dan senter, berangkatlah dia. Dalam benaknya, Margo akan menuju ke pohon kembar. Pohon tersebut tumbuh di tengah hutan dan tidak jauh dengan jalan rintisan. Pohon cukup besar dan ditengah ada ruang sekitar setengah meter, cukuplah untuk duduk.
Pikiran takut sudah hilang, yang ada malam ini akan mendapatkan wangsit berupa nomor buntut. Seusai makan malam bersama, semua karyawan masuk ke kamar masing-masing. Namun masih ada beberapa yang meramal di dapur, saling adu argumentasi dan mencocokan ramalan satu sama lain.
Setelah menyiapkan segalanya, Margo berangkat. Bulan yang baru muncul di timur belum sepenuhnya memancarkan cahaya, sehingga dalam hutan itu hanya remang-remang. Apalagi hutan tropis yang masih lebat, dasar hutan hanya sedikit mendapatkan cahaya bulan. Sesekali didaerah terbuka, bulan nampak terlihat.
Satu jam perjalanan, Margo sampai ke tempat yang dituju. Toleh sana, toleh sani. Senter sana – sini, ke atas entah apa yang dicari. Setelah itu Margo menyalakan obat nyamuk, dan menaburi garam sekitar tempat duduknya, untuk menghindari pacet yang cukup banyak. Rokokpun dinyalakan, dihisap dalam-dalam dan hembuskan ke kanan kiri, sepertinya mengusir nyamuk yang sudah berdatangan.
Setelah minum kopi dan rokoknya habis, Margo alan seorang petapa, mulai konsentrasi. Entah apa yang dibaca. Dia tertunduk dan mata terpejam. Satu, dua jam belum ada perubahan. Margo merasa belum konsentrasi. Akhirnya menyalakan rokok dan minum kopi yang hampir dingin.
Margo melihat jam dengan senter. Jam hadiah dari pimpinan penelitian ini sudah nempel di lengan Margo lebih dari 3 tahun. Jam sebelas tiga puluh, sebentar lagi tengah malam, kata Margo dalam hati. Cepat-cepat rokok dimatikan dan minum lagi kopi yang sudah dingin.
Konserntrasi lagi, dan matanya terpejam. Tiba-tiba bulu kuduk Margo berdiri. Jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan tenang Margo menarik nafas dalam, ditahan, dan dihembuskannya. Lantas Margo membuka matanya. Tahu-tahu di hadapannya sudah duduk seorang kakek tua, yang menggunakan jubah putih dan duduk di hadapan Margo. Margo tak dapat bicara banyak, seolah-olah suaranya berhenti di kerongkongan. Apalagi mau teriak dan lari. Tak mungkin, karena semua anggota tubuhnya kaku, dan mulai mengucur keringat dingin.
“Ada apa anakku?”, tanya kakek burjubah tadi. Setelah ada teguran itu, tubuh Margo seolah-olah mendapatkan energi yang besar dan membuat tenaganya pulih kembali. Tak ada rasa takut.
“Kyai, namaku Margo. Aku ke sini untuk minta nomor kyai. Agar aku bisa memenangkan dan kaya”, jawab Margo singkat.
“Baiklah anakku, kalau itu yang kamu kehendaki”, jawab kakeh itu. “Tapi ada syaratnya anakku”, sambungnya lagi.
“Apa klyai”, tanya Margo.
“Aku akan memberikan satu nomor buntut, sebanyak 4 nomor. Tetapi nomor ini sangat rahasia. Hanya kamu yang tahu, siapapun tak boleh mengetahuinya”, kata kakek tadi.
“Baik kyai”, jawab Margo singkat.
“Ada satu syarat lagi anakku”.
“Apa kyai?”.
“Seandainya kamu tidak diijinkan oleh atasanmu turun ke kota untuk pasang nomor, atau alasan apa saja, kamu tidak boleh memaksakan diri”, tegas kakek berjubah itu.
“Baik kyai”.
“Ingat ini anakku”, kata kakek tadi sambil mengambil ranting dan mencoretkan tulisan di atas tanah. Setelah menuliskan nomor itu, sekejap mata kakek itu hilang. Margo cepat-cepat mengambil kertas dan pulpen yang sudah disiapkan, dan menyalinnya.
Jam 03.00 dini hari Margo kembali ke kamp, suasana sepi. Namun rupanya ada dua orang yang baru pulang juga dari dalam hutan, Uki. Margo sudah menebak, pasti dia juga cari nomor.
“Dari mana kamu”, tanya Margo kepada Uki.
“Dari sungai mancing”, jawab Uki. “Nah kamu dari mana, tumben malam-malam keluyuran”, tanya Uki.
“Nyari buntut”, jawab Margo sambil bercanda.
Tak ada pembahasan masalah buntuk, berhubung mereka langsung menuju kamar masing-masing untuk istirahat. Margo, langsung terlelap tidurnya.
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur bagi karyawan proyek penelitian ini. Biasanya mereka digilir untuk istirahat ke kota, sekalian belanja makanan untuk satu minggu. Namun ada beberapa karyawan yang harus tinggal di kamp untuk menjaga. Biasanya mereka ke kota bergilir satu sama lain.
Malam itu penentuan siapa yang harus turun esok hari. Selain evaluasi kerja selama seminggu dan membuat perencanaan kerja seminggu yang akan datang, mereka juga membuat daftar belanja, apa saja yang harus dibeli.
Margo harap-harap cemas, mudah-mudahan diijinkan atasannya untuk turun besok, karena minggu lalu Margo sudah ke kota dan berkunjung ke keluarganya. Menurut hitungan, dia harus tinggal di kamp untuk jaga. Giliran penentuan siapa yang akan belanja dan ke kota, margo dengan memberanikan diri bicara dan angkat tangan.
“Pak, saya besok mau ijin ke kota, ada keperluan penting”, kata Margo.
“Margo, saya perlu kamu besok. Karena hanya kamu yang paham benar tentang tumbuh-tumbuhan di dalam hutan ini. Selain itu kamu minggu lalu sudah istirahat, bukam”, jawab pimpinan Margo.
Margo ingat benar apa kata-kata Kakeh Berjubah Putih malam lalu. “Jangan memaksakan kehendak, seandainya atasanmu tak menijinkan kamu turun ke kota”. Kata-kata itu terngiang benar dlam telinganya. Maka Margo tak membantah perintah yang barusan dikatakan oleh atasannya.
“Baik, pak”, jawab Margo singkat.
Sehari penuh Margo ke hutan dengan pimpinannya. Seorang peneliti tua yang tekun, dia sudah professor, orangnya bijak, kata-katanya sangat dipatuhi oleh semua karyawan. Tak hanya para staff lapangan yang hormat kepada mereka, namun banyak para ahli tumbuh-tumbuhan “berkiblat” kepada hasil tulisan atau penemuan beliau.
Seusai makan malam, beberapa kawan Margo yang tdak ke kota asyik main tenis meja, ada pula yang main musik, dan ada yang bengong melihat dan mendengar kawan-kawannya melakukan permainan itu.
Jam sepuluh Margo masuk kamar, dan purtar radio. Putar sana sini untuk mencari gelombang dan stasiun radio yang biasanya menyiarkan nomor buntut yang keluar. Biasanya ada lagu khas yang berkumandang, sehingga setiap orang akan mendengarkan lagu itu, walaupun diulang-ulang. Bukan karena lagu itu mereka sukai, namun mereka ingin mendengarkan nomor buntut.
Jam 10.30 ada lagu itu berhenti. Kemudian terdengar seorang penyiar mengumumkan nomor yang keluar. Semua buka catatan, kecuali Margo. Karyawan-karyawan ini sudah menitip uang kepada teman yang ke kota untuk beli nomor.
“Pendengar yang budiman, malam ini penarikan nomor Porkas sedang dilakukan. Sekitar lima belas menit lagi kami akan kembali untuk menyairkan nomor yang keluar” demikian kata penyiar.
“Sialan, kiranya mau ngumumin nomor”, kata salah satu pendengar.
“Sabar, sabar dikasihani Tuhan”.
“Mana Tuhan mengasihani kamu, la wong kamu penjudi, pekerjaan itu diharamkan Tuhan”, kata salah stu staf yang tak suka judi
“Diamlah, jangan khotbah”
“Sudah pada diam, kalau ribut saya matiin radionya”, ancam Margo.
“Jangan Mas, kami hanya bercanda”.
Kata-kata haram tadi, menyentuh lubuk hati Margo. Dia sudah lama meninggalkan salah satu rukun Islam, yaitu sholat. Dia termenung dan melihat polah tingkah kawan-kawannya yang serius mendengarkan lagu dengan berbagai ekspresi.
“Saudara pendengar, pemutaran Porkas telah dilakukan. Dan nomor yang keluar malam ini adalah, lima tiga sembilan delapan delapan satu. Selamat bagi yang beruntung”, kata pentyiar radio itu, dan lagu khas Porkos berkumandang lagi.
Semua kawan margo saling mencocokkan, dua atau tiga angka paling belakang. Dan berbagai komentar muncul.
“Sialan nomor saya 991 dan 61, belum rejekinya”, kata kawan yang satu.
“Wah jauh nomor saya, sedikitpun tak nyinggung”, kata kawan yang lain. Hebohlah dalam hutan malam itu. Dan tak ada yang mendapatkan tebakan mingguan itu.
“Habis seratus ribu tak dapat”, teriak yang lain.
Kawan Margo keheranan melihatnya, biasanya sibuk mencocokan, namun malam itu tidak. Margo hanya menjawab, tak punya uang dan tak ada nomor yang bagus.
Setelah kawannya pergi, Margo membuka catatan nomor yang diberi kakek berjubah. Benar tertulis 9881. Ekspresinya biasa-biasa saja, dia sadar dan paham, belum milik dan rejekinya, katanya dalam hati.
“Mungkin kakek itu menyadarkan aku, untuk berhenti berjudi buntut. Lebih baik ditabung untuk kehidupan masa yang bakan datang. Karena setelah lebaran harus sudah punya uang untuk menikah”, katanya dalam Hati. Margo kemudian sholat malam dan bersujud, memohon petunjuk dan ampunan atas dosa yang telah dilakukannya. Dan tak lupa berterima kasih kepada kakek entah siapa, mungkin utusan Tuhan, untuk menyadarkan perbuatan “haram” selama ini yang dilakukan.
Judi Porkas, sempat marak. Tak hanya di perkotaan ataupun pedesaan. Namun juga melanda kamp-kamp di tengah hutan. Para pekerja penelitian yang jauh di tengah-tengah rimba ini, judi “buntut” ini menjadi hiburan setiap minggu. Hari-hari kalau tak ada pekerjaan, orang orang yang sudah “ketagihan” judi ini selalu menghubungkan sesuatu dengan nomor. Mereka hafal benar binatang ini nomornya dalam “buku ramalan” ini, atau seseorang atau mahluk hidup. Seperti raja, permaisuri, pengemis, semuanya mempunyai makna dan nomor tersendiri.
Kadang-kadang lebih gila lagi, mereka siap semedi di tengah hutan, untuk mencari wangsit. Tak ada rasa takut dengan binatang buas, apalagi jin, setan. Mungkin kalau ketemu malah akan diajak bicara dan diminyai nomor.
Adalah Margo, yang sudah bekerja di pusat penelitian hutan ini selama 5 tahun. Bila pekerjaan selesai, dia ambil pulpen dan kertas untuk meramal. Deretan nomor yang keluar dari minggu ke minggu dia punyai. Untuk bahan perbandingan, nomor apa yang keluar. Mungkin nasib Margo belum mujur. Bebrda dengan Uki, yang sering dapat, paling tidak sebulan sekali. Walaupun tak dapat banyak, namun cukuplah untuk hiburan dan kembali modal.
Berbeda dengan Margo yang sudah lupa akan segalanya. Berbgai jalan dia tempuh untuk mendapatkan nomor yang jitu. Suatu kali kawan-kawannya, tidak pulang ke base kamp. Margo bertanya-tanya kepada kawan yang lain. Dan dijelaskan bahwa Uki sering melakukan tidur di tengah hutan. Entah apa yang dikerjakan, namun dalam benak Margo, pasti Uki cari nomor.
Margo mencoba melakukan hal yang sama. Dia diam-diam berangkat ke hutan. Hari itu bertepatan dengan malam Jum’at, dan pas terang bulan. Margo tahu benar seluk beluk hutan, mana pohom yamg amhker dan tidak. Mana pohon yang besar dan kecil. Karena hutan penelitian itu sudah “diubek-ubek” margo setiap hari.
Bebekal dengan obat nyamuk, rokok, kopi yang sudah dimasukkan ke dalam botol dan senter, berangkatlah dia. Dalam benaknya, Margo akan menuju ke pohon kembar. Pohon tersebut tumbuh di tengah hutan dan tidak jauh dengan jalan rintisan. Pohon cukup besar dan ditengah ada ruang sekitar setengah meter, cukuplah untuk duduk.
Pikiran takut sudah hilang, yang ada malam ini akan mendapatkan wangsit berupa nomor buntut. Seusai makan malam bersama, semua karyawan masuk ke kamar masing-masing. Namun masih ada beberapa yang meramal di dapur, saling adu argumentasi dan mencocokan ramalan satu sama lain.
Setelah menyiapkan segalanya, Margo berangkat. Bulan yang baru muncul di timur belum sepenuhnya memancarkan cahaya, sehingga dalam hutan itu hanya remang-remang. Apalagi hutan tropis yang masih lebat, dasar hutan hanya sedikit mendapatkan cahaya bulan. Sesekali didaerah terbuka, bulan nampak terlihat.
Satu jam perjalanan, Margo sampai ke tempat yang dituju. Toleh sana, toleh sani. Senter sana – sini, ke atas entah apa yang dicari. Setelah itu Margo menyalakan obat nyamuk, dan menaburi garam sekitar tempat duduknya, untuk menghindari pacet yang cukup banyak. Rokokpun dinyalakan, dihisap dalam-dalam dan hembuskan ke kanan kiri, sepertinya mengusir nyamuk yang sudah berdatangan.
Setelah minum kopi dan rokoknya habis, Margo alan seorang petapa, mulai konsentrasi. Entah apa yang dibaca. Dia tertunduk dan mata terpejam. Satu, dua jam belum ada perubahan. Margo merasa belum konsentrasi. Akhirnya menyalakan rokok dan minum kopi yang hampir dingin.
Margo melihat jam dengan senter. Jam hadiah dari pimpinan penelitian ini sudah nempel di lengan Margo lebih dari 3 tahun. Jam sebelas tiga puluh, sebentar lagi tengah malam, kata Margo dalam hati. Cepat-cepat rokok dimatikan dan minum lagi kopi yang sudah dingin.
Konserntrasi lagi, dan matanya terpejam. Tiba-tiba bulu kuduk Margo berdiri. Jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan tenang Margo menarik nafas dalam, ditahan, dan dihembuskannya. Lantas Margo membuka matanya. Tahu-tahu di hadapannya sudah duduk seorang kakek tua, yang menggunakan jubah putih dan duduk di hadapan Margo. Margo tak dapat bicara banyak, seolah-olah suaranya berhenti di kerongkongan. Apalagi mau teriak dan lari. Tak mungkin, karena semua anggota tubuhnya kaku, dan mulai mengucur keringat dingin.
“Ada apa anakku?”, tanya kakek burjubah tadi. Setelah ada teguran itu, tubuh Margo seolah-olah mendapatkan energi yang besar dan membuat tenaganya pulih kembali. Tak ada rasa takut.
“Kyai, namaku Margo. Aku ke sini untuk minta nomor kyai. Agar aku bisa memenangkan dan kaya”, jawab Margo singkat.
“Baiklah anakku, kalau itu yang kamu kehendaki”, jawab kakeh itu. “Tapi ada syaratnya anakku”, sambungnya lagi.
“Apa klyai”, tanya Margo.
“Aku akan memberikan satu nomor buntut, sebanyak 4 nomor. Tetapi nomor ini sangat rahasia. Hanya kamu yang tahu, siapapun tak boleh mengetahuinya”, kata kakek tadi.
“Baik kyai”, jawab Margo singkat.
“Ada satu syarat lagi anakku”.
“Apa kyai?”.
“Seandainya kamu tidak diijinkan oleh atasanmu turun ke kota untuk pasang nomor, atau alasan apa saja, kamu tidak boleh memaksakan diri”, tegas kakek berjubah itu.
“Baik kyai”.
“Ingat ini anakku”, kata kakek tadi sambil mengambil ranting dan mencoretkan tulisan di atas tanah. Setelah menuliskan nomor itu, sekejap mata kakek itu hilang. Margo cepat-cepat mengambil kertas dan pulpen yang sudah disiapkan, dan menyalinnya.
Jam 03.00 dini hari Margo kembali ke kamp, suasana sepi. Namun rupanya ada dua orang yang baru pulang juga dari dalam hutan, Uki. Margo sudah menebak, pasti dia juga cari nomor.
“Dari mana kamu”, tanya Margo kepada Uki.
“Dari sungai mancing”, jawab Uki. “Nah kamu dari mana, tumben malam-malam keluyuran”, tanya Uki.
“Nyari buntut”, jawab Margo sambil bercanda.
Tak ada pembahasan masalah buntuk, berhubung mereka langsung menuju kamar masing-masing untuk istirahat. Margo, langsung terlelap tidurnya.
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur bagi karyawan proyek penelitian ini. Biasanya mereka digilir untuk istirahat ke kota, sekalian belanja makanan untuk satu minggu. Namun ada beberapa karyawan yang harus tinggal di kamp untuk menjaga. Biasanya mereka ke kota bergilir satu sama lain.
Malam itu penentuan siapa yang harus turun esok hari. Selain evaluasi kerja selama seminggu dan membuat perencanaan kerja seminggu yang akan datang, mereka juga membuat daftar belanja, apa saja yang harus dibeli.
Margo harap-harap cemas, mudah-mudahan diijinkan atasannya untuk turun besok, karena minggu lalu Margo sudah ke kota dan berkunjung ke keluarganya. Menurut hitungan, dia harus tinggal di kamp untuk jaga. Giliran penentuan siapa yang akan belanja dan ke kota, margo dengan memberanikan diri bicara dan angkat tangan.
“Pak, saya besok mau ijin ke kota, ada keperluan penting”, kata Margo.
“Margo, saya perlu kamu besok. Karena hanya kamu yang paham benar tentang tumbuh-tumbuhan di dalam hutan ini. Selain itu kamu minggu lalu sudah istirahat, bukam”, jawab pimpinan Margo.
Margo ingat benar apa kata-kata Kakeh Berjubah Putih malam lalu. “Jangan memaksakan kehendak, seandainya atasanmu tak menijinkan kamu turun ke kota”. Kata-kata itu terngiang benar dlam telinganya. Maka Margo tak membantah perintah yang barusan dikatakan oleh atasannya.
“Baik, pak”, jawab Margo singkat.
Sehari penuh Margo ke hutan dengan pimpinannya. Seorang peneliti tua yang tekun, dia sudah professor, orangnya bijak, kata-katanya sangat dipatuhi oleh semua karyawan. Tak hanya para staff lapangan yang hormat kepada mereka, namun banyak para ahli tumbuh-tumbuhan “berkiblat” kepada hasil tulisan atau penemuan beliau.
Seusai makan malam, beberapa kawan Margo yang tdak ke kota asyik main tenis meja, ada pula yang main musik, dan ada yang bengong melihat dan mendengar kawan-kawannya melakukan permainan itu.
Jam sepuluh Margo masuk kamar, dan purtar radio. Putar sana sini untuk mencari gelombang dan stasiun radio yang biasanya menyiarkan nomor buntut yang keluar. Biasanya ada lagu khas yang berkumandang, sehingga setiap orang akan mendengarkan lagu itu, walaupun diulang-ulang. Bukan karena lagu itu mereka sukai, namun mereka ingin mendengarkan nomor buntut.
Jam 10.30 ada lagu itu berhenti. Kemudian terdengar seorang penyiar mengumumkan nomor yang keluar. Semua buka catatan, kecuali Margo. Karyawan-karyawan ini sudah menitip uang kepada teman yang ke kota untuk beli nomor.
“Pendengar yang budiman, malam ini penarikan nomor Porkas sedang dilakukan. Sekitar lima belas menit lagi kami akan kembali untuk menyairkan nomor yang keluar” demikian kata penyiar.
“Sialan, kiranya mau ngumumin nomor”, kata salah satu pendengar.
“Sabar, sabar dikasihani Tuhan”.
“Mana Tuhan mengasihani kamu, la wong kamu penjudi, pekerjaan itu diharamkan Tuhan”, kata salah stu staf yang tak suka judi
“Diamlah, jangan khotbah”
“Sudah pada diam, kalau ribut saya matiin radionya”, ancam Margo.
“Jangan Mas, kami hanya bercanda”.
Kata-kata haram tadi, menyentuh lubuk hati Margo. Dia sudah lama meninggalkan salah satu rukun Islam, yaitu sholat. Dia termenung dan melihat polah tingkah kawan-kawannya yang serius mendengarkan lagu dengan berbagai ekspresi.
“Saudara pendengar, pemutaran Porkas telah dilakukan. Dan nomor yang keluar malam ini adalah, lima tiga sembilan delapan delapan satu. Selamat bagi yang beruntung”, kata pentyiar radio itu, dan lagu khas Porkos berkumandang lagi.
Semua kawan margo saling mencocokkan, dua atau tiga angka paling belakang. Dan berbagai komentar muncul.
“Sialan nomor saya 991 dan 61, belum rejekinya”, kata kawan yang satu.
“Wah jauh nomor saya, sedikitpun tak nyinggung”, kata kawan yang lain. Hebohlah dalam hutan malam itu. Dan tak ada yang mendapatkan tebakan mingguan itu.
“Habis seratus ribu tak dapat”, teriak yang lain.
Kawan Margo keheranan melihatnya, biasanya sibuk mencocokan, namun malam itu tidak. Margo hanya menjawab, tak punya uang dan tak ada nomor yang bagus.
Setelah kawannya pergi, Margo membuka catatan nomor yang diberi kakek berjubah. Benar tertulis 9881. Ekspresinya biasa-biasa saja, dia sadar dan paham, belum milik dan rejekinya, katanya dalam hati.
“Mungkin kakek itu menyadarkan aku, untuk berhenti berjudi buntut. Lebih baik ditabung untuk kehidupan masa yang bakan datang. Karena setelah lebaran harus sudah punya uang untuk menikah”, katanya dalam Hati. Margo kemudian sholat malam dan bersujud, memohon petunjuk dan ampunan atas dosa yang telah dilakukannya. Dan tak lupa berterima kasih kepada kakek entah siapa, mungkin utusan Tuhan, untuk menyadarkan perbuatan “haram” selama ini yang dilakukan.
1 komentar:
saya memang orang yang paling takut pada mahkluk yang satu ini(monyet)kalu bilepas bagai mana kalau nanti malah seperti felm KINGKONG,menakutkan.
Posting Komentar