16 Januari 2013

PERUBAHAN IKLIM, PERUBAHAN SEGALANYA

Awal bulan Juni 2012, saya berkesempatan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, dalam acara pelatihan mengenai pembuatan paket wisata alam. Tanjung Puting, alamnya memang sangat indah. Kemungkinan untuk bertemu dengan satwa liar, sangat mudah. Seperti Orangutan, Bekantan, Lutung, Macaca, dan berbagai jenis burung dsb. Untuk menjangkau ke sana pun, relatif sangat mudah, dan tidak perlu bersusah payah.
 Ke Tanjung Puting, dari berbagai kota besar, sudah terhubung dengan penerbangan, seperti dari Jakarta, Pontianak, Semarang, Surabaya, Banjarmasin atau bahkan dari Balikpapan.
 
Nah, saat mau membuat paket tahunan tentang melihat orangutan dan petualangan melihat satwa di alam, ada hal yang hilang, artinya hilang dalam arti lingkungan yang sudah berubah. Perubahan itu, sudah berlangsung 2 tahun terakhir ini, yaitu menghilangnya kehidupan kelelawar dan ulat yang tak lagi ditemukan di jalur pariwisata.
Kelelawar tidak seperti dulu, mudah ditemukan. Masih ingat sekali kelelawar yang ada di Kebun Raya Bogor. Entah kemana mereka hijrah dan tak lagi ditemukan di Kebun Raya Bogor. Selain kelelawar itu juga ulat "marau" di kawasan konservasi tersebut (belum tahu bahasa latinnya atau jenisnya), juga telah menghilang. Orangutan, berbagai jenis serangga atau bahkan masyarakat sekitar, sangat menyukai kepompong tersebut. Saya pun pernah mencoba, makan kepompong tersebut yang telah dimasak, nikmat.
 Menghilangnya jenis jenis tersebut, menjadi sebuah pertanyaan besar. Apakah akibat kebakaran hutan? Di Kalimantan Tengah, kebakaran hutan memang sudah menjadi “langganan” setiap tahun. Tetapi mengapa baru 2 tahun terakhir ini mereka menghilang? Ataukah sering terjadi kebakaran hutan meningkatkan suhu di sekitar kawasan?
Bisa jadi akibat perubahan iklim secara global, sehingga mempengaruhi kehidupan satwa yang sangat sensitive terhadap perubahan iklim atau meningkatnya suhu di sekitarnya.
 
 Sepuluh tahun silam, terjadi bencana ekologi (kalau dapat saya sebut seperti itu), dimana terjadi migrasi belalang dari arah selatan ke utara barat di pulau Kalimantan ini. Karena terlalu banyaknya belalang tersebut, sekali “mampir” ke tumbuhan yang mempunyai daun berbentuk pita (seperti jagung, padi dsb) dalam hitungan menit, musnah. Perpindahan tersebut kadang membuat langit hitam tertutup dengan belalang yang melakukan perjalanan. Namun setelah saya amati, belalang itu selalu menghindari hutan yang masih tersisa. Sehingga perjalanan mereka selalu berputar dan menghindari hutan, bila rombongan tersebut akan menuju ke ladang jagung ataupun padi. Mengapa?
 
 Hilangnya spesies tertentu, tentu sangat mengganggu siklus sebuah kehidupan di alam. Ulat-ulat yang berbiak di pohon tertentu (yang sering dikenal adalah pohon ketiau), kadang membuat pohon tersebut “gundul” karena tak lagi mempunyai daun, namun hal ini hanya sementara, karena hukum alam selalu terjadi. Adanya ulat tersebut, sangat membantu dalam penyedia makanan atau protein bagi satwa yang memangsanya. Kadang saat musim tersebut, beberapa satwa terlihat gemuk, subur, sehingga sangat membantu dalam proses perkembangbiakan satwa. Dengan hilangnya jenis tersebut, langsung ataupun tidak, menganggu perkembangbiakan satwa langka, dan sedikit demi sedikit populasi berkurang, dan berkurang. Kemungkinan akan segera punah.
 
 Beberapa tahun terakhir ini, kita mendengar atau melihat. Jenis ulat yang menyerang mangrove atau malah ke kebun masyarakat, dan mulai masuk perkampungan atau perkotaan, yang sebelumnya tidak terjadi. Apakah hal ini karena serangga tersebut sudah kehilangan pakan?. Bisa jadi.
 Pemanasan global akan terus terjadi, lambat tetapi pasti, karena akibat hilangnya hutan dan rusaknya lingkungan. Alam akan berubah. Manusia dapat menyesuaikan diri, namun satwa liar, akan menanggung resiko, mereks dapat menyesuaikan diri, namun melalui sebuah proses yang panjang. Bagi yang betahan akan terus dapat hidup, namun yang rentan terhadap perubahan iklim, akan musnah. Hukum alam akan berlaku.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.