13 Juli 2009

Pastikan Konservasi Pamurbaya

Kamis, 4 Juni 2009 08:38 WIB
Surabaya Post/Bhakti Pundhowo: Makin banyak saja kelompok masyarakat yang peduli pada konservasi hutan bakau di Pantai Timur Surabaya. Pemkot berharap kawasan konservasi Pamurbaya didukung pusat.
Pemkot Surabaya berharap pemerintah pusat membantu dengan UU
SURABAYA - Tidak ada kata lain, Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) harus dijadikan lahan konservasi. Penegasan itu diungkapkan Walikota Surabaya, Bambang D.H. dalam Diskusi Terbatas “Potensi Keanekaragaman Hayati dan Peta Sosial Kawasan Hutan Bakau Pamurbaya”, Rabu (3/6).
Yang bisa dijanjikan Bambang adalah, memaksimalkan masa jabatan yang tersisa 1 tahun untuk memastikan kawasan konservasi itu berjalan.
“Mereka yang memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) atau izin pemanfaatan lahan dan faktanya memang sudah berdiri bangunan tersebut, kami biarkan. Tapi mereka yang sudah memiliki IMB namun belum membangunan bangunan yang dimaksud, maka IMB-nya kami cabut,” katanya dalam acara di Hotel J.W. Marriott tersebut.
Mayoritas izin pemanfaatan lahan, kata Bambang dikeluarkan oleh Pemprov Jatim sejak sebelum dirinya menjabat.
Langkah lain yang dilakukan Bambang adalah meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk tidak mengeluarkan sertifikat atas tanah oloran di Pamurbaya. Asal tahu saja, melalui foto satelit terlihat bahwa antara 1972-2009 muncul 176 ha tanah oloran di kawasan Pamurbaya.
“Banyak bandar tanah oloran di Surabaya. Mereka bukan orang-orang biasa. Kami coba membendung mereka dengan cara membentuk Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang salah satunya berisi bahwa Pamurbaya merupakan kawasan konservasi. Akan lebih bagus lagi bila pemerintah pusat mendukung rencana ini, misalnya dengan mengeluarkan UU kawasna konservasi Pamurbaya,” urai Bambang.
Rombongan Pemkot Surabaya sudah pernah menghadap ke Departemen Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mencari dukungan tersebut.
Pamurbaya sendiri memang layak dilindungi. Selain manfaat besarnya sebagai penahan abrasi dan pendorong perikanan, ia juga menjadi laboratorium dan objek wisata alam. Keanekaragaman hayati Pamurbaya jauh lebih bervariasi dibanding banyak lahan konservasi lain di Asia Tenggara. Pamurbaya, misalnya, memiliki 15 spesies mangrove alami. Padahal, Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta, hanya memiliki 6 spesies dan Kawasan Konservasi Sungei Buloh, Singapura, hanya memiliki 9 spesies mangrove. Variasi mangrove di Surabaya hanya kalah dibanding Mangrove Information Center, Bali yang memiliki 18 spesies. “Itu pun karena ditanam. Sementara mangrove Pamurbaya tumbuh alami,” promosi Bambang.
Selain itu, Pamurbaya juga menjadi habitat 53 spesies serangga, 83 spesies burung (termasuk burung migran yang melintas mulai Selandia Baru hingga Siberia), dan 7 spesies primata. Kelompok terakhir ini menjadi kekayaan khusus Pamurbaya. Di banyak hutan bakau lain, biasanya primata hanya ada 1-2 spesies saja.
“Binatang di Pamurbaya masih sangat alami. Kera ekor panjang, misalnya, tidak mengambil makanannya dengan tangannya. Mereka mencari makan dengan menjulurkan ekornya ke air. Saat dijepit oleh kepiting, ekor itu dihentakkan ke atas, barulah kepitingnya ditangkap tangan dan dimakan. Ini menunjukkan perilaku yang masih alami, masih jauh dari peniruan terhadap pola tingkah laku manusia,“ urai Ahmad Suwandi, peneliti dari Yayasan Pendidikan dan Konservasi Alam (Yapeka) yang melakukan penelitian di Pamurbaya.
Contoh lain keaslian tingkah laku kera adalah menggaruk badannya dengan tangan terdekat. Bila badan bagian kiri yang gatal, maka kera-kera itu akan menggaruk menggunakan tangan kiri pula. Sebaliknya, manusia menggaruk bagian kiri menggunakan tangan kanan. “Kalau kera menggaruk badan bagian kiri dengan tangan kanan, berarti ia sudah meniru manusia,“ kata Suwandi.
Yapeka sendiri merekomendasikan agar 871 ha kawasan konservasi Pamurbaya dibagi ke dalam 3 zona. Zona inti (51 ha) dipakai untuk pusat pengembangbiakan bakau. Sementara 387 ha zona penyangga dialokasikan untuk pengembangan bakau di masa depan, sementara 433 ha zona budidaya dipakai untuk aktivitas ekonomi berkelanjutan.
“Pemkot sendiri merencanakan kawasan lindung itu hingga sekitar 2.300 ha, “ tegas Bambang. spd

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.