27 September 2008

Meraih Puncak Piramida Suku Indian




Meraih Puncak Piramida Suku Indian
Naskah dan Foto OlehEdy Hendras W.

Kata piramida identik dengan Negeri Mesir yang memiliki beberapa bangunan megah yang dijadikan untuk menyimpan mayat para Raja Mesir zaman dahulu. Tapi piramida yang ada di Guatemala, Amerika Tengah, berbeda. Bangunan ini tempat tinggal dan pemujaan sebagian Suku Indian.Berwisata ke Amerika Tengah cukup mengasyikkan. Pilihannya yang busa dicoba adalah Guatemala. Selain wisata keliling ibu kota negara ini Guatemala City, kita dapat mengunjungi beberapa obyek wisata menarik: piramida. Bangunan ini menjadi tempat tinggal dan pemujaan sebagian suku Indian.
Warga Guatemala City berbicara dengan bahasa Spanyol. Ketika tiba di bandara, saya sempat dibuat repot soal ini. Petugas bandara tak punya banyak kosakata Inggris. Ini yang membuat saya bingung untuk menjawab pertanyaan mereka. Menanyakan asal negara misalnya. Saya jawab dari Indonesia. Tapi mereka tanya Indonesia itu di mana. Aku mulai memancing, Asia, dia tahu. Singapura, dia ngerti. Bali dia paham. Nah, Bali itu bagian dari Indonesia. Biar makin gampang, saya jelaskan dengan menunjukkan posisi Bali dalam peta Indonesia.
Urusan imigrasi beres, saya menuju loket Tourism Information. Di sini, saya lebih banyak bertanya tentang lokasi hotel yang sudah direservasi. Tak ketinggalan, biaya transportasi menuju hotel. Si petugas menyebut angka, ”US$ 5”. Namun apa nyana karena saya tak busa menawar dan sopir taksi tak busa berbahasa Inggris, ongkos menjadi 10 dolar AS. Padahal, tak sampai 10 menit sampai di hotel yang aku tuju.Naik CN 235
Hotel yang saya inapi ini tarifnya cukup aduhai bagi orang Indonesia, sekitar 90 dolar AS. Karena harus menunggu dua malam, maka hari pertama saya gunakan untuk keliling kota, bersama kawan yang datang belakangan. Supaya tak kesasar, kami mencari jasa pemandu. Untunglah pemandu ini memang sudah fasih dengan pekerjaannya. Selain sebagai sopir, dia juga fasih berbahasa Inggris dan menguasai obyek wisata kota. Mulai dari sejarah Guatemala, penduduk, geografis dan kancah politik yang sedang terjadi di negeri ini.
Kebetulan saat itu adalah hari Minggu. Di sebuah alun-alun yang cukup luas, dan sisi kanan kiri menjulang bangunan kuno yang antik, serta gereja tua yang indah. Pemandu menjelaskan, pada hari minggu ada semacam ”pasar kaget”, di mana banyak orang dari pedalaman pergi ke kota untuk menjajakan barang dagangannya, yang berupa hasil bumi atau kerajinan, di samping mereka pergi ke gereja.
Kios-kios kaki lima ramai berdiri. Warung-warung makan dipadati pengunjung. Penjaja kerajinan seperti kain-kain khas Indian berjajar. Tukang obat ramai menawarkan obatnya dengan suara speaker yang nyaring dan diselingi sulapan ringan. Anak-anak penyemir sepatu, menawarkan jasanya ke setiap pengunjung. Dan tak ketinggalan juru potret amatiran menawarkan jasanya untuk mengambil gambar pengunjung dengan menggunakan kamera instan yang langsung jadi.
Pagi berikutnya kami dijemput taksi menuju bandara. Di bandara saya melihat pesawat CN 235 yang akan membawa rombongan ke Flores, sebuah kota tujuan berikutnya. Setibanya di Flores, rombongan dijemput dengan bus, dan menuju Tikal, suatu kota kecil yang menjadi lokasi pelatihan dan kunjungan wisata alam. Piramida Suku Indian
Perjalanan naik bus dari Flores menuju Tikal lebih kurang dua jam. Pemandangan dari desa desa yang dilalui cukup menawan. Jalan yang mulus hilir mudik bus-bus pariwisata membawa wisatawan manca negara. Pepohonan yang menjulang di tepian jalan mengingatkan daerah tropik yang subur. Kanan kiri jalan raya membentang padang rumput yang berpagar kawat duri, yang merupakan ladang peternakan. Beberapa kelompok sapi meruput, tanpa penjagaan. Namun di petak lain terlihat ada beberapa sapi yang digiring untuk dikirim, entah kemana oleh pemiliknya.
Tiba-tiba sopir bus mengurangi kecepatan, karena di depan ada portal. Dan bertuliskan, ”Benvendo” atau ”Welcome To Tikal National Park”. Petugas ”jagawana” keluar dari pos jaga dan masuk ke dalam bus. Petugas ini bertanya soal administrasi dan kelengkapan rombongan untuk memasuki kawasan. Cukup njelimet, karena kawasan yang dijaga adalah taman nasional dan sudah menjadi Cagar Biosfeer atau World Heritage Sites, tak sembarangan orang masuk, dan harus izin. Mereka tak perduli siapa yang melewati jalan harus berhenti di portal itu, turun dan melapor ke petugas.
Akhirnya tibalah rombongan di ”Jungle Logde” yang dijadikan tempat penginapan dan sekaligus pelatihan dan pertemuhan tahunan bagi ”Comunicators and Educators” Conservation International dari berbagai negara. Penginapan ini dibangun sederhana, berbentuk bungalow, terpisah satu bangunan yang satu dengan yang lain. Dibangun persis dekat pintu masuk Taman Nasional Tikal. Sehingga penginapan ini tak pernah sepi pengunjung. Bangunan sederhana, namun fasilitas menyerupai hotel berbintang. Hanya listrik menggunakan diesel dan dinyalakan hingga pukul 11.00 malam, selebihnya penginap diberikan lilin.Dengan profesional, pemandu menjelaskan keberangkatan menuju taman nasional. Ada beberapa peraturan yang boleh dan tidak boleh, selama berada dalam taman. Tiba-tiba pemandu berhenti membelakangi sebuah pohon. Mulai ceritera tentang pohon Ceiba, yang menjadi ”pohon nasional”-nya Negeri Guatemala. Ceritera panjang lebar tentang sejarah pohon itu, kegunaan dan sangat bermanfaat bagi Suku Indian.
Setelah saya amati pohon Ceiba itu, ternyata sama dengan pohon kapuk di Indonesia, memang satu jenis dan memiliki nama ilmiah yang sama yaitu Ceiba petandra. Aku bicara dengan kawanku yang dari Suriname, di negeri saya juga banyak pohon seperti ini, dan tumbuh di mana-mana. Karena dia seorang biologis, dia tahu dan memperkirakan nenek moyang pohon kapuk ada di Amerika Latin dan disebarkan ke mana-mana, termasuk ke Asia.
Akhirnya sampailah kami di kompleks ”Candi” atau ”piramida” suku Indian. Kompleks bangunan ini memang tidak mengelompok, tapi membuat semacam lapisan. Lapisan pertama untuk penjagaan, tempat tinggal hulubalang kepala suku, tempat tinggal kepala suku, tempat untuk bermusyawarah dan tempat untuk pemujaan dewa. Diperkirakan ada lebih 3.000 bangunan, termasuk beberapa ”candi” yang tinggi menjulang di atas kanopi hutan yang megah. Kompleks bangunan ini diperkirakan dibangun 1.500 tahun yang lalu dan ditempati lebih dari 100.000 Suku Indian Maya.
Ada sebuah tempat lapang yang sangat luas, yang menjadi pusat dari kompleks candi ini. Di ujung barat menjulang candi yang cukup tinggi. Di bagian bawah ada batu-batu tempat musyawarah kepala suku beserta istri dan penasihatnya. Sisi yang berhadapan terdapat bangunan yang menjulang tinggi tempat peribadatan, serta sisi kanan dari bangunan utama beberapa bangunan untuk rakyat yang menanti pertemuan atau upacara. Dimakan UsiaSeperti halnya bangunan peninggalan sejarah, candi dan piramida juga dimakan usia. Penggalian-penggalian yang dilakukan oleh ahli purbakala, dilakukan sejak awal abad ke-19, saat mereka memulai eksplorasi ke Amerika Tengah. Penggalian bukit-bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan yang di bawahnya merupakan bangunan candi dan piramida dilakukan. Sedikit demi sedikit, bangunan demi bangunan di renovasi. Hingga saat ini hasil dapat dilihat dan dinikmati wisatawan baik dalam atau luar negeri.
Beberapa bangunan utama, hingga saat ini masih direnovasi, karena candi yang berbentuk piramida ini mengalami pengikisan oleh air hujan. Berbeda dengan Candi Borobudur atau Prambanan atau candi lain di Jawa yang terbuat dari batu hitam dan keras. Candi-candi orang Indian ini terbuat dari batu kapur atau cadas yang tidak sekokoh candi di Indonesia. Namun ada banyak bangunan yang sudah hancur dan ditumbuhi pohon yang menjulang tinggi yang belum tertangani.
Untuk mencapai pucak bangunan yang tertinggi yang sudah dapat didaki, memerlukan tenaga ekstra, karena harus menaiki anak tangga. Ada juga tangga buatan dari kayu untuk busa sampai ke puncak tertinggi dari bangunan lain. Setelah sampai di puncak, barulah busa melihat semua hutan dan kompleks bangunan lain di dalam hutan ini.
Pengelolaan yang terpadu peninggalan arkeologi ini yang berada dalam kawasan hutan, membuat Taman Nasional Tikal menjadikan kawasan dan telah dideklarasikan sebagai Peninggalan Kebudayaan dan Kehidupan Alam untuk umat manusia modern saat ini. Untuk itu kawasan ini oleh Unesco ditetapkan sebagai World Heritage Site. Areal kawasan ini meliputi Taman Nasional Tikal seluas 57.600 Ha, Hutan alam San Miguel 49.500 ha dan Cagar Biosfeer Maya seluas satu juta hektare. Semua cagar ini menempati lebih kurang 10 % dari total luas Negeri Guatemala.
Selain wisata budaya yang disuguhkan di Taman Nasional Tikal, kawasan ini juga menyuguhkan wisata minat khusus. Berbagai satwa mudah dijumpai seperti, howler monkey dan spider monkey. Berbagai jenis burung yang berwarna warni mudah ditemukan sepanjang jalan menuju candi dan piramida. Seperti burung betet atau macaw, parkit, taucan dan berbagai jenis burung lainnya yang diperkirtakan ada sekitar 333 jenis. Selain itu beberapa jenis kadal atau sebangsa iguana juga banyak dijumpai, dan menjadikan daya tarik bagi wisatawan minat khusus, selain menikmati megahnya peninggalan Suku Indian Maya juga melihat kekayaan alam yang terjaga. ***Penulis adalah wisatawan Indonesia bekerja di Conservation International Indonesia.

0 komentar:

AKU DAN SISWOYO

AKU DAN SISWOYO
Aku dan Sis tahun 1983, waktu pertama kali melakukan penelitian orangutan, Dia meninggal saat melahirkan anak, terlulu sering melahirkan. Biasanya orangutan, jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 5-7 tahun. Tapi Sis kurang dari 4 tahun. Maklum setiap harii di Camp, badan subur dan jantanpun sering menaksirnya. Saat melahirkan ari-arinya ketinggalan, terinfeksi setelah ditemukan sudah koma. Siswoyo punya anak 3, Siswi, Simon dan Sugarjito.