BUNTAT NASI
Tomo warga pendatang di daerah Kalimantan Tengah. Usaha yang dirintis semenjak lima tahun silam, saat ini sudah menampakkan hasil. Usaha dibidang transportasi mulai penyewaan mobil dan “mengojekan” sepeda motor cukup laku. Modal awal pinjaman yang dibelikan satu sepeda motor dan satu mobil mini bus, kini sudah bekembang pesat. Tomo sudah punya 10 karyawan untuk mengawasi usaha transportasinya. Maklum mobil 10 dari berbagai merek dan 25 sepeda motor yang diojekan, harus ada yang megurus setiap harinya.
Keberhasil dalam usaha transportasi dan meningkatkan tarap hidupnya ini, Tomo ingin membuka usaha baru, karena menurut penglihatannya, kota kecil ini masih belum banyak yang menjual pakaian dengan harga yang “miring”. Karena pakaian yang dijual di pasar selama ini harganya 2 – 3 kali lipat harga pasaran di Jawa. “Apa salahnya aku punya hubungan dengan kawan di Bandung yang memiliki usaha tekstil”, gumannya dalam hati. Dalam pikiran Tomo, Bandung banyak sekali pabrik yang membuat pakaian, sepatu, elektronik, harganyapun jauh dibawah pasaran di kota tinggalnya saat ini, yaitu di pedalaman Kalimantan.
Impian itu menjadi kenyataan. Kawan yang ada di Bandung tak hanya sebagai pedagang tekstil, namun juga mempunyai pabrik kecil-kecilan atau “home industry” yang hasilnya cukup laku di pasaran. Persaingan yang ketat di Bandung Odi, kawan Tomo, sangat senang kalau Tomo sahabat lamanya dapat memasarkan hasil jahitannya di pasarkan di luar Jawa, apalagi Kalimantan kota seribu intan dan pulau yang menghasilkan banyak kayu.
Mula-mula Odi menyarankan untuk menyewa sebuah Ruko di tempat yang strategis. Di dekor dengan gaya Cihampelas, yang menarik bagi konsumen. Dinding dihias dekor dengan kayu ramin yang mahal untuk ukuran di Jawa, dan murah untuk konsumen di Kalimantan. Menarik, karena Odi juga mengirimkan tukang khusus untuk mendekor toko untuk mengecerkan barang dagangannya.
Tak sampai satu bulan, persiapan toko sudah selesai. Berbarengan dengan dekorasi tokonya itu, Tomo mengiklankan di gedong bioskop satu-satunya di kota itu. Selain itu dua stasiun radio juga mengiklankan tokonya yang akan segera dibuka. Satu minggu penuh, bioskop dan radio mengumandangkan dan menayangkan toko yang akan segera di buka yang menyediakan pakaian dengan harga super murah.
Seminggu sebelum dibuka, barang dagangan sampai di Pelabuhan. Tomo harus menyewa dua truk untuk mengangkut barang dagangan ke tokonya. Persiapan terus dilakukan. Karyawan yang direkrut sudah dilatih untuk menjadi pelayan dagangannya. Lampu kerlap kerlip dan poster-poster menghiasi dinding, dan sangat menarik untuk kalangan muda. Memang merekalah sasaran utama Tomo untuk memasarkan dagangannya. Karena kebanyakan barang yang dijual sasarannya adalah anak muda.
Seminggu menjelang lebaran tokonya dibuka. Saat yang tepat seperti ini sungguh menakjubkan. Pengunjung berjubel, memilih, mencoba dan kalau cocok langsung membayarnya. Apalagi 2 haru menjelang lebaran, dari pagi hingga malam dipenuhi calon pembeli. Malah pembeli tak hanya membeli 1 atau 2 pakaian, ada yang membeli dagangan super murah itu untuk dijual ke desa pedalaman, tentu dengan harga yang berbeda.
Sehari menjelang lebaran, saat orang sibuk menyiapkan untuk menyambut hari kemenangan itu, toko Tomo kedatangan orang yang aneh. Orangnya masih muda, pakainnya kumal, kotor dan masuk ke tokonya. Fisik pria itu cukup unik. Jari jempol tangan dan kakinya becabang, kalau dihitung mempunya jumlah jari 24. Pelayan hanya melihat tanpa mencegah. Tidak melihat baju atau celana yang ditumpuk pada rak-rak, namun langsung menuju ke kasir, dan langsung bicara dengan istri Tomo yang menjadi kasir tokonya.
“Bu saya mau menukar (menjual) barang-barang ”, kata pria tadi dengan menggunakan bahasa campuran antara melayu dan bahasa pribumi, dan mengeluarkan berberapa batu-batu seprti batu akik dsb.
“Maaf Pak, suami saya sedang ke pasar, saya sendiri tidak tahu batu-batu seperti ini”, jawab istri Tomo yang lugu ini.
Pria itu sabar menunggu, mondar mandir di tokonya, namun tidak melihat sedikitpun barang dagangan yang di jajarkan. Sementara tokonya saat ini tak banyak pengunjung karena memang lagi pada sibuk untuk persiapan lebaran. Biasanya setelah Ashar jam 15.00-an baru mulai ramai lagi.
Setengah jam kemudian, Tomo datang dan langsung menemui istrinya.
“Mas orang itu menawarkan batu, tapi entah aku nggak tahu batu akik atau apaan”, kata istrinya. Melihat ada lelaki yang datang dan ngobrol, pria itupun mendekati Tomo dan menawarkan batunya.
“Maaf pak, saya juga tidak tahu masalah batu-batu seperti ini”, kata Tomo kepada pria tadi.
“Pak urup (tukar) saja dengan celana, untuk lebaran besok”, desak pria tadi.
Tomo merasa iba, melihat keadaan pria tadi, pakaianya yang kotor dan sobek sana sini, akhirnya dikabulkan permintaan oria tadi.
Akhirnya Tomo memberikan 2 celana dan kaos untuk orang tadi. Dan pria tersebut memberikan 2 pasang batu, yang baru pertama kali dilihat oleh Tomo. Orang aneh tadi menjelaskan asal usul batu tersebut.
“Ini namanya buntat nasi, satu pasang pak, lelaki dan perempuan. Batu ini jelmaan dari nasi. Satu batu ditemukan istri saya saat mencuci beras di sungai, dan satu lagi saya temukan berada di perut ikan saat saya mancing di sungai yang sama”, jelas pria tadi. Namun Tomo keheranan, karena ukuran batu nasi itu hampir 3 kali besar ukuran nasi.
“Ya inilah batu nasi gaib pak”, jelas pria tadi. Kemudian dia menambahkan satu pasang batu bulat sebesar kelereng berwarna coklat kehitaman, batu itu di dapat saat dia membelah kayu. “Batu ini berasal dari getah pohon yang cukup tua”, sambungnya lagi.
“Rumah bapak di mana dan ke sini naik apa?, kata Tomo tiba-tiba.
“Rumah saya jauh, kalau naik perahu sekitar seminggu dari sini”, jawabnya singkat.
Kemudian Tomo dengan sukarela memberikan uang seratus ribu rupiah untuk ongkos pulang. Entah cukup atau tidak, karena pria tadi mengatakan lebih dari cukup untuk ongkos pulang.
Setelah membungkus baju dan mengantongi uang, pria tadi berpamitan dan bersalaman. Tomopun kaget melihat jari-jari yang bercabang di setiap jempolnya. Setelah berpamitan, pria itupun keluar dan meninggalkan toko Tomo. Tanda tanya besar di hati Tomo, dan dengan reflek dia menyuruh salah satu karyawannya untuk melihat pria tadi kemana arah perginya, ke pelabuhan sungai yang tak jauh dari toko Tomo. Namun setelah belokan di jalan, karyawan Tomo tak melihat seorangpun pria yang berkunjung ke toko majikannya. Penasaran dicari dan dicari. Belum selang 2 menit, setelah belok, tak terlihat batang hidungnya.
Dengan nafas yang terengah-engah, karyawan Tomo menjelaskan ke majikannya. Bahwa pria tadi tak ditemukan. Maka semakin besar tanda tanya Tomo. Kemudian Tomo memperhatikan dua pasang batu itu, apa khasiatnya dan apa jenisnya. Tak tahu.
Kebetulan Tomo mempunyai kenalan orang pribumi yang memiliki ilmu lebih, supranatural. Dia dapat melihat barang barang yang orang biasa yang dapat mengetahuinya. Apalagi Tomo sangat khawatir dengan mendapatkan barang yang aneh, yang memberikannyapun orang aneh. Takut malah membawa bencana di keluarganya atau paling tidak mengganggui keluarganya terutama anaknya yang masih kecil.
Kenalan Tomo yang mempunyai ilmu lebih tadi juga sangat terkejut. Dan memandang Tomo berulangkali. Tamo ketakutan, jangan-jangan barang ini berbahaya bagi keluarganya.
“Anda sangat beruntung, Belum tentu 1000 orang kami, satu memilikinya. Ini sudah rejeki dan pemiliknya adalah anda” katanya.
Setelah menceriterakan takut ada effek samping terhadap keluarganya, supranatural itu berjanji akan memberikan “makanan” seumur hidup biar tidak mengganggu keluarga Tomo.
“Saya akan membantu untuk “meniduri” benda ini selama 3 jum’at, setelah itu akan saya serahkan kepada anda”, kata kawan Tomo tadi.
Tiga Jum’at berlalu, tak ada kejadian dalam keluarganya dan tokonya. Semua berjalan dengan lancar. Sesuai dengan janji dengan orang pintar kawannya, tomo mendatangi ke rumahnya yang masih tradisional baik bentuk bangunan rumahnya yang terbuat dari kayu ulin maupun bentuk yang mencirikan budaya masyarakat Kalimantan.
“Bukan main hebatnya batu ini. Memang sudah jodoh anda, dan baik untuk pegangan, terutama orang yang berusaha, seperti pedagang ataupun bertani”, jelas orang pintar tersebut. Tomo hanya diam saja. Bathinnya masih penuh keraguan. Antara percaya dan tidak. Karena Tomo yang ta’at ibadah dan sudah haji dengan jerih payah usaha selama ini, hanya Allah semata, Tomo berlindung dan memohon segala sesuatunya.
Rupanya orang pintar tersebut dapat membaca kata hati Tomo. Keraguan antara percaya dan tidak yang berkecamuk dalan bathin Tomo semua diketahui.
“Tak apa Pak Tomo, mungkin ini titipan Allah untuk anda, simpan dan rawatlah. Saya sudah bicara banyak dengan pemiliknya, untuk tidak mengganggu keluarga anda. Bahkan akan membantu semua usaha anda atas ijin Allah”, kata orang pintar tadi. Walaupun bukan umat muslim, tetapi segala sesuatunya seperti do’a selalu di dahului dengan bismillah dan kalimat syahadat. Pernah Tomo menanyakannya, karena sudah seperti sahabat saja, maka tak segan-segan untuk menanyakan dan diskusi masalah tersebut. Jawabannya memang aneh, menurutnya, semua do’a yang dimiliki masyarakat pribumi, merupakan warisan dari kesultanan yang taat akan agama Islam. Sebagian penduduk dan orang pintar ilmu-ilmunya merupakan campuran dari Islam dan bahasa serta kebudayaan lokal.
“Pemiliknya? Siapa Pak?”, tanya Tomo semakin penasaran.
“Yang memiliki dan menjaga barang ini. Tak apa, mereka orang baik-baik”, jelasnya.
Setahun sudah, kehidupan Tomo dengan usahanya berjalan sebagaimana mestinya. Usahanya lancar, baik urusan transportasi dan dagang pakaian. Beberapa kali Tomo harus ke Bandung untuk mengambil dagangan.
Keluarga Tomo pindah ke Jawa, karena istrinya harus menunggui ibunya yang sendirian, semenjak ditinggal meninggal ayahnya 40 hari yang lalu. Usaha di Kalimantan dipegang oleh adiknya yang cukup ulet untuk melanjutkannya. Tak lupa Tomo membawa semua barang, termasuk dua pasang batu pemberian orang misterius. Di Jawa Tomo mengendalikan usahanya, sekaligus cari barang dagangan untuk dikirim ke Kalimantan dengan kapal atau kalau pesanan mendadak menggunakan pesawat.
Kakak sepupu Tomo juga orang “pinter”. Saat-saat senggang datang ke rumah sepupunya untuk ngobrol, dan sesekali menyinggung batu yang dibawanya. Namun aneh bin ajaib, sepupunya ngomong kalau penunggunya menunggu di mobil, karena tak berani masuk ke rumah sepupunya.
“Kenapa mas, kok menunggu di mobil”, tanya Tomo.
“Mungkin belum kenalan dengan temanku, jadi segan”, jawabnya singkat.
Suatu hari Tomo datang ke rumahnya, namun sepupunya belum datang, karena ada urusan keluarga. Yang ada hanya anaknya yang sedang mengaji. Tomo bawa batu, dimasukkan ke dalam botol kecil bekas bungkus film. Tomo duduk sambil baca-baca koran yang ada di meja.
Tiba-tiba, tanpa salam sepupu Tomo masuk dan menegur Tomo.
“Sudah lama nunggu”, tegurnya.
“Eh .. mas, belum”, jawab Tomo singkat.
Tiba-tiba di ruang belakang anak sepupu Tomo, Ihksan, yang sedang mengaji teriak.
“ Pak .. takut, ada dua macan putih. ”, teriaknya cukup keras.
“Nggak apa-apa, itu bawaannya Om Tomo”, jawabnya tenang, Sementara Ikhsan dengan muka pucat memeluk ayahnya, sambil menunjukkan satwa yang menubruknya.
“Nggak apa-apa tenang. Makanya kalau ngaji jagan dekat pintu. Sudah tenang”, rayunya.
Tomo semakin penasaran, ada apa sebenarnya yang terjadi barusan. Kemudian sepupu Tomo menjelaskan kejadian barusan. Bahwa, saat Tomo masuk dan membawa batu tersebut, penghuni dan penjaganya mengikuti masuk. Namun setelah sepupunya masuk denga “teman-teman”nya, penjaga batu Tomo lari, karena takut.
:Kenapa takut mas”, tanya Tomo lagi.
“Mungkin beda kebudayaan, alam atau mungkin ilmunya, sehingga menghindar”, jawab sepupunya.
***
Lama Tomo tidak mengecek batu-batu yang disimpan dalam almarinya, karena terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan yang banyak menyita waktu. Namun saat Tomo akan pergi ke Kalimantan untuk melihat perkembangan usahanya, dia teringat akan batu itu. Maka diapun mencoba membuka bekas plastik pembungkus film itu. Alangkah terkejutnya, batu-batu yang disimpan itu sudah tak ada lagi di dalamnya. Diapun bertanya kepada istrinya, ibunya. Namun semua tak tahu menahu. “Melihat tempatnya saja tidak”, kata istri dan ibunya.
Kemudian Tomo menghubungi sepupunya. Dengan santainya dia mengatakan bahwa, barang-barang dimiliki Tomo sudah pulang duluan, karena alamnya bukan di Jawa. Sepupunyapun sempat mengatakan, bahwa penjaganya sempat berpamitan kepadanya, namun belum memberi tahukan hal itu kepada Tomo. Kepada Tomo, sepupunya menjelaskan bahwa, barang itu hanya cocok untuk di alam Kalimantan bukan di Jawa, dan sangat bagus untuk petani agar ladang pertaniannya tidak diganggu oleh hama.
Sesampainya di Kalimantan Tomo juga menemui kawan supranaturalnya. Jawabannya sama, dan malah persis dengan sepupunya. Di Jawa bukan alamnya, dan baik untuk petani. Namun kawannya itu menjelaskan, suatu saat kalau itu masih ingin mengabdi ke Tomo, akan kembali lagi. Tomopun menyadarinya, dan tak ambil pusing. Karena sesuatu kalau belum miliknya tak akan lama dimilikinya.